Jusuf AN*)
Tayangnya film Supernova: Kesatria,Putri, & Bintang Jatuh, yang diangkat dari novel karya Dee dengan judul yang sama baru-baru ini, ternyata mendapat sambutan yang meriah dari penggemar film tanah air. Padahal novel tersebut sudah terbit untuk pertama kalinya sejak tahun 2001. Fenomena ini nyaris sama seperti ketika film Sang Penari yang diadaptasi dari novel Trilogi Ronggong Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari tayang pertama kali di bioskop.
Memang, mengadaptasi novel ke layar lebar kini sudah menjadi semacam trend bagi rumah produksi. Tidak jarang, para penontonnya lebih banyak dari jumlah novel atau buku yang terjual. Ini tentu mengejutkan dan menggembirakan, tetapi juga membuat kita bertanya-tanya. Apakah para penonton film yang diangkat dari novel sudah membaca novelnya terlebih dahulu? Bisa jadi, kegemaran masyarakat Indonesia menonton film yang diangkat dari sebuah novel bukan disebabkan karena mereka ingin melihat versi audio-visual dari apa yang sudah mereka baca, tetapi disebabkan karena mereka sama sekali belum membaca novelnya dan lebih tertarik untuk menonton filmnya. Menonton film jauh lebih disukai masyarakat kita ketimbang membaca; itu merupakan asumsi yang masuk akal meskipun terdengar pahit.
Bagi para novelis, diangkatnya karya mereka menjadi sebuah film tentu merupakan sesuatu yang sangat menggembirakan. Sebab, selain buah amalnya akan semakin banyak tersiar novel yang dibeli rumah produksi film juga dapat menghasilkan pundi-pundi yang yang jumlahnya jauh lebih besar dari royalty yang diterima penulis dari penerbit.
Tetapi, memang ada beberapa novelis yang tidak rela dan menolak karya-karyanya difilmkan. Sebutlah Paulo Coelho. Konon novelnya yang fenomenal berjudul Alkemis sudah banyak yang berminat untuk mengangkatnya ke layar lebar, tetapi toh Coelho menolak. Coelho tidak ingin imajinasi pembaca menjadi sempit gara-gara novelnya ditafsirkan dalam bentuk film.
Nah, untuk novelis Indonesia, adakah yang berani menolak jika karya mereka diangkat menjadi film? Mungkin ada. Tetapi kebanyakan, novelis Indonesia berlomba karyanya dapat diadaptasi ke layar lebar. Seorang novelis yang karya-karyanya banyak diangkat menjadi film, yakni Asma Nadia mengakuinya secara terang-terangan. Dalam sebuah wawancara di sebuah surat kabar, Asma Nadia bahkan mengaku, ketika dirinya menulis, ia sudah membayangkan adegan-adegan jika nanti karyanya diangkat menjadi film. Jadi, ia memang menyengaja menulis novel yang siap diangkat menjadi film. Apakah hal tersebut merupakan suatu kekhilafan? Tergantung siapa yang dan dari sudut mana kita memandang.
Tidak salah mengidamkan karya kita diangkat ke layar lebar. Tetapi menulis novel jelas berbeda dengan menulis script. Menulis dengan maksud ditujukan agar karya tersebut dilirik rumah produksi sama halnya mengekang imajinasi penulis itu sendiri. Persoalan apakah sebuah novel menarik atau tidak bagi rumah produksi tentu ada banyak faktor yang melatarbelakangi. Bukan semata karena novel tersebut mudah dan cocok di angkat ke media audio-visual, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh tuntutan pasar.
Film memiliki hukum pasar tersendiri yang meskipun bisa dikaitkan dengan pasar perbukuan tetapi tidak bisa disamakan. Tidak semua novel bagus cocok untuk difilmkan. Tetapi secara umum hampir semua novel yang laris selalu dilirik rumah produksi.
Apa yang kemudian terjadi? Jika peminat film cenderung cepat meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah manusia dan film-film bagus (khususnya yang diangkat dari novel), peminat buku (baca: novel) mengalami penambahan yang lambat. Di sinilah semestinya film dan buku menjalin hubungan yang saling menguntungkan. Rumah produksi yang mengakat film dari novel perlu juga memperjuangkan untuk menjaring para pembaca baru, bukan sebaliknya, meninabobokan minat baca masyarakat kita.
____
Sinopsis Film Supernova
Apakah anda sudah menonton film Supernova: Kesatria,Putri, & Bintang Jatuh? Jika sudah, silahkan beri tanggapan anda tentang film tersebut. Jika belum, tentu bukan karena anda menunggu film tersebut tayang secara gratis. Seperti saya, karena tidak ada bioskop di kota saya, maka untuk menonton film sekelas Supernova atau yang lainnya, kami mesti lari ke Jogja, Semarang, atau Purwokerto. Tidak ada salahnya nunggu versi DVD-nya beredar, tetapi tetap mengutamakan yang orisinal, kecuali jika memang tidak ada.
Tayangnya film Supernova: Kesatria,Putri, & Bintang Jatuh, yang diangkat dari novel karya Dee dengan judul yang sama baru-baru ini, ternyata mendapat sambutan yang meriah dari penggemar film tanah air. Padahal novel tersebut sudah terbit untuk pertama kalinya sejak tahun 2001. Fenomena ini nyaris sama seperti ketika film Sang Penari yang diadaptasi dari novel Trilogi Ronggong Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari tayang pertama kali di bioskop.
Memang, mengadaptasi novel ke layar lebar kini sudah menjadi semacam trend bagi rumah produksi. Tidak jarang, para penontonnya lebih banyak dari jumlah novel atau buku yang terjual. Ini tentu mengejutkan dan menggembirakan, tetapi juga membuat kita bertanya-tanya. Apakah para penonton film yang diangkat dari novel sudah membaca novelnya terlebih dahulu? Bisa jadi, kegemaran masyarakat Indonesia menonton film yang diangkat dari sebuah novel bukan disebabkan karena mereka ingin melihat versi audio-visual dari apa yang sudah mereka baca, tetapi disebabkan karena mereka sama sekali belum membaca novelnya dan lebih tertarik untuk menonton filmnya. Menonton film jauh lebih disukai masyarakat kita ketimbang membaca; itu merupakan asumsi yang masuk akal meskipun terdengar pahit.
Bagi para novelis, diangkatnya karya mereka menjadi sebuah film tentu merupakan sesuatu yang sangat menggembirakan. Sebab, selain buah amalnya akan semakin banyak tersiar novel yang dibeli rumah produksi film juga dapat menghasilkan pundi-pundi yang yang jumlahnya jauh lebih besar dari royalty yang diterima penulis dari penerbit.
Tetapi, memang ada beberapa novelis yang tidak rela dan menolak karya-karyanya difilmkan. Sebutlah Paulo Coelho. Konon novelnya yang fenomenal berjudul Alkemis sudah banyak yang berminat untuk mengangkatnya ke layar lebar, tetapi toh Coelho menolak. Coelho tidak ingin imajinasi pembaca menjadi sempit gara-gara novelnya ditafsirkan dalam bentuk film.
Nah, untuk novelis Indonesia, adakah yang berani menolak jika karya mereka diangkat menjadi film? Mungkin ada. Tetapi kebanyakan, novelis Indonesia berlomba karyanya dapat diadaptasi ke layar lebar. Seorang novelis yang karya-karyanya banyak diangkat menjadi film, yakni Asma Nadia mengakuinya secara terang-terangan. Dalam sebuah wawancara di sebuah surat kabar, Asma Nadia bahkan mengaku, ketika dirinya menulis, ia sudah membayangkan adegan-adegan jika nanti karyanya diangkat menjadi film. Jadi, ia memang menyengaja menulis novel yang siap diangkat menjadi film. Apakah hal tersebut merupakan suatu kekhilafan? Tergantung siapa yang dan dari sudut mana kita memandang.
Tidak salah mengidamkan karya kita diangkat ke layar lebar. Tetapi menulis novel jelas berbeda dengan menulis script. Menulis dengan maksud ditujukan agar karya tersebut dilirik rumah produksi sama halnya mengekang imajinasi penulis itu sendiri. Persoalan apakah sebuah novel menarik atau tidak bagi rumah produksi tentu ada banyak faktor yang melatarbelakangi. Bukan semata karena novel tersebut mudah dan cocok di angkat ke media audio-visual, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh tuntutan pasar.
Film memiliki hukum pasar tersendiri yang meskipun bisa dikaitkan dengan pasar perbukuan tetapi tidak bisa disamakan. Tidak semua novel bagus cocok untuk difilmkan. Tetapi secara umum hampir semua novel yang laris selalu dilirik rumah produksi.
Apa yang kemudian terjadi? Jika peminat film cenderung cepat meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah manusia dan film-film bagus (khususnya yang diangkat dari novel), peminat buku (baca: novel) mengalami penambahan yang lambat. Di sinilah semestinya film dan buku menjalin hubungan yang saling menguntungkan. Rumah produksi yang mengakat film dari novel perlu juga memperjuangkan untuk menjaring para pembaca baru, bukan sebaliknya, meninabobokan minat baca masyarakat kita.
____
Sinopsis Film Supernova
Cerita Film Supernova - Menunaikan ikrar mereka untuk berkarya bersama, pasangan Dimas dan
Reuben mulai menulis roman yang diberi judul Kesatria, Putri, dan
Bintang Jatuh.
Paralel dengan itu, dalam kehidupan nyata, sebuah kisah cinta terlarang
terjalin antara Ferre dan Rana. Hubungan cinta mereka merepresentasikan
dinamika yang terjadi antara tokoh Kesatria dan Putri dalam fiksi Dimas
dan Reuben. Tokoh ketiga, Bintang Jatuh, dihadirkan oleh seorang
peragawati terkenal bernama Diva, yang memiliki profesi sampingan
sebagai pelacur kelas atas.
Tanpa ada yang bisa mengantisipasi, kehadiran sosok bernama Supernova
menjadi kunci penentu yang akhirnya merajut kehidupan nyata antara
Ferre-Rana-Diva dengan kisah fiksi karya Dimas-Reuben dalam satu dimensi
kehidupan yang sama. (sumber)
Apakah anda sudah menonton film Supernova: Kesatria,Putri, & Bintang Jatuh? Jika sudah, silahkan beri tanggapan anda tentang film tersebut. Jika belum, tentu bukan karena anda menunggu film tersebut tayang secara gratis. Seperti saya, karena tidak ada bioskop di kota saya, maka untuk menonton film sekelas Supernova atau yang lainnya, kami mesti lari ke Jogja, Semarang, atau Purwokerto. Tidak ada salahnya nunggu versi DVD-nya beredar, tetapi tetap mengutamakan yang orisinal, kecuali jika memang tidak ada.