Cerpen Jusuf AN
Pernah dimuat di Suara Merdeka, 3 Februari 2013
Malam di sebuah stasiun, setelah tujuh tahun tak bersua, kami kembali jumpa. Kirai mengaku sudah lama mencariku dan aku pun begitu. Kami terharu, berpelukan dan tersedu. Kami tak bisa tertawa karena terlalu bahagia. Setelah bercakap sejenak, Kirai mengajakku ke sebuah rumah di perkampungan kecil. Di sana, di atas ranjang tepatnya, kami melebur rindu. Di tengah percintaan yang dahsyat itu mendadak aku tersadar jika tubuhku masih perempuan, seperti Kirai. Dan percintaan segera kuhentikan. Meski begitu, aku kembali mengulang percintaan semacam itu, sampai berkali-kali.
“Aku masih lalaki, Kirai.”
“Dan aku tetaplah seorang perempuan.”
“Apa kita akan tetap selamanya menjadi sepasang kupu dan akan mati tanpa meninggalkan keturunan.”
“Kau berpikir tentang masa depan, Sayang?”
“Kau ingin mengenang masa lalu, Kiraiku?
“Tidak, Sayang. Aku tak ingin kita bertengkar.”
***
Kawan, pastilah kau pernah mendengar pengakuan Kirai. Pengakuan yang meledak-ledak yang juga aku baca di sebuah surat kabar yang terbit hari Minggu. Tetapi tak ada salahnya aku mengulang sedikit cerita yang pernah Kirai sampaikan. Barangkali cerita Kirai kurang lengkap, atau kurang bersih, karena bercampur marah dan dendam.
Desember, tujuh tahun lalu, aku tak mungkin lupa. Malam itu, tak kusangka Kirai bisa keluar dari tabung kaca di mana aku mengurungnya. Aku terbangun dari tidurku yang tak nyenyak dan mendapati Kirai telah berdiri menatapku penuh dendam. Ia sudah kembali ke ujudnya yang asli: perempuan cantik dan seksi. Ia telah berhasil lepas dari sihirku. Di tangannya tergenggam sebuah batu berwarna merah delima. Aku cukup tenang saat itu, mengira Kirai tak bisa menggunakan batu itu. Tapi ternyata, dugaanku keliru. Setelah Kirai merapal manteranya (mungkin ia hafal karena sering mendengarku mengucapkannya), seketika tubuhku menggeliat di lantai. Sekejap saja sekujur tubuhku sudah menjelma menjadi tubuh perempuan. Otot-ototku tenggelam. Suara lelaki hilang. Tanpa berkata-kata lagi Kirai segera pergi meninggalkanku sendiri.
Masih beruntung Kirai tak menyihirku menjadi makhluk sebesar capung, seperti yang dulu aku lakukan padanya. Aku tahu, ia menginginkanku menjadi seorang perempuan agar aku bisa merasakan kesedihan yang Kirai rasakan. Kirai menganggap, aku telah menjadikannya boneka pemuas nafsu semata. Mhh, sepertinya keterangan Kirai perlu aku luruskan. Dan untuk itu aku mesti menerangkannya dari awal perjumpaanku dengan Kirai.
Di lobi hotel itu aku bertemu dengannya awal kali. Sekitar satu jam sebelum pertemuan itu, aku baru saja menerima tamparan dari isteriku yang kupergoki tengah berselingkuh di kamar hotel. Kurang ajar sekali isteriku. Sudah tertangkap basah masih menamparku pula. Kepalaku masih dipenuhi dengan kehinaan yang diperbuat isteriku ketika Kirai duduk di sofa di depanku. Setelah lama berpandangan, akhirnya kami berbincang. Entah kenapa perbincangan kami mengalir seperti sungai. Kami bercerita tentang bacaan-bacaan sastra, film komedi dan drama, dan beberapa tempat pariwisata. Sampai kemudian, setelah sungai percakapan mengalir panjang, kami bertukar nama dan nomor ponsel. Sampai sekarang Kirai tak pernah tahu, bahwa aku tengah patah hati waktu perjumpaan itu.
Malamnya, aku menelpon Kirai, mengadakan janji bertemu. Paginya aku ceraikan isteriku yang pulang dalam keadaan mabuk bersama beberapa lelaki bertubuh gemuk. Isteriku justru terbahak setelah mendengar kalimat ceraiku. Dan ia kemudian mengusirku dari rumah yang ia beli dengan uang hasil kerjanya. Kirai tak pernah tahu hal itu, dan sengaja aku merahasiakannya.
Kian lama hubunganku dan Kirai bertambah rekat. Kami sering bersama menikmati senja di pantai dan tidur satu kasur di hotel sederhana. Sungguh, kegaduhan dan kesedihan di hatiku hilang ketika aku bersamanya.
“Kau telah menyihirku, Kirai.”
“Maksudmu?”
Kirai seolah tak percaya jika aku benar-benar jatuh cinta padanya. Ia tak ingin ikatan cinta merampas kebebasannya. Ia ingin berhubungan tanpa sebuah ikatan yang menjerat. Juga, ia masih tak yakin dengan ucapanku.
Kirai benar-benar telah menyihirku. Kemarahanku sering mendadak meledak-ledak ketika melihatnya bersama dengan lelaki lain. Aku ingin memiliki Kirai sepenuhnya. Di tengah keinginanku yang kian menggebu kebetulan aku berjumpa dengan kawan lama yang dulu begitu tekun belajar ilmu agama. Setelah kuceritakan masalahku, ia menawariku sebuah batu berwarna merah delima. Katanya, dengan batu itu aku bisa mewujudkan keinginanku: mendapatkan cinta Kirai, memilikinya sepenuhnya, selamanya.
Mulanya aku ragu menggunakan batu itu. Dan aku hanya menyimpannya selama berminggu-minggu. Sampai suatu malam Kirai menolak aku ajak bercinta dan berniat mengakhiri hubungannya denganku. Entah kenapa Kirai mendadak sadar jika kelakuannya selama ini telah melintasi batas-batas norma. Maka, segera aku keluarkan batu itu dari saku dan merapal manteranya. Ajaib! Seketika tubuh Kirai yang tadinya sempurna sebagai seorang perempuan berubah mengecil. Dengan mudah aku menangkapnya dan memasukkannya ke dalam tabung kaca yang kuambil dari ranselku.
Sejak itulah aku seolah kehilangan kesadaran. Aku tak tahu sebabnya. Sering kudengar bisikan lembut di telingaku, menyuruhku mengeluarkan Kirai dari kurungan, menjelmakannya menjadi perempuan normal, lalu memperkosanya. Kadang aku merasa kasihan dan berkeinginan melepaskankan sihirku. Tetapi keinginan itu hanya terlintas sejenak. Seperti ada yang mengontrol pikiranku untuk tetap mengurung Kirai. Mungkinkah batu dan mantera yang kubaca itu berpengaruh pula padaku? Entahlah. Yang jelas kemana pun aku pergi, tabung kaca dengan lubang udara kecil-kecil pada tutupnya itu selalu aku bawa.
“Apa kau tak bosan membawa satu perempuan itu melulu?” tanya kawanku yang dulu memberikan batu sihir itu.
“Tidak.” Tegas aku menjawab. Dan ia menyanjungku sebagai lelaki setia.
Sampai 21 Desember itu tiba. Dengan batu itu Kirai menyihirku menjadi seorang perempuan, lalu pergi begitu saja meninggalkanku.
Malam itu juga aku keluar mengejar Kirai. Barangkali ia mau memaafkanku dan bersedia mengembalikan tubuhku ke ujur semula. Berhari-hari, berbulan-bulan aku mencarinya, dan tak menemu hasil. Sampai suatu ketika seorang lelaki mengaku tertarik padaku. Ia baik dan ramah. Maka ketika ia mengajakku menikah, entah kenapa tak bisa aku bantah. Seminggu setelah menikah lelaki itu selalu pergi dari pagi hingga sore meninggalkanku sendiri, menyuruh ini-itu, dan sering memaksaku melayani hasrat seksualnya sesukanya. Aku tak tahan. Selain karena perlakuannya yang berubah kasar, juga karena aku masih terus teringat Kirai. Sekujur tubuh dan suaraku memang sudah berubah serupa perempuan, tetapi jiwaku tetaplah laki-laki. Maka, aku minta cerai. Dan melanjutkan pencarianku.
Ketika tak sengaja bertemu dengan kawan yang dulu memberikan batu sihir itu, hatiku cukup berbunga. Kawanku terkejut dengan pengakuanku dan mengaku tak sanggup mengembalikan tubuh lelakiku. Aku balik terkejut. “Hanya orang yang menyihirmu yang bisa mengembalikan tubuhmu,” katanya. “Carilah orang itu dan rebut batu itu darinya.”
Begitulah. Di sebuah stasiun, setelah tujuh tahun berpisah, akhirnya aku menemukan Kirai kembali. Tak kusangka, benar-benar tak pernah aku sangka, ternyata Kirai juga sudah lama mencariku. Ia mengaku selalu dikejar bayangan tentangku. Ia menjelaskan bahwa hidupnya serasa tak lengkap tanpa kehadiranku. Ia merasa bersalah dan menyesali perbuatannya. Ia meminta maaf padaku, mengaku jika waktu itu dirinya dikuasai amarah.
***
“Kau ingin kembali ke ujudmu? Adakah itu penting, Sayangku?” tanya Kirai suatu kali, setelah hampir setengah tahun kami berdua hidup dan tinggal dalam satu rumah.
“Setidaknya agar orang-orang di luar sana menganggap kita manusia normal. Tetangga-tetanggamu sudah mulai curiga dengan hubungan kita, Kirai. Apa kita akan mendiamkan ini berlarut-larut.”
“Sepasang kupu seperti kita tak mungkin saling menindas, Sayang. Kita pasangan paling bahagia. Setidaknya untuk saat ini.”
“Kirai, cobalah ingat-ingat lagi, di mana dulu kau buang batu merah delima itu?”
“Batu? Kau masih butuh batu laknat itu? Tapi untuk apa lagi, Sayang? Bukankah kita begitu bahagia sekarang?”
“Ya, aku cuma ingin tahu, kau buang di mana batu itu?”
“Di laut aku melemparkan batu itu. Tak mungkin mencarinya, bukan?” Kirai mendekapku. “….”
“Peluk aku lebih erat, Sayangku.”
“Sebentar! Suara itu, kau dengar suara gaduh di luar itu?”
“Mungkin ada pencuri tertangkap.”
“Suara itu semakin jelas, seperti serombongan orang menuju ke mari.”
Kirai terdiam sejenak, lalu berjingkat mengambil kapas, memerasnya kecil-kecil dan menyumpalkannya di lubang telinganya dan lubang telingaku. Tak terdengar lagi suara riuh orang-orang di luar rumah. Kami erat berpelukan. Sampai daun pintu kamar mendadak ambruk dan segerombolan lelaki bermata merah memandangi kami penuh marah.
Wonosobo, Juni 2007 - Januari 2012
Catatan:
Cerpen ini merupakan tanggapan atas cerpen “Menyihir Penyihir” karya Saroni Asikin (Suara Merdeka, Minggu, 10 Juni 2007). Tokoh utama dalam cerpen ini mengadaptasi secara bebas dari cerpen tersebut.
cerpen "Menyihir Penyihir" bisa Anda baca di sini. (http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/entertainmen/2007/06/11/362/Menyihir-Penyihir)