Pengakuan Sampah

 

filipinas

Cerpen Jusuf AN

Cerpen ini mendapat juara pertama Lomba Cerpen Tirto Utomo Award 2013

Seorang anak muda dengan mata menyorot merah muncul dari pintu. Ia berjalan mendekatiku yang berdiri diam di beranda. Aku tak percaya ketika tiba-tiba ia melayangkan kakinya, menendangku. Aku terbang sebentar di udara sebelum kemudian terjatuh, tepat di tengah jalan raya. Semua isi perutku tumpah di aspal. Tidak beberapa lama, sebuah mobil datang menggilasku, membuat tulang-tulangku patah.

Sejak itulah, aku resmi berganti nama. Tidak tepat lagi aku menyandang nama Tempat Sampah. Dalam keadaanku yang seperti sekarang, semua orang tahu namaku: Sampah!

Bermacam kendaraan yang melintas terus-terusan menggilas tubuhku yang telah gepeng serupa lempengan seng. Mulanya aku berada di tengah-tengah jalan raya, lama-lama aku dibawa menepi oleh roda-roda yang melindasku tiada henti. Sementara sampah-sampah yang tadinya berada di perutku, yang kebanyakan adalah sampah kertas dan plastik telah beterbangan, berpencar-pencar, menerima takdirnya masing-masing.

Ya, sebagai sampah kami memang harus menerima nasib yang telah diguratkan. Sebab menolak pun akan percuma. Kami tak dapat memilih, atau lebih tepatnya, kami tak punya pilihan sama sekali. Nasib kami tergantung bagaimana manusia memperlakukan kami.

Angin bertiup kencang, merontokkan dedaunan dan ranting-ranting kering pohon rambutan. Tubuhku tergeletak tak berdaya, sama sekali tak punya daya, apalagi upaya. Bisaku cuma berandai-andai, atau lebih tepatnya berangan-angan saja. Aku angankan seorang pemulung datang, memungutku, membawaku ke pengepul, hingga pada akhirnya aku menjelma sebagai barang baru, bukan lagi sampah yang tak berarti.

Lama aku menunggu pemulung itu datang. Pemulung yang bisa muncul kapan saja, dan dengan penuh cinta memungut tubuhku, memasukkannya ke dalam keranjang atau karung dengan hati yang barangkali tersenyum.

Sejauh ini, yang aku tahu, hanya pemulung saja yang benar-benar memahami keadaanku. Hanya pemulung saja yang mengerti dan tahu angan-angan bangsa kami, bangsa pada Sampah.

Tapi sang pemulung yang aku tunggu tak juga muncul. Sementara langit terlihat pucat. Angin terus bergerak mengarak awan, dan perlahan warna langit mengelam. Dalam waktu yang tidak begitu lama siang menjadi remang.

O, celaka! Hujan akan segera tiba. Kenapa kau tak jua datang, wahai sang pemulung? Tidakkah kau tahu bahwa aku tidak begitu suka terhadap hujan? Cepatlah datang!

Tapi keinginanku sia-sia saja. Sampah sepertiku barangkali memang tidak pantas untuk berkeinginan. Langit telah menjatuhkan butir-butir air — yang mungkin adalah anak-anaknya. Anak-anak langit yang tidak aku sukai, beberapa telah menitik di tubuhku. Aku telah cukup sering mengalami hal seperti ini, sehingga bisa membayangkan akan seperti apa nasibku jika saja sang pemulung tidak segera datang.

Dulu, sebelum aku keluar dari pabrik sebagai tempat sampah berawarna abu-abu, aku pernah menjadi pipa paralon. Paralon yang panjang, yang kemudian dipotong-potong untuk dipasang sebagai pelindung kabel listrik di sebuah gedung pemerintahan—aku mengetahuinya dari percakapan para tukang yang memasangku. Gedung itu berdiri tidak begitu lama. Barangkali karena campuran bahan bangunannya tidak baik atau karena salah desain, entahlah. Yang terang, gedung itu diruntuhkan.

Aku dan teman-temanku dicampakkan begitu saja di pinggir jalan, barangkali mereka telah menggolongkan kami sebagai sampah, bukan lagi pipa paralon yang masih bisa digunakan. Tapi, kami beruntung, sebab tak lama kemudian datanglah sang pemulung. Kami dibawa ke pengepul sampah, sebelum kemudian diangkut lagi dengan truk yang besar, bergoyang-goyang tubuhku di jalan yang bergelombang. Tiba di tempat tujuan, kami kemudian di kelompokkan menurut jenis kami masing-masing.

Aku yang tergolong sampah plastik keras digabung bersama pecahan ember, vas bunga, pigura, pintu kamar mandi, sepeda balita, dan berbagai macam sampah lainnya. Beberapa temanku sebenarnya masih terlihat bagus, hanya perlu dibersihkan untuk bisa dikembalikan kegunaannya. Memang, sebuah barang, dinamai sampah atau bukan, tergantung siapa memandang dan menggunakan.

Setelah dikelompokkan, kemudian kami dimasukkan ke dalam wadah raksasa yang barangkali terbuat dari baja, siap untuk dileburkan. Tubuhku meleleh bersama tubuh-tubuh sampah lainnya. Kami meleleh menjadi bubur. Kesadaran kami menghilang, lebur dengan perasaan kami yang gembira riang, bersiap untuk dibentuk menjadi barang apa saja. Saat aku kembali tersadar, kutahu diriku bukan lagi pipa paralon, melainkan bak mandi bayi. Warnaku merah menyala. O, indahnya.

Aku terbangun dari lamunan. Anak-anak langit yang genit itu semakin lama semakin banyak berjatuhan. Tubuhku telah sempurna basah. Sementar sang pemulung tak datang juga. Payah!

Lebih payah lagi, hujan tak juga reda, bahkan kian menggila. Air mulai menggenang di aspal, tubuhku telah terbenam, dan perlahan-lahan mulai terseret air. Saat itulah, aku mencoba untuk pasrah.

Air terus menyeretku, ke selokan. Bersama sampah-sampah lain aku berenang. Ada bungkus chiki, sikat gigi, bungkus mie, dedaunan, reranting pohon, dan aneka sampah lainnya.

“Gawat!” Aku berteriak. Sulit rasanya untuk benar-benar pasrah.

“Kok gawat?” sehelai daun yang mengambang di dekatku menimpali.

“Aku bilang gawat!”

Lhah kenapa? Apa yang digawatkan bagi sampah macam kita?”

“Aku dan kau memang sama-sama sampah. Tetapi kita berbeda.”

“Berbeda bagimana?”

“Kau daun kering, usiamu cuma beberapa hari saja. Sementara aku…”

“Aku paham maksudmu, Kawan.”

“Kau bisa bayangkan, sekiranya nanti aku terseret hingga sungai, terdampar begitu saja di sebuah tempat yang tak terlihat? Usiaku bisa ratusan tahun. Tetapi jika tidak memberikan manfaat bagi kehidupan, dan justru merugikan, betapa itu sangat menyedihkan bagiku.”

Sehelai daun itu, hei, di mana dia? Ah, mungkin telah mendahuluiku, atau tersangkut sesuatu di belakangku, entahlah.

“Sudahlah, kita tak dapat memilih, punya pilihan pun tidak.”

Aku mendengar suara itu. Di belakangku kulihat gelas air minum kemasan yang mengambang begitu tenang, seolah-olah telah benar-benar pasrah menjalani nasib yang diguratkan.

“Terima kasih sudah mengingatkan,” tanggapku pendek.

Sesama sampah memang harus saling mengingatkan. Benar, kami memang harus pasrah, sebab kami tak punya pilihan. Demikian pula ketika tiba-tiba tubuhku membentur kayu panjang yang melintang. Tubuhku tenggelam, terhimpit bersama ranting-ranting kecil, tak bisa bergerak sama sekali. Sampah-sampah berdesakan mendorongku, dan aku mengira air yang tak menemukan jalan melintasi selokan seketika meluap ke jalan raya.

Entah berapa lama aku terdiam di selokan. Langit terlihat cerah ketika seorang manusia memungutku yang terjepit di kayu panjang yang melintangi jalan selokan. Inilah pemulang yang aku tunggu-tunggu! Tapi ternyata orang itu tidak membawaku, tidak memasukanku ke dalam karung atau keranjang. Bersama reranting, dedaunan, dan sampah-sampah plastik lain, aku dimasukkannnya ke dalam lubang tanah.

Tamatlah riwayatku! Nanti, besok atau lusa, orang itu pastilah akan membakarku. Ini lebih menyedihkan ketimbang aku terlempar ke pinggir sungai. Jika terdampar pinggir sungai atau terkubur di dalam tanah aku masih punya kesempatan seseorang menemukanku dan memperlakukanku sebagaimana yang dilakukan oleh para pemulung. Jika aku sampai dibakar, aku tidak punya kesempatan lagi untuk mengabdikan diriku sebagai barang yang berguna. Aku akan menjadi senyawa, terbang ke angkasa, dan manusia akan mengataiku sebagai residu dan gas berbahaya.

Ya Tuhan! Aku tak bisa memilih, sebab memang Kau tak memberiku pilihan. Tetapi ijinkanlah aku untuk memohon. Datangkan pemulung ke tempat ini. Perlihatkan padanya keberadaan kami! Amin.

Kalau pemulung itu benar-benar datang, berarti Tuhan telah mengabulkan doaku. Dan aku akan memohon lagi kepada-Nya untuk menjadikan diriku emas saja. Hem, apakah ini mungkin? Mungkin saja. Aku pernah mendengar seorang ayah mendongeng kepada anaknya tentang sepasang sandal yang berdoa untuk menjadi tikus, dan Tuhan mengabulkan keinginan mereka. Jadi, apa yang tidak mungkin bagi Tuhan untuk mengubahku menjadi emas.

Pemulung yang menemukanku pasti akan sangat gembira. Dan aku akan turut gembira. Aku termasuk sampah yang beruntung, sudah terlalu banyak berhutang budi kepada para pemulung. Untuk pertama kalinya pemulung menyelamatkanku yang waktu itu berupa pipa paralon, sehingga aku bisa berubah wujud menjadi bak mandi bayi. Beberapa tahun setelah itu, ketika tubuhku sebagai bak mandi telah pecah, pemulung kembali datang menyelamatkanku, membawaku ke pengepul sampah, hingga kemudian tahu-tahu aku sudah menjadi rangka monitor teve. Bertahun-tahun kemudian, setelah tubuhku gosong-gosong, aku dibuang ke bak sampah, sampai ada pemulung menyelamatkanku untuk ke sekian kali. Tahu-tahu aku sudah menjadi tempat sampah, sesuatu yang sungguh luar biasa. Seorang manusia membeliku di sebuah toko, dan berminggu-minggu kemudian, seorang anak muda yang marah menendang tubuhku ke jalan raya.

Aku membayangkan tiba-tiba seorang pemulung datang, melirik ke lubang tempatku bersemayam, dan ketika mau memasukkanku ke dalam karung, dia terkejut menyadari barang yang dipungutnya bukan berupa tempat sampah yang telah gepeng, melainkan lempengan empas berkilauan. Dia mungkin akan buru-buru menjual aku, dan dengan uangnya dia bisa membeli banyak kebutuhan. Mungkin juga dia akan mendadak jadi kaya, dan dengan begitu tidak mau memulung sampah lagi.

Ah, jangan! Ini berbahaya. Pemulung yang menemukanku tetap harus jadi pemulung. Aku tidak begitu suka dengan orang kaya yang senang memborong barang-barang baru, lalu mencampakkannya begitu saja ketika tak lagi dibutuhkan. Pemulung yang menemukanku haruslah tetap menjadi pemulung. Tapi, aku tidak yakin. Sebab, bukankah pemulung juga manusia. Dan setahuku, manusia adalah makhluk yang mudah lupa akan tugasnya dilahirkan ke dunia.

Aduh, terus bagaimana baiknya? Apakah aku tidak perlu memohon untuk menjadi emas? Mungkin lebih baik kubiarkan saja pemulung membawaku dalam wujud asliku, dan akan aku nikmati nasibku selanjutnya, apa pun wujud dan peranku setelah ini.

Tapi kapankah pemulung itu akan muncul? Tidakkah Tuhan mendengar permohonanku? Sudah dua kali matahari melintas di atas lubang tempatku bersemayam, tetapi belum aku temui tanda-tanda kemunculan sang pemulung. Jangan-jangan pemulung dilarang masuk wilayah ini.

Tiba di hari ketiga sama saja. Harapanku semakin melepuh. Lubang tempatku menanggung derita ini makin lama makin penuh. Dan aku begitu terkejut ketika kudengar suara langkah orang mendekat. Tadinya kukira itu jawaban Tuhan atas doaku.

Tetapi dugaanku keliru, karena orang itu bukannya memungut aku, tetapi justru menyiramkan air dari dalam botol. Aku terkejut dengan bau air yang telah membuat sebagian tubuhku basah ini.

O, gawat! Sungguh-sungguh gawat. Riwayatku sebentar lagi akan benar-benar tamat.

“Ayah mau membakar sampah ya?”

“Iya, habisnya tidak ada petugas sampah lewat depan rumah kita.”

“Tapi, Yah. Bukankah di kampung ini sudah ada Bank Sampah?”

“Ayah malas kalau harus memilah-milah, lebih baik ayah bakar saja.”

“Tenang, Yah. Mumpung hari libur, biar anak ayah ini yang kerjakan.”

“Apa Ayah tidak salah dengar?”

“Jangan kaget begitu, Yah. Biasa saja.”

Benar-benar tak terduga ada anak seperti itu di dunia. Sebelum mengambil sampah-sampah plastik yang lain, akulah yang pertama kali dia pungut dan dimasukkan ke dalam plastik besar. Tubuhku bergoyang-goyang cukup lama, sampai aku mendengar suaranya: “Tabunganku hari ini, Pak.” Aku tak tahu dia sedang berbicara dengan siapa. Entah apa pula maksud kalimatnya.

Mungkinkah anak itu adalah kiriman Tuhan untuk menjawab permohonanku? Entahlah. Yang terang, anak itu sudah menolongku.

Kelak, aku akan menjelma menjadi barang baru. Dan aku tahu, suatu waktu aku akan menjadi sampah lagi. Semoga Tuhan kembali mempertemukanku dengan anak seperti itu.

Wonosobo, Januari 2013

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

2 comments

comments
15 September 2013 pukul 07.06 delete

indah sekali, kita memang perlu memanfaatkan sampah agar berguna, biar sampah itu akan lebih senang

Reply
avatar
15 September 2013 pukul 11.13 delete

terimakasih sudah berkenan membaca. begitulah, sial benar nasib sampah yang tidak diolah. salam

Reply
avatar