Merenungi ‘Idul Fitri, Hari Jadi Wonosobo, dan Kemerdekaan R.I
Bulan sabit menandakan Idul Fitri sudah dekat. Masjid yang pada awal Ramadhan penuh sesak, kemudian perlahan-lahan berkurang, akan kembali semarak oleh gema takbiran. Lalu SMS Lebaran berseliweran di angkasa, sebagian mungkin tabrak-menabrak seperti kecelakaan lalu lintas yang akhir-akhir ini begitu marak. Toko-toko kebanjiran pembeli, anggaran belanja mendadak meledak bagaikan mercon. Begitulah potret menjelang Idul Fitri. Dan setelah shalat ‘Ied dilangsungkan, tidak jarang pula kita kehilangan sandal, tapi sering pula kita temukan anak-anak muda yang biasanya ugal-ugalan mendadak menangis tersedu saat sungkeman dengan sang Ibu—pemandangan yang mengharukan.
Setelah sebulan berpuasa, tibalah saatnya umat Muslim merayakan hari kemenangan. Semuanya turut merayakan, meskipun banyak pula yang tidak berpuasa, atau hanya ‘pura-pura’ puasa. Perayaan Idul Fitri tahun ini (1434 H) agaknya akan lebih bersemarak, khususnya bagi masyarakat Wonosobo. Sebab Idul Fitri tahun ini berdekatan dengan perayaan Hari Jadi Wonosobo yang ke-188 dan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-68. Dalam sebulan, kita merayakan tiga kemenangan. Nikmat manakah yang kau dustakan?
Kalau kita mau berpikir lebih mendalam, sebenarnya ketiga kemenangan tersebut punya hubungan yang kait-mengait. Ketiga kemenangan tersebut memiliki spirit yang sama. Hari Jadi Wonosobo yang ditetapkan jatuh pada tanggal 24 Juli 1925 tidaklah lepas dari sejarah. Pada tanggal itulah, pasukan pendukung Pangeran Diponegoro yang dipimpin oleh Muhammad Ngarpah meraih kemenangan dalam perjuangan melawan Belanda di Logorok. Meski peperangan tersebut tidak terjadi di wilayah Wonosobo, melainkan di Yogyakarta, tapi kemenangan tersebut telah membawa Muhammad Ngarpah berganti nama menjadi Tumenggung Setjonegoro, yang kemudian memimpin Wonosobo selama kurang lebih tujuh tahun (1925-1932).
Tentu saja perjuangan Tumenggung Setjonegoro dalam menghadapi perang demi perang tidak seremeh yang kita bayangkan. Demikian pula dengan para pejuang kemerdekaan. Kalau kemudian kita tidak merinding saat mengikuti detik-detik proklamasi dan pengibaran Merah Putih diiringi lagu Kebangsaan, barangkali ada yang salah dengan hati kita.
Merayakan Hari Jadi Wonosobo dan Indonesia tidaklah cukup hanya dengan berjoget ria bersama Charly Setia Band dan mengibarkan bendera di depan rumah. Merayakan kemenangan Lebaran bukan pula dengan cara bar-baran (habis-habisan) uang supaya bisa dianggap kaya. Cara merayakan kemenangan yang terbaik adalah dengan menjadi manusia yang sebenar-benarnya, yakni manusia yang menyadari perannya sebagai khalifah di muka bumi. Demikian pula tradisi mudik, semestinya tidak dimaknai sekadar pulang ke kampung halaman, tetapi sekaligus pulang ke hati nurani, kepada rasa kemanusiaan kita yang hakiki.
Sebagai khalifah sudah semestinya kita ikut ambil bagian dalam meluruskan kembali yang melenceng, memelihara dan meningkatkan moralitas individu, masyarakat, dan bangsa. Dan Hari Raya Idul Fitri ini semestinya bisa dijadikan momentum yang baik untuk memulai hal itu.
Disadari atau tidak, banyak orang sudah kehilangan rasa kemanusiaannya. “Seperti harimau, kita selalu siap memakan orang lain. Bila kita pedagang, kita bangga kalau bisa menyauk keuntungan dengan menipu, memperdayakan, atau menjatuhkan orang lain. Bila kita atasan, kita bahagia bila bisa merampas hak bawahan, memungut hasil keringat mereka, atau menakut-nakuti mereka supaya berkorban demi kesenangan kita. Bila kita hanya pegawai kecil, kita tidak ragu-ragu mengorbankan iman kita demi sesuap nasi,” tulis Jalaluddin Rahmat dalam buku Membuka Tirai Kegaiban (2008)
Masih menurut Jalaluddin Rahmat, akibat kita yang telah lupa kepada Tuhan maka kita juga lupa pada kemanusiaan kita. Karena itulah, di hari ‘Idul Fitri, kita berharap Tuhan menyucikan diri kita lagi, mengembalikan kita kepada kemanusiaan kita lagi.
Kesucian, menurut Quraish Shihab dalam buku Membumikan Alqur’an (2002) adalah gabungan tiga unsur, yakni benar, baik dan indah. Karena itu, seseorang yang ber-‘Idul Fitri, dalam arti ‘kembali kepada kesucian’ akan selalu berbuat yang indah, benar, dan baik. Bahkan melalui kesucian jiwanya itu, ia akan melihat segalanya dengan pandangan positif. Ia selalu berusaha mencari sisi-sisi baik, benar, dan indah. Mencari yang indah melahirkan seni, mencari yang baik menimbulkan etika, mencari yang benar menghasilkan ilmu. Dengan seni, etika, dan ilmu itulah kita yakin bisa memajukan Wonosobo sebagai bagian dari Indonesia tercinta. | @jusufan