Tema cerpen diibaratkan sebagai sebuah fondasi yang mendasari sebuah cerita secara keseluruhan. Saya kira itu ungkapan yang sulit dipahami. Tetapi ketika kita mengartikan tema sebagai sebuah ide pokok yang dijadikan sebagai sumber cerita barulah kita bisa cukup mengerti. Tanpa sebuah ide atau gagasan pokok, sebuah cerpen bisa jadi tampak seperti rumah yang bangunannya kurang rapi dan bahkan sulit dikenali sebagai sebuah rumah.
Fondasi rumah pada umumnya, kita tahu, tidak hanya terdiri dari batu saja, tetapi juga memerlukan semen, air, dan pasir. Demikian pula sebuah cerpen seringkali memuat beberapa tema sekaligus, meski ada salah satunya yang mendominasi. Anggaplah tema utama cerpen kita adalah kerusakan alam, di dalamnya bisa saja memuat tema ketuhanan, moral, sosial, dan eroik sekaligus.
Sebaiknya, ketika kita mulai menulis, tidaklah perlu memusingkan tema mana yang akan lebih ditonjolkan. Alangkah lebih baik jika kerja kita fokuskan pada hal lain, semisal penggarapan alur, latar, konflik, dan penguatan karakter pada tokoh cerita. Jenis-jenis tema tersebut akan muncul dengan sendirinya, dan kita tidak perlu memaksakan jenis tema apa yang harus mendominasi.
Selain menurut pokok pembicaraannya, tema juga bisa diklasifikasikan berdasar ketradisiannya. Di sini kita mengenal tema tradisional dan tema nontradisional. Cerpen dengan tema tradisional banyak kita jumpai pada cerpen-cerpen yang menyuguhkan karakter antagonis dan protagonis, dan biasanya di akhir cerita dimenangkan oleh protagonis. Tidak hanya itu, bisa saja tidak terdapat tokoh antagonis, melainkan hanya protagonis. Tetapi sang tokoh tersebut dihadapkan pada berbagai konflik dan pada akhirnya dapat mengatasi semuanya dengan indah. Meski terkesan biasa, tetapi kalau kita pintar meramu tema ini, maka akan menjadi cerita yang bagus, dan mengandung pesan moral yang kuat. Namun, jika kita tidak hati-hati, ending cerita dapat mudah ditebak dan pembaca tidak mendapatkan surprise sama sekali.
Kebalikannya, tema nontradisional (yang di era sekarang sudah banyak bermunculan) menawarkan sesuatu di luar kewajaran cerita fiksi. Jika biasanya tokoh dengan karakter protagonis mengalami nasib baik di akhir cerita, pengarang justru membuatnya terjungkal. Perjuangan cinta yang berakhir dengan kegagalan, kemalangan seorang guru yang jujur, perjuangan setan yang berhasil menghasut manusia dan kisah-kisah yang berakhir tragis lainnya adalah contoh tema nontradisional. Tentu saja penulis cerpen tidak sedang bermaksud membela yang jahat, tetapi karena kehendak cerita. Pembaca, meski mungkin agak kesal karena tokoh idolanya kalah, tetapi tetap dapat mengambil hikmah dari cerpen beretema nontradisional dari sisi-sisi yang lain.
Bahasa yang Menghipnotis Pembaca
Bahasa adalah alat utama yang digunakan penulis untuk menyampaikan pesan kepada pembaca. Sampai atau tidaknya pesan, secara eksplisit atau implisit, ditentukan oleh bagaimana penulis menggunakan bahasa.
Kita betah menghabiskan waktu tiga hari tiga malam membaca Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang tebal misalnya, itu karena Ahmad Tohari berhasil menggunakan perangkat bahasa yag menghipnotis pembaca. Sebaliknya, kita keok oleh cerpen satu halaman dan memilih untuk membaca cerpen yang lain disebabkan karena penggunaan bahasa dalam cerpen tersebut tidak menarik.
Dalam cerpen, bisa saja penulis menggunakan bahasa yang puitis, tetapi juga harus proporsional. Retorika dan kiasan bisa kita gunakan sebagai gaya bahasa untuk menciptakan keindahan tetapi bukan sesuatu yang mutlak, terlebih lagi jika gaya bahasa yang digunakan klise. Bahasa klise tidak memperindah jalinan cerita, melainkan sebaliknya.
Burung-burung berkicau merdu seakan-akan menyambut datangnya pagi.
Apa yang anda pikirkan dengan kalimat tersebut? Membosankan sekali. Itulah klise. Agar terhindari dari bahasa klise seorang penulis membutuhkan latihan yang tidak cukup dilakukan semalam. Selain, tentu, banyak membaca. Dengan membaca, otomatis akan memperkaya kosa kata, juga mengasah imajinasi dan mengenali gaya bahasa penulis lain.
Cerpen berbeda dengan novel yang memungkinkan penulisnya bereksplorasi lebih panjang dan bebas. Jadi, penggunaaan kata dalam cerpen haruslah seirit mungkin. Kalau memang tidak perlu, buang. Kalau cukup satu atau dua kata, tidak usahlah dipanjang-panjangkan. Intinya, tidak berbelit-belit. Untuk itu, pengulangan kalimat dengan maksud yang sama sebaiknya dihindari.
Penyampaian cerpen menggunakan bahasa sederhana yang pas masih lebih mengena ketimbang menggunakan bahasa yang ndakik-ndakik, mengejar rima, penuh metafora, tetapi justru mengaburkan cerita. Meski begitu, bukan berarti kita tidak perlu bereksplorasi dan melakukan eksperimentasi gaya bahasa.
PENUTUP
Apapun yang anda baca, pelatihan seperti apapun yang anda ikuti, jika tidak ada upaya untuk mengaplikasikannya tentu tidak akan berarti apa-apa. Terlebih lagi dalam proses kreatif penciptaan karya sastra, teori saja tidak cukup. Kita butuh ketekunan dan kerja keras.
Fondasi rumah pada umumnya, kita tahu, tidak hanya terdiri dari batu saja, tetapi juga memerlukan semen, air, dan pasir. Demikian pula sebuah cerpen seringkali memuat beberapa tema sekaligus, meski ada salah satunya yang mendominasi. Anggaplah tema utama cerpen kita adalah kerusakan alam, di dalamnya bisa saja memuat tema ketuhanan, moral, sosial, dan eroik sekaligus.
Sebaiknya, ketika kita mulai menulis, tidaklah perlu memusingkan tema mana yang akan lebih ditonjolkan. Alangkah lebih baik jika kerja kita fokuskan pada hal lain, semisal penggarapan alur, latar, konflik, dan penguatan karakter pada tokoh cerita. Jenis-jenis tema tersebut akan muncul dengan sendirinya, dan kita tidak perlu memaksakan jenis tema apa yang harus mendominasi.
Selain menurut pokok pembicaraannya, tema juga bisa diklasifikasikan berdasar ketradisiannya. Di sini kita mengenal tema tradisional dan tema nontradisional. Cerpen dengan tema tradisional banyak kita jumpai pada cerpen-cerpen yang menyuguhkan karakter antagonis dan protagonis, dan biasanya di akhir cerita dimenangkan oleh protagonis. Tidak hanya itu, bisa saja tidak terdapat tokoh antagonis, melainkan hanya protagonis. Tetapi sang tokoh tersebut dihadapkan pada berbagai konflik dan pada akhirnya dapat mengatasi semuanya dengan indah. Meski terkesan biasa, tetapi kalau kita pintar meramu tema ini, maka akan menjadi cerita yang bagus, dan mengandung pesan moral yang kuat. Namun, jika kita tidak hati-hati, ending cerita dapat mudah ditebak dan pembaca tidak mendapatkan surprise sama sekali.
Kebalikannya, tema nontradisional (yang di era sekarang sudah banyak bermunculan) menawarkan sesuatu di luar kewajaran cerita fiksi. Jika biasanya tokoh dengan karakter protagonis mengalami nasib baik di akhir cerita, pengarang justru membuatnya terjungkal. Perjuangan cinta yang berakhir dengan kegagalan, kemalangan seorang guru yang jujur, perjuangan setan yang berhasil menghasut manusia dan kisah-kisah yang berakhir tragis lainnya adalah contoh tema nontradisional. Tentu saja penulis cerpen tidak sedang bermaksud membela yang jahat, tetapi karena kehendak cerita. Pembaca, meski mungkin agak kesal karena tokoh idolanya kalah, tetapi tetap dapat mengambil hikmah dari cerpen beretema nontradisional dari sisi-sisi yang lain.
Bahasa yang Menghipnotis Pembaca
Bahasa adalah alat utama yang digunakan penulis untuk menyampaikan pesan kepada pembaca. Sampai atau tidaknya pesan, secara eksplisit atau implisit, ditentukan oleh bagaimana penulis menggunakan bahasa.
Kita betah menghabiskan waktu tiga hari tiga malam membaca Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang tebal misalnya, itu karena Ahmad Tohari berhasil menggunakan perangkat bahasa yag menghipnotis pembaca. Sebaliknya, kita keok oleh cerpen satu halaman dan memilih untuk membaca cerpen yang lain disebabkan karena penggunaan bahasa dalam cerpen tersebut tidak menarik.
Dalam cerpen, bisa saja penulis menggunakan bahasa yang puitis, tetapi juga harus proporsional. Retorika dan kiasan bisa kita gunakan sebagai gaya bahasa untuk menciptakan keindahan tetapi bukan sesuatu yang mutlak, terlebih lagi jika gaya bahasa yang digunakan klise. Bahasa klise tidak memperindah jalinan cerita, melainkan sebaliknya.
Burung-burung berkicau merdu seakan-akan menyambut datangnya pagi.
Apa yang anda pikirkan dengan kalimat tersebut? Membosankan sekali. Itulah klise. Agar terhindari dari bahasa klise seorang penulis membutuhkan latihan yang tidak cukup dilakukan semalam. Selain, tentu, banyak membaca. Dengan membaca, otomatis akan memperkaya kosa kata, juga mengasah imajinasi dan mengenali gaya bahasa penulis lain.
Cerpen berbeda dengan novel yang memungkinkan penulisnya bereksplorasi lebih panjang dan bebas. Jadi, penggunaaan kata dalam cerpen haruslah seirit mungkin. Kalau memang tidak perlu, buang. Kalau cukup satu atau dua kata, tidak usahlah dipanjang-panjangkan. Intinya, tidak berbelit-belit. Untuk itu, pengulangan kalimat dengan maksud yang sama sebaiknya dihindari.
Penyampaian cerpen menggunakan bahasa sederhana yang pas masih lebih mengena ketimbang menggunakan bahasa yang ndakik-ndakik, mengejar rima, penuh metafora, tetapi justru mengaburkan cerita. Meski begitu, bukan berarti kita tidak perlu bereksplorasi dan melakukan eksperimentasi gaya bahasa.
PENUTUP
Apapun yang anda baca, pelatihan seperti apapun yang anda ikuti, jika tidak ada upaya untuk mengaplikasikannya tentu tidak akan berarti apa-apa. Terlebih lagi dalam proses kreatif penciptaan karya sastra, teori saja tidak cukup. Kita butuh ketekunan dan kerja keras.