Di luar sastra yang konvensional, ternyata masih banyak genre sastra yang belum terungkap, yang seandainya itu diselidiki ternyata memiliki nuansa sastra yang kental. Salah satunya adalah Sastra Hizib. Sebutan hizib memang masih asing di dunia sastra kita, tetapi tidak asing lagi bagi orang yang sudah lama berkecimpung di dunia tarekat maupun pesantren.
Kata hizib sendiri dalam tradisi Arab mulanya dipakai untuk merujuk pada sesuatu yang ‘berduyun-duyun’ dan ‘berkelompok’. Hal ini bisa dilihat dalam kata Hizbullah, yang berarti ‘sekelompok’ atau ‘sekumpulan’ bala tentara Allah. Dalam perkembangannya kata hizib kemudian digunakan untuk “menandai” sebuah bacaan tertentu. Misalnya hizib yang dibaca pada hari Jumat; yang dimaksud adalah wirid-wirid atau munajat tertentu yang dibaca di hari Jumat; dan seterusnya. Jadi hizib berarti munajat atau doa itu sendiri.
Lahirnya munajat para ulama pada era klasik, dalam banyak hal hampir mirip dengan tradisi sastra lisan di mana bahasa meluncur dengan derasnya seolah gagasan dan ide sudah lama terpatri dalam dada. Dalam
konteks ini, sastra hizib lebih dekat sebagai sastra transendental yang beruha membingkai nilai-nilai ilahiah melalui semesta makna. Sebagaimana lazimnya sastra religious sastra hizib juga mencoba menghadirkan Tuhan dengan gelora rasa penuh makna. Keindahan bukan hanya sebatas bahasa, melainkan lebih pada penghayatan batin si penyair.
Imam Syafi’i misalnya, pernah pada suatu ketika dihina oleh tukang cukur karena jubahnya lusuh dan berdebu usai mengadakan perjalanan jauh. Dan lantaran penampilannya tampak miskin Sang Imam ini tak diperkenankan masuk salon milik si tukang cukur tadi. Kontan syair Imam Sayafi’i meluncur: Hujani aku dengan butiran permata/Sebesar gunung Sarondib/Banjiri aku dengan butiran emas/Selama napas masih melekat/Rezeki tak pernah beranjak dariku/Jikalau aku mati/Kuburan akan menantiku//.
Sebagaimana sastra yang lahir pada tradisi tutur sastra bisa dirasakan adanya unsur magis dalam sastra hizib. Tengoklah Hizib Nashr karya Syaikh Abi Hasan As-Syadzily, yang hingga sekarang masih diamalkan secara rutin oleh banyak kiai dan santri di negeri ini, karena diyakini memiliki dampak pada pelaku dan orang/obyek yang menjadi sasarannya ketika dibaca.
…Karena engkau yang Maha Mendengar/Engkaulah yang mengabulkan doa-doa/Engkaulah yang begitu dekat di antara yang dekat,/yang cepat siksanya bila hendak menyiksa/yang menegakkan segala hal yang engkau mau/menghancurkan siapa saja yang engkau mau// (Hizib Nashr, hlm. 96)
Melalui tutur sastra yang disukmai oleh religiositas-fiosofik-estetik, Abi Hasan As-Syadzily bemunajat agar Tuhan menurunkan rakmatnya. Berdoa dan bermujat selain butuh penghayatan ternyata juga perlu bahasa tutur yang lembut dan indah.
Buku berjudul Sastra Hizib karya Mutadho Hadi ini bermaksud memperkenalkan Sastra Hizib dan sekaligus memuat contoh ‘produk’-nya yang dihasilkan oleh ulama terdahulu. Basis epistomologi Sastra Hizib, menurut Murtadho, adalah ketika ruang-ruang historisitas manusia telah tertabiri oleh tembok (baca:arus politik) yang begitu tebal sehingga membutuhkan sebuah lompatan. Jika tangan-tangan manusia (yang telah diliputi nafsu) telah mengalami kebuntuan maka yang dibutuhkan adalah ‘Karya Tuhan’ yang termanifestasi melalui hamba-hamba pilihan. Lugasnya, Sastra Hizib merupakan sebuah cara (atau strategi) untuk tidak mempercayai para penguasa, apalagi menaruh harapan terhadap seseorang yang kredibiltitas akhlaknya dipertanyakan.
Seiring dengan lahirnya konsep dan sofistifikasi sastra, sastra sering dijadikan berhala oleh para sastrawan. Dan inilah yang membedakan Sasra Hizib dengan sasrta religious kontemporer, di mana para ulama tidak memiliki pretensi terhadap kata-katanya untuk dianggap sebagai karya sastra.
Dalam buku kecil ini disuguhkan pula munajat-nya Syaikh Ibn Atha’illah As-Sakandari. Melalui syair Si Fakir yang Kaya, dengan bahasa yang lembut, mendalam dan seakan begitu merendahkan dirinya Ibn Atha’illah As-Sakandari menulis: Aduhai Tuhanku/Sayalah si Fakir/dalam kekayaanku/Lalu, bagaimana aku tidak fakir dalam kefakiranku?//Aduhai Tuhanku/aku begitu bodoh dalam pengetahuanku./Bagaimana aku tidak bodoh dalam ketotololanku//. (halaman: 9)
Secara umum isi buku ini dipetik dari beberapa kitab, antara lain Sirrul Jalil (karya Syaikh Abi Hasan As-Syadzily), Hikam, Syaikh Ibu Atha’illah As-Sakandari, untaian mutiara dalam tradisi lisan yang dipetik dari kompedium Diwan Syafi’i (yang sebagian telah dihafal para santri dan kiai), Sirajut Thalibin (karya Syaikh Ihsan Bin Dahlan, Jampes). Barangkali tidak semua nama itu dikenal sebagai penyair. Imam Syafi’i misalnya, selama ini dikenal sebagai seorang ahli hukum Islam, akan tetapi bagi orang yang akrab dengannya pastilah tahu kalau Sang Imam ini telah melahirkan banyak puisi yang dalam buku ini dikategorikan sebagai Sastra Hizib.
Lahirnya buku ini tentu bisa menjadi alternatif untuk memperkaya khazanah sastra kita. Terutama bagi kalangan pesantren, buku ini diharapkan bisa memancing minat dan kreativitas bersastra sebagaimana yang telah dihasilkan para ulama terdahulu.
Judul Buku: Sastra Hizib
Penulis: Murtadho Hadi
Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2007
Tebal Buku: xi + 109 halaman
Melalui tutur sastra yang disukmai oleh religiositas-fiosofik-estetik, Abi Hasan As-Syadzily bemunajat agar Tuhan menurunkan rakmatnya. Berdoa dan bermujat selain butuh penghayatan ternyata juga perlu bahasa tutur yang lembut dan indah.
Buku berjudul Sastra Hizib karya Mutadho Hadi ini bermaksud memperkenalkan Sastra Hizib dan sekaligus memuat contoh ‘produk’-nya yang dihasilkan oleh ulama terdahulu. Basis epistomologi Sastra Hizib, menurut Murtadho, adalah ketika ruang-ruang historisitas manusia telah tertabiri oleh tembok (baca:arus politik) yang begitu tebal sehingga membutuhkan sebuah lompatan. Jika tangan-tangan manusia (yang telah diliputi nafsu) telah mengalami kebuntuan maka yang dibutuhkan adalah ‘Karya Tuhan’ yang termanifestasi melalui hamba-hamba pilihan. Lugasnya, Sastra Hizib merupakan sebuah cara (atau strategi) untuk tidak mempercayai para penguasa, apalagi menaruh harapan terhadap seseorang yang kredibiltitas akhlaknya dipertanyakan.
Seiring dengan lahirnya konsep dan sofistifikasi sastra, sastra sering dijadikan berhala oleh para sastrawan. Dan inilah yang membedakan Sasra Hizib dengan sasrta religious kontemporer, di mana para ulama tidak memiliki pretensi terhadap kata-katanya untuk dianggap sebagai karya sastra.
Dalam buku kecil ini disuguhkan pula munajat-nya Syaikh Ibn Atha’illah As-Sakandari. Melalui syair Si Fakir yang Kaya, dengan bahasa yang lembut, mendalam dan seakan begitu merendahkan dirinya Ibn Atha’illah As-Sakandari menulis: Aduhai Tuhanku/Sayalah si Fakir/dalam kekayaanku/Lalu, bagaimana aku tidak fakir dalam kefakiranku?//Aduhai Tuhanku/aku begitu bodoh dalam pengetahuanku./Bagaimana aku tidak bodoh dalam ketotololanku//. (halaman: 9)
Secara umum isi buku ini dipetik dari beberapa kitab, antara lain Sirrul Jalil (karya Syaikh Abi Hasan As-Syadzily), Hikam, Syaikh Ibu Atha’illah As-Sakandari, untaian mutiara dalam tradisi lisan yang dipetik dari kompedium Diwan Syafi’i (yang sebagian telah dihafal para santri dan kiai), Sirajut Thalibin (karya Syaikh Ihsan Bin Dahlan, Jampes). Barangkali tidak semua nama itu dikenal sebagai penyair. Imam Syafi’i misalnya, selama ini dikenal sebagai seorang ahli hukum Islam, akan tetapi bagi orang yang akrab dengannya pastilah tahu kalau Sang Imam ini telah melahirkan banyak puisi yang dalam buku ini dikategorikan sebagai Sastra Hizib.
Lahirnya buku ini tentu bisa menjadi alternatif untuk memperkaya khazanah sastra kita. Terutama bagi kalangan pesantren, buku ini diharapkan bisa memancing minat dan kreativitas bersastra sebagaimana yang telah dihasilkan para ulama terdahulu.
Judul Buku: Sastra Hizib
Penulis: Murtadho Hadi
Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2007
Tebal Buku: xi + 109 halaman