“Bendera”

Cerpen Jusuf AN, dimuat di Kedaulatan Rakyat 20 Agustus 2006

Dalam upacara Memperingati HUT RI ke 68 di Alun-alun Wonosobo, terjadi peristiwa yang tidak terduga, yakni saat Pengibaran Bendera, tidak bisa naik sampai puncak. Insiden tersebut membuat kita bertanya-tanya, apakah itu hanya kebetulan semata atau merupakan sebuah pertanda. Nah, jauh sebelum itu saya sudah menulis sebuah cerpen yang terdapat peristiwa nyaris serupa dengan insiden tersebut. Semoga menjadikan bahan renungan kita bersama. Merdeka!

Senja merah jatuh di teras rumah. Kesiur angin memainkan bendera di pucuk tiang bambu depan rumahku yang baru saja aku pasang. Bendera berukuran besar, mungkin 3 kali 4,5 meter, dengan warna putihnya kecoklatan. Bendera itu aku terima dari seorang lelaki tua yang aneh kemarin siang. Waktu itu, jika bukan karena Mansur, anak semata wayang yang baru menginjak TK, menangis meminta bendera aku dan istriku lebih memilih diam di rumah. Menikmati campursari lewat radio sambil leyeh-leyeh di ranjang. Ketimbang disengat panas matahari. Tapi akhirnya kami berangkat juga demi kasih kami kepada anak tercinta.
    “Yang ukuran kecil saja ya, Mas,” ujar istriku setelah aku menghentikan motor butut di depan penjual bendera yang pertama kami temui.
    “Bukankah Mansur minta yang besar? Kamu 'kan tahu watak Mansur seperti apa. Kalau tidak cocok dengan keinginannya tidak akan mau menerima,” jawabku.
    “Yang ukuran kecil 10 ribu, yang besar 20 ribu,” jelas penjual itu tanpa diminta.
    Aku dan istriku tertegak.
    “Mau beli berapa? Kalau mborong ya ada diskon.”
    “Cuma bendera, mengapa mesti mahal?” sahutku.
    Penjual itu tersenyum kecut, lalu melangkah menjauh seolah malas tawar-menawar. Penjual bendera kedua yang kami temui seratusan meter dari penjual pertama mematok harga serupa. Begitu juga penjual bendera ketiga, keempat, kelima.... Ah, entah sudah berapa penjual bendera coba kami tawar dan gagal. 
    “Sudahlah, Mas. Kita beli yang kecil saja,” saran istriku. Aku terdiam. Teringat pengumuman Kepala Desa lewat corong menara Masjid untuk memasang bendera di depan rumah. Kebetulan bendera yang biasa kami gunakan setahun sekali entah hilang kemana. Mungkin terbawa tetangga saat karnaval agustusan tahun lalu, atau dijadikan serbet atau keset oleh istriku. Entahlah.
Bagiku tak jadi soal jika tak memasang bendera karena memang tak punya. Untuk apa? Adakah orang-orang yang memasang bendera itu bermasksud agar lebih hikmat mengenang sejarah? Tapi ketika melihat semua rumah teman-temannya sudah lengkap dengan bendera Mansur seketika menangis. Air mata Mansur itulah yang paling ampuh meluluhkan hatiku. “Kecil dalam pandangan kita, mungkin besar di mata Mansur,” lanjut istriku, membuyarkan lamunanku.   
    Ya. Mungkin istriku benar. Maka, di penjual bendera yang kelima belas—mungkin aku salah hitung—akhirnya kami membelinya. Bendera dengan dua warna; merah menyala dan putih bersih dengan ukuran 60 cm x 90 cm. Semoga Mansur menganggap bendera itu besar, sama seperti punya teman-temannya.
    Keringat telah membasah di punggungku, juga terlihat berleleran di kening istriku. Karena ingin lekas sampai di rumah, aku mengambil jalur pintas dan melajukan motor lebih kencang. Belum setengah perjalanan pulang aku tempuh, seseorang dengan kepala dipenuhi uban dan wajah penuh garis keriput mengagetkanku. Jika aku tak cepat menginjak rem mustahil ia akan selamat. Betapa tidak, ia berdiri di tengah jalan dengan merentangkan dua tangan seperti polisi.
    “Maafkan kelancangan saya, Pak. Sudah seminggu ini saya jualan bendera dan belum satu pun yang laku. Belilah bendara-bendera saya ini, Pak,” kata lelaki tua itu. Bola matanya yang kecoklatan berkaca. Gasis-garis keriputnya nampak menebal. Mungkin usinya sekitar 75 dan ketika kemerdekaan negeri ini diproklamirkan ia sedang gagah-gagahnya. Atau, barangkali ia seorang veteran?
    “Saya mohon, Pak. Belilah satu saja,” katanya.
    Mendengar suaranya dan memandang raut wajahnya membuat darahku tak jadi naik. “Yang besar berapa, Pak?” tanyaku. Lalu berbisik di telinga istriku, siapa tahu lebih murah.
    “Dua puluh ribu, Pak. Pas. Sama seperti yang lain,” jawabnya.
    Mendengar itu aku buru-buru menyalakan motor. Tapi lelaki tua itu menjagalku. “Pasti Bapak keberatan dengan harga itu?” tebaknya.
    “Kami sudah beli, Pak. Tapi yang kecil, cuma untuk menyenangkan anak,” jawabku.
    “Bendera saya lebih bagus dari yang lain, Pak. Saya menjahit bendera-bendera ini sendiri, dengan penuh penghayatan, sambil mengenang masa muda di jaman penjajahan,” jelasnya. Mendung tebal menyelimuti dua bola matanya. “Jika Bapak memasangnya di depan rumah, pastilah bendera yang Bapak beli ini akan nampak lebih gagah dan lebih indah dari yang lainnya.”
    Aku lagi-lagi tersentuh dengan getar suaranya yang pelan dan parau. Sejenak aku dan istriku berpandangan. Dari mata istriku aku menebak perasaan yang sama denganku tengah ia rasakan. Tujuh tahun aku bersamanya membuatku paham kalau ia perempuan berhati lembut dan suka menolong orang lain.
    “Bagaimana, Pak?”    
    Aku merogoh saku celana mengeluarkan semua isinya. Hanya selembar uang lima-ribuan. “Maaf, Pak. Tadinya kami ingin beli yang besar. Tapi maaf, uang kami tak cukup,” kataku.
    Mendadak penjual itu meloncat ke belakang, mengambil sesuatu dalam kotak kayu. Aku heran, meski sudah renta, tapi gerakannya begitu cepat. “Pasanglah bendera ini, Pak. Saya berikan cuma-cuma untuk Bapak,” terangnya. Aku tercengang lama.    
    “Matur nuwun, Pak. Kami sudah punya, meski kecil tak apa. Bapak pasang saja bendera itu di depan rumah Bapak,” jawabku. Meski gaji sebagai guru honorerku kecil, tapi aku lebih senang membeli dari pada diberi. Dan iteriku bisa memahami.
    “Meski usia bendera ini cukup tua tapi masih bagus, Pak. Dulu bendera ini biasa saya kibarkan di pucuk tiang yang tinggi setiap bulan Agustus tiba. Tapi sudah puluhan tahun ini, setiap saya memasangnya, ia selalu turun dengan sendirinya menjadi setengah tiang. Saya tak tahu persis sebabnya. Mungkin bendera ini akan bertahan dipucuk tiang jika dipasang di rumah Bapak, dan saya akan turut senang.”
    Karena ia terus memaksa, akhirnya kami menerima. Setibanya di rumah, aku, istriku dan Mansur membentangkan bendera pemberian lelaki tua itu di lantai. Mulanya Mansur tertawa girang. Tapi ketika bendera itu terbentang sempurna dan terlihat bercak-bercak merah pada warna putihnya tawa Mansur seketika berhenti. “Kok kotor?” kata Mansur kecewa.
Sebelum tangis Mansur kembali pecah, aku segera menyuruh istriku mencuci bendera itu. Istriku telah menyikatnya keras-keras dengan busa sabun yang melimpah, tapi bercak-bercak merah itu justeru membuat warna putihnya menjadi kecoklatan dan jelek. Untunglah Mansur mau menerimanya dan esok sorenya aku baru sempat mengibarkannya.
***    
    Lama aku memandang bendera yang berkibar di pucuk tiang itu sambil mengingat wajah lelaki tua yang dalam matanya dipenuhi guratan kesedihan. Tadinya aku kira apa yang dikatakan oleh lelaki tua itu bohong belaka. Buktinya bendera itu tetap berkibar di pucuk tiang. Tetapi ketika angin berkelebat kencang, dadaku mendadak bergeletar. Aku membelalakkan mata menatap bendera itu pelan-pelan turun dan berhenti di tengah-tengah tiang bambu.
Segera aku turunkan bendera itu, memeriksa apakah tali yang aku pasang kurang kencang, kemudian mengibarkannya kembali. Sungguh, aku yakin benar sudah begitu kencang menalinya Tapi sebentar kemudian, bersama dengan kelebat angin kencang bendera yang berkibar di pucuk tiang itu kembali turun menjadi setengah tiang. Beberapa kali aku menurunkannya dan membenarkan letak bendera itu di pucuk tiang, tetapi tetap saja ia turun menjadi setengah tiang. Tanpa panjang pikir lagi segera aku bergegas mengambil motor dan pergi untuk menemui lelaki tua penjual bendera itu.

Yogyakarta, Agustus 2006

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »