Puisi Jusuf AN
Sesekali mesti membuka mata
dan berduka mendapati
tubuhtubuh penuh balur yang
ditanam penguasa
sebab duka adalah rahim
yang meyimpan
keberanian untuk melawan
I
"Namaku Jampang
terlahir di remang jaman
di tengah tanah yang bisu
serta tubuhtubuh yang aduh."
Lalu kau tumbuh
bertandang ke Cianjur
meramu musim demi musim
membangun benteng
dari puing kesendirian
mempersiapkan peperangan paling agung,
perang melawan aku-mu
(gaib, sebilah golok, sakti menarinari
menyilet mendung penyamun bimasakti,
karang terbelahbelah
hanya dengan ujung jari)
"Aku pulang, atau mungkin berangkat
membawa tubuh kebal dan
jiwa yang masih lapar
maka tak henti aku mengaji matahari;
Tuhan, bangunkan rumah megah dalam hati."
Kau tahu, tak ada bunga jiwa
merekah sepanjang masa
Maka kau kembali
diterkam gelisah
harihari membasah, merah
kau kalah, kau kalah
Sebelum pergi mestinya
jantungmu lebih kau kenali
sebab pamanmu sendiri lupa bercerita
tentang kobaran api di tanah Betawi
II
Antara diam dan melawan
Di ujung belati
tak henti kau menggambar kelakar kumpeni
golokmu meronta
setiap kali pintu digedor
Centeng garang penagih upeti
"Diamku adalah lubang
yang menampung segala dendam.
Selaksa pemburu kidang
aku tengah berancangancang,
sebab berperang merupakan
sembahyang suci,
gegabah berarti kalah."
Tetapi sampai kapan
kau biarkan nafas kami
mereka kuasai?
"Sampai aku-ku tiada
sampai sangsaiku menjelma pedang baja;
Penguasa di atas penguasa."
III
Hari ini
bersama dengan lecut cemeti
kau justru merayakan pesta perkawinan
sebab bagimu, hidup butuh keturunan
(daundaun gemetar lalu gugur
bersemi daun baru, melulu begitu)
Perputaran ini berlalu begitu singkat
bulan dan matahari bersorak
bersijingkat melesatlesat
dan sajak selalu berusaha merangkum
berabad waktu
dalam sebaris kata saja
Jampang tinggalkan ladang
tinggalkan jarit timangan, lalu terbang
penuhi ajakan sebilah golok
yang sudah lama meronta di sarungnya
Di masjid
angin menyusup masuk
seakan ikut duduk di lembar sajadah
mengamini rajukmu:
"Tuhan, Engkau ada dalam sukma orang tersiksa."
Selepas malam meningkap
kampung pucat
kau meloncatloncat seperti tupai
dari genting ke genting
memasuki ruangruang rahasia:
ruang yang menyimpan
keringat orangorang
keringatmu juga
Seperti hujan
lalu kau kembalikan kerigat itu
pada rakyat yang
telah lama dijadikan melarat
Begitulah, bermalammalam
kau berperang dengan cara lain
yang diajarkan musim paling dingin
Sementara moncongmoncong senapan
Sigap membelalakkan mata
menunggu kau terlelap
dalam sandaran maya:
Rayu Mayangsari yang janda itu
menggiringmu dalam kepungan musuh
menyeret lenganmu menuju pulang
ke tempat lain yang asing.
Yogyakarta, Februari 2007
puisi ini adalah tafsir dari cerita rakyat, si Jampang dari Betawi.
Sesekali mesti membuka mata
dan berduka mendapati
tubuhtubuh penuh balur yang
ditanam penguasa
sebab duka adalah rahim
yang meyimpan
keberanian untuk melawan
I
"Namaku Jampang
terlahir di remang jaman
di tengah tanah yang bisu
serta tubuhtubuh yang aduh."
Lalu kau tumbuh
bertandang ke Cianjur
meramu musim demi musim
membangun benteng
dari puing kesendirian
mempersiapkan peperangan paling agung,
perang melawan aku-mu
(gaib, sebilah golok, sakti menarinari
menyilet mendung penyamun bimasakti,
karang terbelahbelah
hanya dengan ujung jari)
"Aku pulang, atau mungkin berangkat
membawa tubuh kebal dan
jiwa yang masih lapar
maka tak henti aku mengaji matahari;
Tuhan, bangunkan rumah megah dalam hati."
Kau tahu, tak ada bunga jiwa
merekah sepanjang masa
Maka kau kembali
diterkam gelisah
harihari membasah, merah
kau kalah, kau kalah
Sebelum pergi mestinya
jantungmu lebih kau kenali
sebab pamanmu sendiri lupa bercerita
tentang kobaran api di tanah Betawi
II
Antara diam dan melawan
Di ujung belati
tak henti kau menggambar kelakar kumpeni
golokmu meronta
setiap kali pintu digedor
Centeng garang penagih upeti
"Diamku adalah lubang
yang menampung segala dendam.
Selaksa pemburu kidang
aku tengah berancangancang,
sebab berperang merupakan
sembahyang suci,
gegabah berarti kalah."
Tetapi sampai kapan
kau biarkan nafas kami
mereka kuasai?
"Sampai aku-ku tiada
sampai sangsaiku menjelma pedang baja;
Penguasa di atas penguasa."
III
Hari ini
bersama dengan lecut cemeti
kau justru merayakan pesta perkawinan
sebab bagimu, hidup butuh keturunan
(daundaun gemetar lalu gugur
bersemi daun baru, melulu begitu)
Perputaran ini berlalu begitu singkat
bulan dan matahari bersorak
bersijingkat melesatlesat
dan sajak selalu berusaha merangkum
berabad waktu
dalam sebaris kata saja
Jampang tinggalkan ladang
tinggalkan jarit timangan, lalu terbang
penuhi ajakan sebilah golok
yang sudah lama meronta di sarungnya
Di masjid
angin menyusup masuk
seakan ikut duduk di lembar sajadah
mengamini rajukmu:
"Tuhan, Engkau ada dalam sukma orang tersiksa."
Selepas malam meningkap
kampung pucat
kau meloncatloncat seperti tupai
dari genting ke genting
memasuki ruangruang rahasia:
ruang yang menyimpan
keringat orangorang
keringatmu juga
Seperti hujan
lalu kau kembalikan kerigat itu
pada rakyat yang
telah lama dijadikan melarat
Begitulah, bermalammalam
kau berperang dengan cara lain
yang diajarkan musim paling dingin
Sementara moncongmoncong senapan
Sigap membelalakkan mata
menunggu kau terlelap
dalam sandaran maya:
Rayu Mayangsari yang janda itu
menggiringmu dalam kepungan musuh
menyeret lenganmu menuju pulang
ke tempat lain yang asing.
Yogyakarta, Februari 2007
puisi ini adalah tafsir dari cerita rakyat, si Jampang dari Betawi.