Terkait keterpurukan pendidikan Tanah Air, kita begitu yakin bawah ada sesuatu yang tidak beres. Dan jika pendidikan kita ibaratkan pasien maka sebenarnya ia adalah pasien yang telah dibawa ke banyak dokter untuk diobati. Dokter dengan ilmunya telah melakukan chek up lalu mendiagnosa penyakitnya, sudah pula memberinya obat. Jika sang pasien tidak kunjung sembuh maka ada beberapa kemungkinan penyebabnya. Pertama, bisa jadi dokter salah dalam mendiagnosa sehingga memberikan obat yang salah. Kedua, dokter sudah benar dalam mendiagnosa tetapi obat yang diberikan salah atau tidak mampu menyembuhkan. Ketiga, dokter sudah benar mendiagnosa dan memberikan obat yang bagus, tetapi pasien enggan meminum obatnya.
Sudah banyak dokter spesialis (pakar) pendidikan berusaha mendiagnosa penyakit yang membuat pendidikan di negeri ini ogah bangkit. Kalau kita rajin membuka koran, maka hampir tiap hari kita menemukan opini perihal persoalan pendidikan. Belum lagi diskusi, seminar, dan obrolan-obrolan di warung kopi, tak terhitung banyaknya mulut ikut sibuk mengupas persoalan yang nyaris sama: pendidikan.
Tatkala dilangsungkan seminar tentang Peran Kurikulum dalam Pendidikan di Kota A, misalnya, di kota B sedang diadakan diskusi tentang Usaha-usaha Membangkitkan Semangat Pengabdian Guru. Pada hari yang sama pula di kota C digelar Refleksi dan doa bersama dengan tema: Meneladani Perjuangan Ki Hajar Dewantara. Begitu pula di kota D, E, F, G sampai Z, di koran A, B, C, D, sampai Z, tidak ada yang diam dalam memikirkan nasib pendidikan negeri ini yang terpuruk. Betapa luar biasa energi yang sudah kita salurkan untuk kemajuan bangsa ini!
Entah sudah berapa buku dan penelitian tentang pendidikan yang telah lahir, dan akan terus menetas bagaikan hujan. Berapa blog, berapa posting, berapa status, dan debat di kolom komentar yang meributkan persoalan pendidikan? Sudah tak terhitung. Namun, kenapa semua itu seolah tidak banyak membawa perubahan? Apakah karena tidak ada dukungan dana dari pemerintah dan masyarakat guna mengaplikasikan ide-ide yang telah begitu banyak? Tidak! Sekitar 20 % APBN sudah digelontorkan negara, meski hampir sebagian besar habis untuk menggaji pegawai tetapi toh sisanya cukup besar juga. Masyarakat juga tidak segan-segan untuk membayar mahal biaya sekolah dan buku. Lalu apa?
Duh, pendidikan negeri tercinta ini agaknya sudah terjangkit penyakit komplikasi yang kronis. Maka penanganan yang dilakukan juga mesti intensif. Tidak cukup hanya berpikir, beropini, berdebat, berdiskusi, soal bagaimana menyembuhkannya, tetapi yang terpenting adalah pengobatan itu sendiri. Bagaimana menyembuhkan adalah konsep atau wacana, dan pengobatan adalah aksi, kerja nyata.
Gagasan Kecil Kerja Besar Akan Membawa Hasil Besar
Saya selalu kagum pada orang-orang atau kelompok yang tidak banyak berwacana, tetapi aktif melakukan hal-hal nyata dalam memberikan perubahan. Mereka bergerak, bukan hanya ngomong. Mereka beraksi tidak sekadar bersilat lidah. Mereka menyalakan lilin, dan tidak hanya memperdebatkan bagaimana supaya lampu bisa menyala tanpa listrik.
Tentu saja kita sepakat, bahwa ide, gagasan, dan diskusi tetaplah penting. Buku-buku pemikiran dan protes juga harus ada. Namun, upaya membumikan gagasan jauh lebih mengena.
Gagasan Besar Kerja Kecil Bisa Jadi Tidak Menghasilkan Apapun
Apakah kita pernah kekurangan stok gagasan terkait pendidikan? Gagasan-gagasan baru memang akan terus lahir, tetapi bukan berarti gagasan lama tidak lagi kontekstual untuk diterapkan. Kalau kita datang ke perpustakaan, maka kita akan menemukan buku-buku tempat bersemayamnya berbagai diagnosa dan ramuan obat mujarab dari pakar pendidikan yang menunggu (ya, menunggu!) diterapkan. Tapi begitulah, sepertinya bangsa ini lebih senang untuk menambah stok gagasan atau memperdebatkannya, ketimbang segera melakukan pengobatan untuk pendidikan yang sakit. Maka beginilah nasib kita sekarang; belum beranjak! Padahal kita tahu benar akibat dari penyakit yang tidak segera ditangani.
Gagasan Besar Kerja Besar Akan Membawa Kesempurnaan
Pembangunan pendidikan karakter, pemerataan pendidikan, pendidikan murah, kesejahteraan para guru, pendidikan humanis, pendidikan berbasis komunitas, wa’ala alihi washahbihi ajma’in adalah gagasan-gagasan besar yang pernah tercetus, telah dibicarakan di forum-forum akbar, dan sebagian daripadanya telah pula diusahakan untuk dibumikan. Anies Baswedan telah cukup berhasil melakukan program Indonesia Mengajar, meski semenjak beliau menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan seakan-akan lupa dengan gagasan besarnya yang lain yakni mem-VIP-kan para guru. Bahruddin dan teman-teman di Qaryah Thayyibah telah menerbitkan matahari di desa Kalibening dengan pendidikan berbasis komunitas, dan Pemerintah telah hampir sekses mengajari para guru membuat RPP berbasis karakter, juga merehab kurikulum agar tidak hanya menggarap aspek pengetahuan.
Tentu saja ada orang-orang hebat yang tidak hanya menjadikan gagasan sebagai wacana di puncak menara gading, tetapi berusaha mengkonkritkannya. Terpujilah mereka. Dan bagi kita atau juga pemerintah yang hanya senang menerbitkan gagasan sebagai lipservice, atau bahkan untuk menenangkan para demonstran, maka hanya Allah-lah sebaik-baik pemberi petunjuk dan kekuatan.
Memang, siapapun paham, ngomong lebih mudah ketimbang melakukan. Gagasan besar tidak dibangun dalam semalam, dan untuk mewujudkannya tidak semudah mencari informasi terkait bocoran soal UN di Google. Tapi bagaimana lagi? Tidak ada cara terbaik membangkitkan pendidikan Tanah Air selain dengan action! Dan sebagai rakyat kita sudah sepatutnya bersabar untuk terus mengingatkan para pemimpin agar tidak keblinger dalam membuat suatu kebijakan.
sumber gambar: www.arkansasbusiness.com