Film tersebut dibuka dengan adegan seorang tukang sol sepatu tengah menjahit sepasang sepatu imut perempuan berwarna ungu. Ya, ini kisah tentang sepatu. Tentang sebuah keluarga miskin yang hidup di sebuah dataran kampung di Timur Tengah sana. Namanya Ali. Ia membawa sepatu ungu punya adiknya yang baru disol. Mampir di warung sayuran, Ali meletakkan sepatu itu di emperan. Ketika sedang memilih kentang, seorang tukang sampah datang meminta ijin untuk mengambil sampah-sampah plastik di emperan warung tersebut. Naas, sepatu milik Zahra, adiknya Ali turut diangkut juga. Dari situlah drama mengharukan ini dimulai.
Zahra dan Ali adalah kakak beradik yang begitu rukun. Zahra baru kelas lima sekolah dasar. Ia masuk sekolah pagi, entah jam berapa, film ini tidak sekali pun menunjukkan gambar jarum. Hanya bunyi bel dan bel sekolahan. Sementara Ali, masuk agak siang, mungkin sekitar jam 10 atau jam 11 waktu setempat.
Ali merasa sangat berdosa karena telah menghilangkan seputu Zahra. Untunglah Zahra baik hati sehingga tidak memberitahukan kabar buruk itu kepada ayah atau ibunya. “Nanti kau dan aku dipukuli ayah.” Demikian Ali menakut-nakuti adiknya. Ya, ayah Zahra memang keras, tetapi sebagaimana kebanyakan Ayah, ia sesungguhnya memiliki hati yang lembut dan sayang kepada anaknya. Ia bekerja sebagai pembuat minuman di sebuah kantor dengan penghasilan yang lebih sering kurang-sudah beberapa kali pemilik kontrakan datang menagih, dan meski ia punya pekerjaan lain sebagai tukang pecah gula, tetap saja masih kurang untuk menghidupi seorang istri yang terkena tumor dan tiga anaknya. Tapi, sungguh keren, ia pantang meminta-minta bahkan untuk mengambil sedikit gula yang ia pasrahkan kepadanya.
Kembali ke seputu. Zahra yang tidak lagi punya sepatu akhirnya rela bergantian dengan Ali. Setiap pagi ia berangkat ke sekolah dengan sepatu milik Ali yang kebesaran dan pulangnya ia mesti berlari. Sebab, di sudut sebuah lorong Ali sudah menunggu giliran sepatu itu. Begitu Zahra tiba, Ali segera memakai sepatu itu dan kencang berlari menuju sekolahan.
Bertukar sepatu dengan sandal. Berlari dan berlari. Adegan yang sama tersebut diulang lebih dari lima kali. Ini film bagus, dan meskipun banyak adegan sama diulang-ulang, itu tidak menjadikannya membosankan, bahkan justru menjadi salah satu kekuatan film ini.
Suatu ketika ada sebuah perlombaan lari jarak jauh di kota. Ali yang belum cukup umur ngeyel untuk ikut. Sebab salah satu hadiahnya adalah sepatu. Akhirnya, setelah ditest, Ali diperbolehkan ikut. Sebelum berangkat berlomba Ali mengatakan kepada Adiknya bahwa ia akan ikut lomba lari dan berjanji akan menjadi juara tiga.
“Kenapa juara tiga, tidak juara pertama saja?”
“Sebab juara tiga hadiahnya sepatu. Juara pertama lain lagi. Aku akan juara tiga dan memberikan sepatu itu untukmu.”
“Itu kan sepatu laki-laki.”
“Aku akan menukarnya dengan sepatu perempuan.”
Berangkatlah Ali ke kota untuk ikut perlombaan. Sampai di sini sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi. Bahwa Ali pasti juara. Tetapi juara berapa? Ia ingin juara tiga, dan membawa pulang sepatu olah raga dan menukarkannya dengan sepatu perempuan untuk adiknya. Tetapi apa yang terjadi? Kejadian apa yang dipilih oleh penulis skenario? Ali gagal, sebab ia justru juara pertama. Ia pulang ke rumahnya yang didepannya terdapat sebuah kolam. Zahra tengah mencuci dot di situ. Mereka berpandangan. Ali tampak pucat dan sedih. Lalu terdengar suara bayi menangis. Zahra segera belari dengan dotnya. Sementara Ali melepas sepatunya yang sudah jebol dan kumuh. Kakinya lecet-lecet. Ia lalu merendam kakinya di kolam yang kemudian disambut oleh ikan-ikan merah. Khatam!
Sebuah ending yang sangat menyedihkan dan membuat hatiku meneteskan air mata-jika aku perempuan tidak mustahil mataku akan menangis basah. Mestinya Ali juara tiga saja. Ya, mestinya begitu dan ending bahagia dengan Ali pulang membawa sepatu baru untuk Zahra. Tetapi demikianlah, kita penonton hanya bisa menonton. Kisah dalam film ini adalah sebuah ironi tentang sebuah negara dengan instansi sekolah yang kurang memperhatikan para siswa. Ali yang notabene merupakan siswa cerdas dan berprestasi tetapi miskin, mestinya mendapatkan bantuan. Ia dan keluarganya bukanlah tipe peminta-minta belas kasihan orang lain. Jika pihak sekolah atau mau membuka mata dan kesadarannya, tentu mereka akan memberi bantuan tanpa terlebih dulu diminta atau diusulkan.
Ah, sasaran kritik film ini tentu bukan hanya pemerintah dan instansi sekolah, tetapi juga hati setiap penonton. Sebuah ajakan halus supaya kita bersyukur dan menebarkan semangat untuk terus berbagi.
3 comments
commentsiya pak. ini keren emang. pilem dari afganistan dan iran itu mantap, sederhana, tapi menyentuh. gak neko2lah
Replypengen nonton lagi yang lain koto... judul apa yang kau rekomendasikan?
ReplyMengharukan ,,,,,,,sampe ....
Reply