Ia diusir oleh ayahnya karena dianggap sebagai berandal dan pembangkang. Tapi ia tidak kapok. Sebelum menyadari kesalahannya, ia merasa apa yang ia lakukan adalah suatu jalan yang benar. Ia mengasingkan diri ke hutan, merampok orang-orang kaya yang lewat, untuk kemudian dibagikan kepada orang miskin, agaknya memang suatu perbuatan yang mulia? Tidak heran jika kemudian orang-orang menjulukinya Loka Jaya, si perampok yang budiman.
Kisah yang nyaris serupa dengan Robin Hood itu sangat masyhur. Kita pun gampang menebak, siapa lelaki yang dijuluki Loka Jaya itu. Ya, siapa lagi kalau bukan Raden Said sang Putra Adipati Walwatikta yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga. Pernikahan Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh menghasilkan tiga anak, dua perempuan, dan satu laki-laki. Tahukah siapa nama anak lelaki Sunan Kalijaga? Umar Said.
Membaca kisah itu, terutama begitu mengetahui nama salah seorang anak Sunan Kalijaga, entah kenapa tiba-tiba saya teringat dengan Umar bin Khatab, orang yang dijuluki oleh Singa Padang Pasir. Kita tahu, sebelum masuk Islam, Umar dikenal sebagai orang yang disegani di Mekkah, prajurit dan peminum anggur yang tangguh sekaligus penentang paling keras ajaran Muhammad Saw. Sampai pada suatu waktu, sebagaimana dialami Loka Jaya, Singa Padang Pasir itu mendapatkan sebuah pencerahan dari Tuhan.
Dua kisah orang besar tersebut barangkali sudah cukup membuat kita mengangguk percaya sembari bergumam, “Masa depan seseorang, siapa yang tahu?”
Siapa menduga Gus Ihsan, pengarang kitab Sirojut-Tholibin yang terkenal, sekaligus putra Kiai Dahlan pengasuh Pesantren Jampes, dulunya adalah anak bengal yang suka nonton wayang dan bermain dadu. Siapa sangka sosok muda yang gemar sabung ayam kemudian menjadi ulama masyhur dengan singkatan namanya, HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Siapa sangka? Tak seorang pun.
Tentu saja kisah orang-orang yang telah hijrah dari kegelapan tidak sebatas pada orang-orang yang saya sebutkan di atas. Pastilah ada banyak orang di sekitar kita, mungkin anak, siswa, tetangga, mantan pacar, atau siapa saja yang hijrah dari bandel, ndableg, dan mbeling, menuju shalih, tekun, dan arif.
Bahwa hidup adalah misteri ilahi tidak bisa dibantah lagi. Maka, tidak seorang pun pantas untuk menganggap dirinya yang paling baik dari pada orang bertato naga atau pelacur sekalipun, kemudian mengapling surga untuk dirinya dan golongannya.
Bisa jadi Gayus Tambunan (masih ingat nama itu?) sekarang dan selanjutnya telah berubah menjadi lebih baik setelah masuk penjara. Dan siapa akan sangka, jika suatu ketika nanti Ratu Atut Chosiyah, Perempuan Berdandanan Satu Milyar itu akan menjadi orang yang lebih sederhana ketimbang kita, juga senang mendermakan hartanya, menyumbang pembangunan jembatan bagi anak-anak sekolah. Tuhanlah yang menggenggam rahasia. Tidak patut kita berpikir bahwa itu adalah hal yang mustahil.
Di lain sisi, kita yang bersih dari tato, senang membaca puisi, dan mungkin tergolong (atau menggolongkan diri) sebagai orang yang tekun beribadah, belum tentu akan seterusnya begini bukan? Siapa nyana, oleh suatu kejadian atau entah apa, keadaannya menjadi terbalik. Kita hijrah menuju kegelapan, sementara mereka yang biasa kita anggap hina, jahil, kafir, senang ngapusi, dan sesat itu, justru kemudian, di akhir-akhir hidupnya mendapat hidayah Tuhan. Karena itulah, yang kita lakukan semestinya bukan memandang orang lain sebelah mata dan menyudutkan mereka, melainkan masuk dan memandang diri kita sepenuhnya sembari berusaha untuk istiqamah di jalan kebaikan.
“Jadi nakal itu boleh ya, Pak?” tanya siswa saya. Sebelum bertanya, bahkan ia sudah nakal duluan. Dan kita yang guru atau orang tua, sudah semestinya maklum. Maklum bukan berarti menyetujui mereka berada di jalan nakal. Maklum berarti menyadari bahwa kenakalan anak atau siswa kita, selama dalam kondisi yang wajar, sebenarnya merupakan bagian dari masa pubertas yang tidak dimanage dengan baik. Pada waktunya, asalkan kita tidak jenuh membimbing dan mendampingi mereka, maka masa depan mereka kemungkinan dalam lebih baik.
Tapi siapa tahu batas usia? Siapa menjamin remaja-remaja yang nakal itu akan hidup sampai tua? Dan oleh sebab itulah, saya terpancing menulis puisi, yang kiranya tepat untuk mengakhiri tulisan refleksi ini.
Bisik Sang Detik
Karena kita tak tahu batas usia
Baiknya kita anggap diri sudah tua
Maka akan kita rasa benar degup jantung
Nikmat udara yang berembusan lewat hidung
Usia tak seperti matahari
jelas datang dan pergi
Kita pernah pagi, pernah menjadi bayi
Tapi kita tak tahu apakah telah senja
Hampir habis ini usia?
“Ah, manusia yang tak tahu batas waktu
kenapa acuhkan putaran daku?”
Dan kita pun sibuk mengarang alasan
Mencoba mengelak dari kesalahan
Ada juga yang berontak
Terang-terangan mengaku bosan
Sttt!
Kita tak tahu batas usia
Baiknya kita anggap diri sudah tua
Maka tangan-kaki akan lebih hati-hati
Kata-kata akan tertata
Telinga pandai memilih bunyi
“Bacalah tiap langkahku derap
agar kau tak gampang kalap”
Bagi kita yang telah tua
Mestilah pandai membaca peta
Waspadai tiap tanda
Mana jurang dan arah menuju Cahaya
Wonosobo, 2013
2 comments
commentsSubhanalllah, itu yang bisa saya komentari atas tulisan ini
Replywalhamdulillah, wala ilaha illah huwallahu akbar.
Replyterimakasih sudah membaca