Latar tidak sebatas pada tempat kejadian perkara (TKP) cerita. Selain latar tempat, kita mengenal juga latar waktu dan latar sosial (suasana/budaya). Memang, biasanya penulis lebih memfokuskan pada latar tempat, tapi bukan berarti melupakan latar waktu dan sosial. Ketika melukiskan sebuah kota, tanpa memasukkan unsur-unsur sosial, maka pembaca kurang bisa merasakan suasana yang dibangun penulis. Jadi ketiga latar tersebut mesti diperhatikan, meski salah satu di antara ketiganya bisa jadi lebih menonjol (detail).
Mendetailkan latar tempat sangat tepat untuk cerpen-cerpen yang fokus pada persoalan tempat. Misalkan saja kita menulis cerpen tentang kerusakan alam di dieng, maka penggambaran alam dieng bisa kita detailkan, sementara latar waktu dan sosial bisa selintas saja.
Kegagalan membangun latar yang baik sama artinya dengan kegagalan cerpen itu sendiri. Sebab dengan latar yang baik sebuah cerpen menjadi semakin kuat, pembaca seakan benar-benar dibawa ke dunia lain yang seolah-olah nyata.
Pelukisan latar membutuhkan imajinasi, apalagi ketika anda bermaksud menceritakan tempat yang belum pernah anda kunjungi secara langsung. Tidak apa-apa anda menulis cerpen dengan setting pesawat terbang sementara anda sendiri belum pernah menaikinya, tetapi anda harus berhati-hati. Kalau anda menulis tokoh yang bercakap-cakap lewat telepon di atas pesawat terbang jelas itu tidak masuk akal. Demikian pula ketika anda menggambarkan tokoh anda membuka kaca jendela saat pesawat sedang terbang, tentu saja itu tidak lucu sama sekali.
Untuk membuat latar yang kuat tentu dibutuhkan observasi dan kepekaan dalam memilih detail. Sama-sama latarnya laut, tetapi sudut pandang dan cara penggambaran yang berbeda bisa membuat kualitas latar yang berbeda.
Kecenderungan penulis pemula adalah menjadikan latar sebagai tempelan semata. Apabila orang menulis dengan setting dieng, tetapi percakapan dan kebiasaan tokoh-tokohnya tidak punya keunikan yang khas, maka itu pertanda bahwa setting Dieng hanya sebagai tempelan. Demikian pula saat orang menulis dialog dengan gaya bahasa seorang intelek, tetapi ternyata tokoh-tokohnya adalah orang kecil, maka latar sosial menjadi mentah. Dan apabila anda menceritakan cerita yang kejadiannya adalah 500 tahun yang lalu, dengan menggunakan setting kontemporer maka itu juga akan membingungkan pembaca.
Cerpen yang mengangkat lokalitas memang menarik, tetapi jangan sampai kita terjebak dengan menjadikan latar sebagai tempelan belaka. Cara menguji apakah latar yang kita buat sudah menyatu dengan cerita atau hanya sebatas tempelan atau pelengkap saja bisa ditempuh dengan beberapa cara. Misal, coba pindahkan setting anda ke lain tempat. Apakah dengan perubahan tempat membuat cerita anda menjadi terasa aneh dan tidak masuk akal, atau sama saja. Demikian pula kalau misal latar waktunya diganti, apakah cerita anda akan tetap berjalan atau tidak.
Tulisan sebelumnya:
Bengkel Sastra: Tema Dan Bahasa Cerpen
Mendetailkan latar tempat sangat tepat untuk cerpen-cerpen yang fokus pada persoalan tempat. Misalkan saja kita menulis cerpen tentang kerusakan alam di dieng, maka penggambaran alam dieng bisa kita detailkan, sementara latar waktu dan sosial bisa selintas saja.
Kegagalan membangun latar yang baik sama artinya dengan kegagalan cerpen itu sendiri. Sebab dengan latar yang baik sebuah cerpen menjadi semakin kuat, pembaca seakan benar-benar dibawa ke dunia lain yang seolah-olah nyata.
Pelukisan latar membutuhkan imajinasi, apalagi ketika anda bermaksud menceritakan tempat yang belum pernah anda kunjungi secara langsung. Tidak apa-apa anda menulis cerpen dengan setting pesawat terbang sementara anda sendiri belum pernah menaikinya, tetapi anda harus berhati-hati. Kalau anda menulis tokoh yang bercakap-cakap lewat telepon di atas pesawat terbang jelas itu tidak masuk akal. Demikian pula ketika anda menggambarkan tokoh anda membuka kaca jendela saat pesawat sedang terbang, tentu saja itu tidak lucu sama sekali.
Untuk membuat latar yang kuat tentu dibutuhkan observasi dan kepekaan dalam memilih detail. Sama-sama latarnya laut, tetapi sudut pandang dan cara penggambaran yang berbeda bisa membuat kualitas latar yang berbeda.
Kecenderungan penulis pemula adalah menjadikan latar sebagai tempelan semata. Apabila orang menulis dengan setting dieng, tetapi percakapan dan kebiasaan tokoh-tokohnya tidak punya keunikan yang khas, maka itu pertanda bahwa setting Dieng hanya sebagai tempelan. Demikian pula saat orang menulis dialog dengan gaya bahasa seorang intelek, tetapi ternyata tokoh-tokohnya adalah orang kecil, maka latar sosial menjadi mentah. Dan apabila anda menceritakan cerita yang kejadiannya adalah 500 tahun yang lalu, dengan menggunakan setting kontemporer maka itu juga akan membingungkan pembaca.
Cerpen yang mengangkat lokalitas memang menarik, tetapi jangan sampai kita terjebak dengan menjadikan latar sebagai tempelan belaka. Cara menguji apakah latar yang kita buat sudah menyatu dengan cerita atau hanya sebatas tempelan atau pelengkap saja bisa ditempuh dengan beberapa cara. Misal, coba pindahkan setting anda ke lain tempat. Apakah dengan perubahan tempat membuat cerita anda menjadi terasa aneh dan tidak masuk akal, atau sama saja. Demikian pula kalau misal latar waktunya diganti, apakah cerita anda akan tetap berjalan atau tidak.
Tulisan sebelumnya:
Bengkel Sastra: Tema Dan Bahasa Cerpen