Saya mendadak terbangun. Melihat jam di tangan kiri. Pukul dua. Kereta berhenti. Saya tengok jendela. Sudah sampai stasiun Kroya. Berapa lama saya tidur? Mungkin 4 jam, mungkin juga 5 jam. Masih berapa lama kereta Senja Utama ini tiba di Yogyakarta? Entahlah. Saya tidak lagi memikirkan itu, sebab sesaat setelah terjaga saya merasakan tubuh saya menggigil. Dingin. Dingin yang hebat. Saya mengeratkan jaket. Tetapi percuma. Dingin itu sudah merasuk ke dalam tubuh saya. Dingin buatan mesin yang menjengkelkan. Saya kira, kereta ber-AC tidak selalu nyaman, terlebih ketika kereta hanya berisi satu dua penumpang.
Saya duduk saja, sembari mengatur napas. Saya tidak tahu mau melakukan apa. Lalu saya teringat buku agenda oleh-oleh Kopdar Guraru. Saya keluarkan buku itu dari tas. Saya ingin menulis puisi. Tetapi yang keluar justru semacam draft tulisan tentang acara Kopdar yang baru saja saya ikuti. Berikut adalah hasilnya:
----------
Bagi yang datang dari luar Jakarta, seperti saya, tentu butuh keberanian tersendiri untuk bisa sampai Jakarta. Tetapi tekad dan niat untuk bertemu dengan para guru Blogger membuat kami melewati semua halangan. Saya sendiri tiba subuh hari di Masjid Istiqlal, setelah terguncang-guncang dan kedinginan selama kurang lebih 12 jam di dalam mobil travel. Dengan modal keberanian bertanya, saya akhirnya mendapat petunjuk untuk bisa sampai di lokasi Kopdar. Dari Masjid Istiqlal Saya harus naik Bus Way, turun di Harmoni, lalu naik lagi yang jurusan Blok M.
Syukurlah, saya tidak tersesat. Akhirnya, saya tiba di sebuah gedung yang tinggi. Sangat tinggi, sehingga apabila anda berdiri sepuluh meter dari gedung itu, maka anda harus mendongak dengan susah payah untuk bisa melihat puncaknya. Di sanalah, di gedung itu, Plaza Indonesia namanya, acara Kopdar Guraru dilangsungkan. Persisnya di lantai 42 (mungkin ini bukan lantai tertinggi) di Lounge kantor pusat Acer Indonesia.
Gedung Plaza Indonesia bukan sembarang gedung yang bisa dimasuki siapa saja. Ini gedung dijaga puluhan satpam yang tidak semuanya laki-laki. Ketika saya masuk, tas saya diperiksa, dengan alat yang biasa saya lihat di televisi, mungkin pendeteksi bom atau obat-obatan. Saya aman. Saya memang membawa Paramex tetapi saya tidak membawa bom. Memasuki pintu yang berputar, saya melihat dinding penuh lukisan mural dan didominasi warna hijau. Gedung ini sejuk, meski kesejukan itu tidak berasal dari pohon-pohon yang terlukis di dinding, melainkan dari AC.
Saya tahu saya harus menuju ke lantai 42 tetapi saya tidak tahu di mana lift ajaib itu berada. Maka, bergeraklah saya hendak bertanya ke petugas. Belum sempat saya bertanya, saya melihat seorang perempuan duduk sendirian, berdua dengan gadgetnya. Tidak salah lagi, pastilah itu Ibu Etna Rufiati. Tanpa pikir panjang saya menghampirinya, dan seketika kami bersalaman. Ibu Etna mengabarkan bahwa kantor Acer masih belum buka. Maka kami pun duduk di sebuah sofa, menunggu kawan lainnya datang.
Kami berbincang. 10 menit, 15 menit, 30 menit, lalu muncullah Ibu Resty, lalu Pak Sukani. Berikutnya, serombongan orang menyusul datang, Pak Sawali, Urip Kalteng, Amiroh Adnan, Rudy, Rizal Panjaitan. Kami bersalaman dan saling berlempar senyum keakraban. Begitulah, lalu kami bersama-sama naik ke lantai 42 setelah semua orang menukarkan kartu identitas dengan Kartu Ajaib yang bisa digunakan untuk membuka pintu kaca sebelum memasuki lift.
Acara di buka sekitar pukul sepuluh. Eko Widianto selaku Bos Acer Indonesia, memberikan sambutannya dengan ramah dan cukup memukau para hadirin. Ia mengatakan bahwa teknologi tidak akan pernah berhenti berkembang. Saat ini, menurutnya, sedang diupayakan bermacam teknologi canggih yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan oleh manusia. Apa yang kita lihat dalam film-film fiksi sains, seperti The Matrix, sebentar lagi akan menjadi kenyataan.
Usai sambutan dari Bos Acer Indonesia, dipanggillah para jawara penerima Acer Award untuk maju ke depan. Mereka mengenalkan diri mereka dan menceritakan pengalaman dan hikmah ngeblog, kegiatan yang mereka lakukan bersama Acer, juga harapan-harapan dari Kopdar Guraru.
Kue-kue di atas piring mulai beredar bersama kesempatan yang diberikan Bukik Setyawan untuk mempresentasikan slide yang diberi judul “Transformasi Peran Guru di Era Pendidikan Digital”. Pak Bukik, demikian sapaannya, adalah mantan dosen Psikologi yang kini sedang mengembangkan merupakan aplikasi Takita yang bisa anda kunjungi di TemanTakita.Com.
Bukik membuat saya dan mungkin juga hadirin berdebar-debar dengan mengajukan tiga pertanyaan. Pertama, bagaimana anak belajar di masa depan? Kedua, seperti apa pendidikan di masa depan? Ketiga, apakah praktek pendidikan dari amsa ke masa itu serupa?
Bukik memaparkan bahwa jumlah digital native di Indonesia saat ini sudah mencapai 29,2 persen atau sekitar 21,2 juta. Digital native adalah generasi yang hidup setelah tahun 1990, di mana keseharian mereka tidak bisa dilepaskan dengan gadget dan perangkat digital lainnya. Generasi Digital Native membutuhkan perhatian dan metode yang berbeda dari generasi sebelumnya.
Di sesi tanya jawab, salah seorang peserta diskusi mengungkapkan kegelisahannya. Ia bercerita tentang anaknya yang tidak bisa lepas dari gadget. Ia menanyakan bagaimana seharusnya ia bersikap terhadap anaknya tersebut? Melarang penggunaan gadget jelas tidak mungkin, jelas Bukik. Yang mesti dilakukan, bukan melarang mereka menggunakannya, melainkan memberikan bimbingan dan pengarahan kepada mereka untuk menggunakan gadget dengan arif. Orang tua tidak semestinya membatasi “penggunaan gadget tertentu”, melainkan hanya perlu untuk membatasi “waktu penggunaannya”.
Tepat tengah hari, Bukik Setiawan mengakhiri presentasinya yang disambut meriah tepuk tangan. Di sebelah kami, tepatnya di meja yang tingginya melebihi dada saya, sudah tersaji hidangan makan siang. Selain ayam goreng, satu yang saya ingat, piringnya besar dan berat. Ada kelas Pak Agus Sampoerna yang membincangkan seputar etika mengunduh e-book kaitannya dengan hak kekayaan intelektual. Kelas yang lain, dibimbing oleh Amiroh Adnan mendiskusikan tentang langkah-langkah gamification di kelas. Sementara kelasnya, Urip Kalteng (saya lupa nama asli Pak Urip ini) memberi kesempatan untuk belajar bersama tentang trik mudah berburu flash untuk media pembelajaran. Sebenarnya, masih ada satu lagi, yakni kelasnya Pak Dedi Dwitagama. Namun, Pak Dedi belum hadir sehingga teman-teman yang sudah mendaftar mengikuti kelasnya Pak Dedi digabungkan untuk ikut kelasnya Pak Agus.
Saya sendiri, bersama Ibu Etna, Pak Rudy, Ibu Resty, Ibu Mugi, mengikuti kelasnya Pak Urip Kalteng. Kesulitan membuat media pembalajaran berbasis flash (swf) hampir dialami oleh banyak guru, termasuk saya. Menggunakan file-file yang ada di internet untuk digunakan di kelas bukanlah suatu dosa. Namun, tidak jarang guru yang kesulitan mencari bahan ajar berbasis flash, dan karenanya Pak Urip hadir untuk memberikan tips dan triknya. Panitia meminjami kami produk acer terbaru. Produk yang hebat memang, membuat saya ngiler ingin membawanya pulang. Meski agak terkendala, terkendala akibat koneksi internet yang lambat, mini class kami tetap berlangsung penuh semangat, dan ilmu-ilmu baru pun berhasil saya serap.
Tibalah kini kami menyaksikan tiga finalis maju mempresentasikan seputar digital native dan digital immigrant. Disaksikan lima orang juri, Pak Sukani, Pak Rudy, dan Ibu Mugi Rahayu maju satu-satu membawakan presentasi yang memukau. Pak Rudy maju pertama kali. Guru Fisika di sebuah SMA di Palangkaraya tersebut memberikan gambaran tentang penggunaan aplikasi graphic untuk pembalajaran di era digital. Pak Rudy juga berbagi pengalamannya dalam mengajar generasi digital native.
Di urutan kedua, Ibu Siti Mugi Rahayu, Guru Ekonomi di sebuah sekolah di Bekasi ini cukup kalem memamarkan aplikasi simulasi dalam pembelajaran. Ibu Mugi Rahayu mundur, dan majulah Pak Sukani. Bapak satu anak ini sudah melepas jaketnya, dan tampaklah dasinya melambai-lambai. Dia tampil membawakan presentasi berjudul Aplikasi Games untuk Pembelajaran. Sepertinya Pak Sukani sudah mempersiapkan presentasinya dengan matang. Sebelum presentasi dimulai ia bahkan sempat mengajak guru menyerukan yel-yel penyemangat. “Yes!”
Tepuk riuh menyertai ketiga finalis Acer Guraru Award 2013. Lima dewan juri berdiri dari kursinya, meninggalkan ruangan, menuju ruangan baru, tentunya untuk menghitung nilai dan berembuk menentukan pemenangnya.
Saya pun turut berdebar menunggu pengumuman. Sampai debar itu lenyap ketika Pak Sawali, dengan selembar kertas, maju untuk mengumumkan pemenang. Dimulai dari urutan pemenangan ketiga, diraih oleh Ibu Siti Mugi Rahayu, Pemenang kedua, Rudy H, dan pemenang sekaligus penerima piala Acer Guraru Award 2013 Pak Sukani.
Saya sudah mengucapkan selamat dan menjabat tangan ketiga orang hebat itu. Tetapi rasanya belum cukup. Di atas kereta yang melaju saya ingin kembali mengucapkan selamat kepada mereka. Guru-guru yang luar biasa. Saya ingin berbisik di telinga mereka, “Kemenanganmu barangkali adalah amanat juga.” sebab, seturut Omjay, para pemenang guraru ini akan menjadi teladan bagi para guraru yang lain. Semoga hadiah dan penghargaan dari Acer dapat memberikan spirit untuk terus berkarya dan memberikan inspirasi bagi guru-guru yang lain.
9 comments
commentsPak Yusuf,
ReplyTerima kasih sudah hadir dan meramaikan Kopdar Guraru ya, Pak. Semoga silaturahmi kita tetap terjalin setelah kopdar.
@nonadita
omjay bangga bertemu guru hebat seperti anda
Replysalam
Omjay
terimakasih juga non Anin. sampai jumpa lagi, semoga...
Replysalam
saya banyak belajar dari sampeyan, om :)
Replysalam
keren. ulasan yg menarik. puji syukur sy kpd Allah bs brtemu lgsg pak yusuf, dari awal sy penasaran dg sosok dibalik akun tinta guru ini, melebihi penasaran sy dg sosok dibalik akun jilbab hitam.hehee... good luck pak yusuf. semoga bs jumpa lagi di lain kesempatan.
Replykeren ulasannya dan menarik.. good luck pak yusuf. moga bisa brjumpa lagi di lain kesempatan..
ReplySayang saya tidak sempat hadir bertemu dengan guru-guru hebat.
ReplyTadinya saya mau berguru sama panjenengan
Saya juga penasaran, Pak Bay ini siapa sebenarnya? hehe... Terimakasih sudah berkunjung ya Pak Bay. Ya, semoga bisa jumpa lagi ya.
Replypadahal sudah menunggu-nunggu dan sempat mencari-cari Mas Roni. hehe..
Replysemga bisa jumpa lain waktu, mas.
salam