Oleh M. Yusuf Amin Nugroho,
Guru MTs Negeri Wonosobo
.Tanggal 26 Juni lalu kita baru memperingati Hari Antinarkoba Internasional. Sudah sewajarnya kita, bersama masyarakat sedunia, menjadikannya untuk evaluasi dan refleksi guna menjegal peredaran dan penyalahgunaan narkotika dan obat-obataan terlarang (narkoba).
Kian lama, peredaran narkoba di tingkat internasional justru kian memprihatinkan, termasuk juga di Indonesia. Menurut data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), kasus narkoba hingga oktober 2006 mencapai 8.406 kasus. Lebih membuat miris hati kita karena dari kasus tersebut kalangan pelajar yang paling mendominasi, yaitu berjumlah 15.101 orang, terdiri dari kalangan SLTP 4.012 orang dan SLTA 11.089 orang. Setiap tahun diperkirakan 15.000 remaja tewas akibat penyalahgunaan narkoba. Sedangkan omzet peredaran narkoba di Indonesia saja dalam satu tahun diperkirakan mencapai Rp. 20 trilyun.
Meningkatnya peredaran narkoba dari tahun ke tahun tidak hanya disebabkan karena faktor ekonomi (bisnis narkoba) yang menggiurkan, namun lebih dipengaruhi oleh fakor politik. Peredaran narkoba sepertinya sengaja dikembangkan oleh suatu kelompok/negara dengan tujuan ingin menghancurkan suatu generasi bangsa (the lost generation). Terbukti dengan generasi muda—terutama pelajar dan mahasiswa—sebagai bidikkan utamanya.
Berbagai upaya untuk memberantas narkoba telah dilakukan baik pemerintah, LSM, Ormas mapun kelompok masyarakat lainnya. Slogan "Katakan tidak untuk narkoba atau say no to drugs", juga kerap kali muncul di media cetak maupun elektronik dan terpancang di jalan-jalan. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengirim pesan singkat ke ribuah pemilik telepon genggam yang berbunyi: "Stop penyalahgunaan dan kejahatan narkoba sekarang. Mari kita selamatkan dan bangun bangsa kita menjadi bangsa yang sehat, cerdas, dan maju. Presiden RI". Namun demikian, berbagai upaya tersebut belum menuai hasil yang bisa dibilang memuaskan. Hal ini antara lain disebabkan karena rumitnya sel-sel yang dibentuk oleh sindikat pengedar narkoba.
Betapa negeri ini sempat tercengang ketika polisi menggerebek pabrik narkoba di Serang, 2005 lalu. Sebab pabrik ekstasi dan sabu-sabu di Serang yang berkapasitas 5000 butir per hari itu disebut-sebut sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. Belum reda keterkejutan kita, tahun 2008 lalu terungkap pabrik narkoba di sebuah lapas, membuat kita kian meragukan kerja pihak kepolisian dan aparat di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan.
Memang, keseriusan pemerintah telah ditunjukkan dengan banyaknya
pelaku narkoba yang dieksekusi, penutupan pabrik-pabrik berskala produksi besar, namun demikian bukan kemudian pihak polisi dan pemerintah bisa tenang-tenang ria. Begitu pula kita, tak patut membiarkan narkoba menghancurkan generasi bangsa yang mulai rapuh karena banyaknya pertikaian elit politik. Maraknya bisnis dan bertumbuh industri narkoba tentu saja berkait dengan hukum dagang. Semakin banyak permintaan, semakin giat pula roda-roda produksi berputar. Kitalah raja, pangsa pasar/konsumen yang menjadi target brandal barang haram tersebut. Maka, segiat apapun kerja pemerintah dan kepolisian tak akan dapat mengakhiri industri narkoba jika permintaan akan barang haram tersebut terus meledak.
pelaku narkoba yang dieksekusi, penutupan pabrik-pabrik berskala produksi besar, namun demikian bukan kemudian pihak polisi dan pemerintah bisa tenang-tenang ria. Begitu pula kita, tak patut membiarkan narkoba menghancurkan generasi bangsa yang mulai rapuh karena banyaknya pertikaian elit politik. Maraknya bisnis dan bertumbuh industri narkoba tentu saja berkait dengan hukum dagang. Semakin banyak permintaan, semakin giat pula roda-roda produksi berputar. Kitalah raja, pangsa pasar/konsumen yang menjadi target brandal barang haram tersebut. Maka, segiat apapun kerja pemerintah dan kepolisian tak akan dapat mengakhiri industri narkoba jika permintaan akan barang haram tersebut terus meledak.
No Drugs, Alcohol Yes?
Secara tidak sadar kita telah sampai pada era posmoralitas di mana batas antara yang baik dan buruk kini telah menjadi mengambang dan kabur. Begitu juga dengan batasan antara yang moral dan amoral kini juga telah dijungkirbalikkan, sehingga yang tersisa hanyalah ambiguitas dan paradoks. Keputusan Predisiden Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Keras merupakan salah satu bukti ambiguitas dan paradoks disaat negeri ini menyatakan perang dengan penyalahgunaan narkoba. Kenapa?
Sebab antara minuman keras (miras) dan narkoba secara substansi tidak ada bedanya. Keduanya sama-sama menimbulkan efek intoksikasi (teler) dan berpotensi mengakibatkan ketergantungan. Miras seperti pula judi, dapat menghancurkan kesejahteraan keluarga dan lingkungan, baik dari segi ekonomi maupun sosial-budaya. Miras juga sangat berpotensi membawa seseorang jatuh ke black hole narkoba. Mungkin kita patut renungkan peristiwa meninggalnya 19 warga Bali dari 35 korban akibat menenggak arak oplosan beberapa minggu lalu.
Jargon “say no to drugs” menjadi kehilangan makna jika tidak diikuti dengan “say not to alkohol”. Memang, di satu sisi narkotika, psikotropika dan zat aditif serta minuman beralkohol dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan, namun di sisi lain membutuhkan kontrol yang ketat baik oleh aparat kepolisian atau pun masyarakat. Karenanya, dibutuhkan alat kontrol (undang-undang) yang tak hanya menakut-nakuti dan disertai dengan pembacaan perkembangan jaman dan lingkungan sosial yang lebih teliti.