Oleh: Jusuf AN
Diskusi Jurnalisme Zombie di Kafe EsEm - Wonosobo |
Tema diskusi malam itu Jurnalisme Zombie dengan pembicara Farid Gaban, seorang jurnalis senior asal Wonosobo. Kebetulan Mas Farid sedang pulang ke Wonosobo dan kemudian, salah seorang teman bernama Haqqi Al-Anshory yang begitu giat nguri-uri budaya diskusi ‘menculik’ Mas Farid untuk berbagi.
Ketika mendengar istilah jurnalisme zombie, seketika saya teringat pada istilah blog zombie. Sebagai orang yang sudah cukup lama melanglang buana di dunia Google, mengarungi forum-forum Blogger dan internet marketing, istilah blog zombie bukanlah sesuatu yang asing bagi saya. Blog Zombie adalah blog yang sudah mati, sudah didelete oleh pemiliknya, tetapi dengan beberapa jurus (tanpa kemenyan) sederhana blog itu bisa dihidupkan kembali. Dunia Internet Marketer memang aneh, bahkan sinting. Orang bisa berjualan apa saja, mulai dari obat kuat, ebook, tas, blog, sampai fans page facebook, akun twitter, G+, dan juga blog zombie. Fungsi obat kuat jelas untuk meningkatkan vitalitas, tetapi untuk apa orang membeli fans page facebook dan akun twitter dengan harga jutaan? Untuk apa pula blog zombie diperjual belikan? Jawabannya adalah sebagai alat dalam bisnis yang mereka geluti.
Dengan memiliki fans page facebook dan akun twitter yang banyak followernya maka marketer bisa mempromosikan jualannya. Jualan para internet marketer tidak melulu berupa barang atau jasa pembuatan web dan SEO (search engine optimization). Banyak di antara mereka tidak berjualan secara langsung, kecuali hanya membuat postingan yang kemudian di bagian sidebar-header-post bellow-bawah judul-dan bahkan di tengah-tengah postingan terdapat iklan yang kadang-kadang melayang-layang bagaikan pocong. Dari sanalah para internet marketer memunguti recehan dari pengunjung yang sengaja maupun tidak mengeklik iklan.
Lalu blog zombie itu? Mungkin setiap hari ada blog yang mati tanpa dikuburkan, dan itu bisa dihidupkan lagi oleh netizen. Bagi para pemburu blog Blog zombie, yang dicari adalah blog-blog yang sudah punya maqam (alexa rank, page rank) tinggi karena itu bisa digunakan sebagai blog dummy (apa lagi ini?) untuk menanam backlink, atau bisa pula dihidupkan lagi untuk dijadikan blog utama. Karena sudah punya posisi yang baik di search engine maka dengan menghidupkan blog zombie yang bagus konon bisa cepat menaikkan rating sebuah blog. Kepada kalian yang masih awam soal blog mohon maaf untuk istilah-istilah ini: Backlink, page range, serp, blog dummy.
Ketika suatu ketika saya menceritakan tentang dunia internet marketer kepada seorang kawan, seketika muncul sebuah tanggapan: “Konyol!”
Memang. Dulu, sebelum saya berkelana di dunia maya saya kadang membuat banyolan begini: “Kalian yang belum memiliki akun facebook dan twitter, bisalah untuk membeli yang 2nd.” Hah! Ternyata bagi para internet marketer hal itu bukan sesuatu yang lucu sama sekali.
Jurnalisme Zombie dan Produksi Pemberitaan di Era Digital
Mas Agus Puryanto - Budayawan Wonosobo |
Diskusi kami malam itu dipicu oleh pemberitaan yang disiarkan salah satu stasiun televisi swasta yang menuai kontroversi, bahkan mendapat kecaman, termasuk dari berbagai media Asing. Dalam tayangan tersebut ditampakkan salah satu korban Pesawat AirAsia QZ8501 dengan kondisi yang sangat parah (saya sendiri tidak melihatnya). Tayangan tersebut tidak hanya telah membuat pingsan mereka yang keluarganya menjadi korban musibah, tetapi juga dianggap telah melukai sisi kemanusiaan.
Farid Gaban berbicara banyak hal soal itu, dan saya merasa mendapat banyak pencerahan. Menurutnya, saat ini banyak terjadi kesalahan pemahaman tentang konsep jurnalistik. Banyak sekali fakta yang terjadi setiap hari, tetapi sangat tidak mungkin untuk menjadikan semuanya sebagai berita. Tidak semua fakta harus dikabarkan. Prinsip utama dari jurnalistik adalah memilih fakta-fakta tersebut, tentu saja dengan tetap menimbang nilai-nilai kemanusiaan.
Pada mulanya seorang wartawan adalah manusia. Ketika wartawan telah kehilangan sisi kemanusiaannya saat itulah ia sebenarnya tidak layak disebut sebagai wartawan. Apa pentingnya menayangkan korban yang sudah membusuk kepada publik? Agar dikatakan berbeda? Untuk menarik simpati pemirsa atau pembaca sehingga semakin banyak yang menangis dan terdorong untuk memberikan bantuan? Apakah tujuan-tujuan itu hanya bisa ditempuh dengan cara mempertontonkan gambar-gambar mengerikan? Tidak!
Ketika terjadi stunami di Jepang, tidak satu pun media Jepang menampakkan gambar mayat. Tetapi orang-orang tetap bersimpati dan berempati setelah mengetahui bahwa stunami tersebut telah merenggut banyak korban jiwa. Tayangan berbau (cium aja tevemu kalau tidak percaya) kekerasan dan mengerikan justru berbahaya bagi publik karena dapat menghidupkan banalitas, semacam kehilangan rasa sensitivitas pada hal-hal yang mengerikan.
Media disadari atau tidak berpengaruh besar dalam membentuk pola pikir dan stereotip masyarakat. Apa yang kita bayangkan ketika mendengar Makassar? Bagi kita yang belum pernah ke Makassar dan senang nonton tayangan berita di televisi, mendengar Makassar adalah mendengar suara bom molotov, melihat tawuran, dan demonstrasi yang anarkis. Padahal tidak melulu begitu. Gambaran tentang Makassar tersebut merupakan salah satu buah dari pemberitaan media yang kita disuruh memetiknya.
Sebenarnya, wartawan atau reporter tidak bisa dijadikan sumber kesalahan. Tugas jurnalis adalah membuat berita, soal apakah berita yang dibuat akan ditayangkan, dimuat, atau dibiarkan terkapar di meja redaksi, dalam sistem media mainstrem biasanya melalui seleksi dewan redaksi. Lalu kenapa yang dipilih oleh dewan redaksi adalah demonstrasi di Makassar yang anarkis, bukan diskusi puisi Aan Mansur, misalnya? Mungkin karena banyak media selama ini masih menganut paham bad news is right news.
Produk-produk media, terutama media mainstream, tidak bisa dilepaskan dari sisi media sebagai industri. Industri media adalah industri yang mengedepankan sisi efisiensi. Terlebih di era digital, semua media ingin menjadi yang ekslusif dalam mengabarkan sebuah kejadian dan wartawan dituntut untuk PROFESIONAL.
Sayangnya pemahaman tentang profesional, bagi sebagian industri media, terutama media online telah dimaknai secara sempit. Jurnalis dianggap profesional apabila ia bisa mengabarkan berita sebelum media lain memuatnya, atau membuat 10 berita dalam sehari, berahasil menjari banyak pembaca, dan sebagainya. Akibatnya, ya begitu, kita sering hanya disuguhi berita dengan metode jurnalistik omongan, judul-judul yang memukau tetapi isinya tanpa daging, berita-berita yang hanya menyoroti soal-soal permukaan, yang menguras perasaan sesaat tapi tidak membuat pembaca menjadi cerdas dalam memandang persoalan.
Peran Blogger Amatir
Jika jurnalis profesional dianggap semacam robot karena tuntutan ini-itu dari bosnya, bagaimana dengan blogger profesional? Meski belum dianggap media mainstream, tetapi sudah banyak blog yang aktif dalam memproduksi berita, baik melalui blog pribadi atau blog keroyokan atau social media. Sebenarnya peran netitzens atau jurnalis warga ini bisa dijadikan penyeimbang bagi media mainstrem. Tetapi begitulah, jurnalisme warga juga sarat dengan kepentingan.
Anda tahu, orang-orang yang mengumpukan $$$ dari blog, seringkali menjadi gelap mata dan serampangan dalam membuat postingan. Para blogger yang ingin blognya mendapat visitor yang melimpah memang dituntut untuk disiplin dan rutin memposting, sehari 3 sampai 5 tulisan bahkan lebih. Kedisiplinan merupakan sesuatu yang bagus, kita setuju, tetapi kedisiplinan tidak melulu berarti kerja keras dan cerdas. Bagi blogger pemalas, mereka kadang memanfaatkan mesin spinner untuk membuat postingan yang unik di mata search engine. Banyak pula yang hanya copas atau mereproduksi berita—menulis berita yang sumber utamanya adalah berita. Karena kedisiplinan (dan mengabaikan kemalasannya yang tersembunyi) dan keberhasilan mereka menjaring visitor mereka kemudian dijuligi mastah atau blogger profesional.
Jika yang dimaksud blogger profesional adalah blogger semacam itu, saya lebih memilih untuk blogger amatir, newbei. Ya, menjadi amatir tidak selalu lebih buruk dari yang profesional. Guru amatir misalnya, mungkin dikatakan sebagai guru yang baru, atau guru yang belum bersertifikasi—dan kemudian dimasukkan sebagai guru bukan profesional. Tetapi karena guru amatir menyukai pekerjaannya dan bekerja dengan sungguh-sungguh, maka bisa jadi ia menjadi lebih baik dari guru dengan embel-embel profesional yang hanya berkutat pada administrasi pendidikan yang itu-itu saja dan bekerja demi mendapatkan tunjungan dan pujian atasan.
Seorang amatir tidak mudah terpengaruh arus pasar, menyukai pekerjaannya, dan biasanya berusaha ingin menjadi lebih baik agar tidak disebut sebagai amatir. Sementara profesionalis sering hanya bekerja demi dan demi memenuhi tuntutan pekerjaan, mengerjakan apa yang kadang-kadang tidak ia pahami dan tidak ia sukai, dan biasanya merasa diri sudah lebih baik, lebih pintar, lebih mulia di banding para amatir.
Bersama Mas Farid Gaban |
Meski tidak terkenal, mendapat gaji rendah dan sering direndahkan terkadang menjadi amatir itu mengasyikkan. Karena jika suatu ketika berbuat salah, tulisan kita buruk, kita bisa berkata ringan: "Maklumlah, amatir!" Menjadi guru amatir juga enak. Saat tidak becus mengajar, tidak membuat administrasi, tinggal nyletus: "Kan saya masih amatir!" Demikian pula untuk dikatakan sebagai profesionalis, bukanlah sesuatu yang sulit. Yang sulit adalah menjadi amatir yang profesional: Mengerjakan apa yang disukai dengan sungguh-sungguh dan selalu merasa bahwa diri kita belum apa-apa. Bagaimana dengan Anda?