Cerpen Jusuf AN
Cerpen ini disiarkan pertama kali di Media Indonesia, Minggu 3 November 2013. Ada beberapa perbedaan antara cerpen yang tampil di Media Indonesia dengan yang dimuat di blog ini. Itu adalah kerja editor, dan saya berterimakasih kepadanya, sebab toh tidak banyak yang diedit, dan tidak menghilangkan substansi cerita. Baiklah, mari kita simak bersama!
****
Pernahkah kau bayangkan seseorang yang selalu
berdandan menjelang tidurnya? Berdandan seperti laiknya orang hendak bepergian
jauh ke luar kota, atau untuk menghadiri acara penting, yang benar-benar penting,
sehingga ia mesti berdandan sedemikian rupa sehingga mirip orang penting.
O, barangkali itu akan
menjadi cerita paling konyol yang baru pertama kali kau dengar. Seseorang yang mandi
pada malam hari, menyemprotkan wangi-wangian ke tubuhnya, membungkus tubuhnya
dengan busana paling bagus, lalu rebah di kasur, bersiap meluncur menuju tidur.
“Jangan lupa, matikan tipinya
sebelum tidur!” Ibu memperingatkanku dari dalam kamar, persisnya dari depan
cermin rias di kamarnya.
“Ibu tidak membantuku
mengerjakan PR dulu?” Suaraku mengalahkan suara teve.
“PR matematika lagi? Tidak ah!
Soal-soalnya terlalu sulit. Mestinya kau bisa belajar bersama teman-temanmu
tadi, bukan nonton tipi terus.”
Di rumah ini, tak ada
siapa-siapa kecuali aku, Ibu, dan televisi. Dan agaknya televisi sedikit lebih
baik ketimbang Ibu, meski pada saat tertentu ia begitu cerewet dan kerap menayangkan
jajan-jajan yang tak pernah aku makan.
Kadang aku muak dengan
televisi, tetapi kami begitu mudah berdamai. Ketika tak ada tontonan yang bagus
atau ketika film kesukaanku digantikan breaking news, aku marah dan
meninggalkannya begitu saja, tapi tidak dalam waktu lama kami sudah bersama
lagi. Kadang pula aku marah dengan ibu, dan kami sering tidak bercakap-cakap
selama hampir seminggu. Setiap aku pulang sekolah, Ibu tak pernah di rumah.
Ketika aku pentas drama di sekolah, Ibu tidak hadir. Ibu juga jarang membantuku
mengerjakan PR, khususnya matematika. Dan yang paling tidak aku sukai dari ibu adalah
kebiasaannya berdandan sebelum tidur. Satu kebiasaan yang membuatku kerap
teringat dengan ucapan para tetangga dan teman-temanku tentang Ibu.
“Ibumu sudah mau ke luar
negeri lagi, Lex?” tanya mamanya Fitri, suatu kali.
“Sudah kapok,” jawabku,
menirukan ibu ketika aku bertanya hal yang sama.
“Kapok? Barangkali lebih
tepatnya sudah tidak laku. Kau tahu?”
“Tidak laku?” Aku bertanya
dalam hati. Aku tidak paham maksud ucapan mamanya Fitri. Tetapi kemudian,
televisi mengajariku kata ‘tidak laku’ itu. Jadi, manusia itu seperti jajan,
bisa dijual dan bisa tidak laku? Mungkin saja.
Tak hanya tetangga, guruku
juga kerap menyinggung-nyinggung soal Ibu. Ketika kepalaku dicukur gundul oleh
Pak Guru, semua teman-temanku tertawa.
Lebih-lebih ketika Pak Guru menghajar dadaku, “Kau anak tukang salon, tapi
rambutmu bisa sampai gondrong. Apa mungkin ibumu lebih senang mencukur rambut
orang lain ketimbang rambut anaknya sendiri, he?!”
Aku langsung menangis dan menghambur
pulang. Ibu tak ada di rumah. Dan waktu itu listrik juga sedang padam. Aku
menangis terus sampai ibu pulang. Begitu melihat kepalaku, Ibu langsung tahu
kenapa aku menangis. Ketika aku terangkan kalau Pak Guru yang melakukannya,
mata Ibu seketika melotot. “Guru edan! Apa tak ada hal lain yang lebih
penting ketimbang mengurusi soal rambut!”
Perihal Ibu yang bekerja di
salon memang sering menjadi bahan gunjingan banyak orang. Saat Ibu menyuruhku
beli sabun atau sesuatu di warung aku kerap mendengar orang mempercakapkan
tentang ibu.
“Sejak kapan si Mira kursus
salon?”
“Ah, paling-paling di sana
menjadi tukang pijat.”
“Hahaha…”
Beberapa tetangga bahkan
melarang anak-anak mereka bermain denganku. Doni, Septi, Lusi, Fendy,
mengatakan sendiri tentang itu kepadaku. Aku tidak tahu kenapa. Benar-benar
tidak tahu. Mereka seolah-olah lebih tahu tentang ibu ketimbang aku atau ibuku
sendiri.
Untunglah sampai sekarang tak
ada yang tahu perihal ibu yang senang berdandan sebelum tidur. Jika sampai para
tetangga tahu, pastilah mereka akan berkata begini kepadaku: “Ibumu sudah gila
ya? Mau tidur aja berdandan! Hahaha…”
Aku akan dikatakan anak
orang gila? Ah, tidak! Ibuku masih waras. Jauh lebih waras dari Spongebob dan
Patrick. Ibuku cantik. Tidak ada orang gila yang cantik. Tapi, kebiasaan Ibu berdandan
menjelang tidur itu? Betapa kelakuan Ibu itu mirip dengan…
Aku bangkit dari busa di
depan teve, melangkah mendekati Ibu yang masih duduk di depan cermin rias. Tubuhnya
masih dibalut handuk kimono. Rambutnya yang masih basah dibiarkan tergerai di
punggungnya. Ibu mendekatkan kepalanya ke cermin, menggerak-gerakkan bibirnya
yang baru dilipstik warna merah muda. Ia melirikkan mata sejenak begitu
menemukan wajahku muncul dalam cermin.
“Sampai kapan Ibu akan
berdandan sebelum tidur?” Aku mendengar suaraku yang parau. Ah, pertanyaan itu
lagi, yang sudah aku ulangi lebih dari lima kali.
“Ibu tidak tahu, Lex.”
Jawaban yang sudah aku duga. Selalu jawaban itu.
“Kalau Ibu tidur pakai baju
putih dan bertemu ayah dalam mimpi, apa di sana Ibu masih pakai baju putih?”
Ibu memalingkan muka ke
arahku. Cukup lama matanya tertancap pada wajahku.
“Aku pernah tidur pakai kaos
sepak bola, tapi di mimpiku aku sedang hujan-hujanan tanpa pakai baju.” Itulah
satu-satunya mimpi yang paling aku ingat dalam hidupku.
“Itu tidak lucu!” Dan Ibu
meletakkan lipstiknya di meja, lalu mulai mengoseskan pelembab atau entah apa di
wajahnya.
“Ibu…”
“Hmmm.”
“Sudah dua tahun Ayah meninggal,
kenapa Ibu tidak mencari ayah baru?”
Ibu tercekat sebentar, tapi
kemudian meneruskan lagi berdandan. Ia mungkin sudah bosan dengan permintaanku
yang satu itu. Permintaan yang entah kenapa tidak juga ia sanggupi.
Apa sulitnya bagi Ibu mencarikan
Ayah baru buatku? Aku sering mendengar ibu bercakap-cakap dengan seorang lelaki
lewat telepon. Beberapa kali Ibu juga menerima tamu laki-laki. Meski Ibu
sendiri terkesan kurang ramah dengan tamu-tamu itu toh ia sudah
membukakan pintu buat mereka.
“Aku ingin punya adik, Ibu.
Biar ada teman di rumah ini. Masa’ temanku cuma televisi.” Aku menggelendot di
pundak ibu. Hanya sebentar, karena handuk kimono yang Ibu kenakan agak basah.
“Tunggulah sampai SMP, tiga
tahun lagi. Nanti kau bisa sekolah di luar kota dan tinggal di asrama. Kau akan
punya banyak teman baru yang menyenangkan.”
“Sekolah di luar kota! Apa Ibu
tidak akan kesepian tinggal di rumah ini sendirian?”
“Semua orang tua harus siap
ditinggalkan.” Ibu mendesah, lalu berdiri membuka lemari. Aku memandang
wajahnya yang putih bersih, bibirnya yang merah, dan rambutnya yang panjang melebihi
bahu. Ibu tampak seperti perempuan bintang iklan shampo.
Ibu melepas kimononya dan
tetap membiarkan aku berada di dekatnya. Barangkali Ibu masih menganggapku
anak-anak, meski diam-diam aku sering mengamati kulit Ibu yang mulus. Ah, Ibu.
“Kalau Ibu siap ditinggakan,
lalu kenapa Ibu melarangku keluar malam-malam?”
“Itu pesan ayahmu!”
“Benarkah? Apakah Ayah sudah
di surga?”
“Yang jelas, ayahmu bahagia
di alam sana.”
“Apa Ayah bisa melihat aku,
Ibu?”
“Tentu saja. Tapi kita tidak
bisa melihatnya lagi.” Ibu sudah mengganti handuk kimono dengan celana panjang
dan baju bunga-bunga. Kini Ibu mulai menyisir rambutnya. Aku sudah duduk di
bibir ranjang, memperhatikan Ibu yang begitu bersemangat berdandan.
“Katanya, Ibu sering
berjumpa dengan Ayah di alam mimpi?”
“Itu benar, Alex. Ayahmu
masih bisa ditemui dalam mimpi.”
Aku hanya ingin penegasan
dari Ibu soal perjumaannya dengan ayah di dalam mimpi. Dan pengakuan Ibu tidak
ada yang berubah. Sebelumnya, Ibu sudah kerap mengaku sering berjumpa dengan
ayah. Tidak setiap malam, tapi sering. Mungkin itulah yang membuat Ibu tidak
lupa untuk berdandan saban malam sebelum tidur; agar ketika bertemu ayah dalam
mimpi, Ibu tampak cantik. Ah, tidak. Bukankah aku tidur pakai kaos bola, tapi
di dalam mimpi aku bermain hujan tanpa pakaian.
Ibu sendiri tidak pernah
menerangkan dengan terang tentang kenapa ia terus berdandan saban malam. Hanya
sekali ia pernah menyampaikan bahwa apa yang ia lakukan itu semata-mata untuk
ayah. “Agar ayahmu senang dan mau memaafkan Ibu.”
Ibu tidak pernah berterus
terang tentang kesalahan yang ia perbuat terhadap Ayah. Tapi menurutku Ibu memang
punya banyak dosa, bukan hanya salah saja. Bukan hanya kepada ayah, tetapi juga
kepadaku. Ia merantau ke Arab ketika aku masih bayi. Katanya semua itu demi
keluarga. Demi aku, khususnya. Untuk membangun rumah, beli baju, kulkas, dan
televisi. Ya, memang Ibu telah banyak berdosa sekaligus banyak berjasa kepada
kami. Dan ia memang pantas untuk minta maaf.
“Apakah di alam sana, ayah
masih sakit jantung, Ibu?”
“Hem, Ayahmu sehat.
Sangat sehat, lebih sehat dari ketika ia hidup.” Ibu sudah selesai menyisir
rambutnya. Ia duduk disampingku dengan mata nyalang memandang foto ayah yang
tergantung di dinding.
“Apa Ayah marah jika Ibu
menikah lagi?”
“Ibu tidak tahu.”
“Jika Ibu bertemu Ayah, cobalah
tanyakan soal itu. Aku kira Ayah akan setuju. Ayah adalah orang paling baik di
dunia, jauh lebih baik dari pada Pak Guru.”
Ibu terdiam cukup lama.
Kepalanya tertunduk. Jari jemarinya lunglai di paha. Barangkali ia sedang
menimbang-nimbang usulku. Aku mendongak melihat jam, dan buru-buru keluar
kamar, tahu kalau acara kesukaanku sudah dimulai.
“Pelankan suara tipinya,
Lex. Ibu mau tidur!” teriak Ibu dari dalam kamar.
***
Sekitar satu jam kemudian
aku masuk ke kamar Ibu. Seketika harum parfum mawar menusuk hidungku. Lampu aku
nyalakan, lalu rebah di sampingnya. Sebenarnya, Ibu lebih suka aku tidur
sendiri. Tapi film yang barusan aku tonton telah menyiutkan nyaliku. Ohya,
tipinya lupa belum matikan. Ah, biarlah, toh televisi tidak punya rasa
kantuk.
Ibu tidur miring berhadap-hadapan
denganku sehingga aku bisa melihat alisnya yang melengkung indah. Napasnya mengalir
tenang dan wajahnya tampak damai dan terlihat lebih cantik ketimbang saat Ibu
terjaga. Aku baru mau memejamkan mata ketika kulihat bibir Ibu tersenyum.
Mungkin Ibu baru saja bertemu dengan Ayah dan semoga ia tidak lupa menyampaikan
permintaanku. Hanya sebentar, tak lebih dari lima detik, senyum Ibu telah hilang.
Aku menunggu bibir Ibu kembali mekar untuk kemudian aku akan menganggap bahwa
Ayah pastilah telah menyetujui permintaannya. Entah berapa lama aku menunggu.
Tahu-tahu sudah pagi. Kurasakan Ibu menepuki bokongku keras sekali. “Kau apakah
tipinya? Kenapa tak bisa nyala, heh?!”
Wonosobo, 2013
5 comments
commentsMantap lanjutakan,..
Replywww.jangkalangit.com
Saya masih penasaran, Pak, kenapa si Ibu selalu berdandan sebelum tidur? :)
Replyterimakasih. benar nih sudah baca?
Replymasing-masing pembaca mungkin punya tafsir yang berbeda atas jawaban itu, mbak. makasih sudah berkunjung
ReplyMas cerpennya keren2 banget,aku sudah baca semuanya,ditunggu ya mas karya2 berikutnya
Reply