Ambang Pintu

majalah Femina
Cerpen Jusuf AN

Duduk di kursi bus yang akan membawaku ke kampung halaman wajah emak membayang. Masih aku ingat dua bola mata emak yang sunyi ketika mengantarkanku hingga ambang pintu di pagi yang mendung itu. Tentu aku tidak tega meninggalkannya dalam keadaan seperti itu. Tapi, kerena keinginanku untuk meninggalkan kampung kian tebal, maka terpaksa aku berangkat.
"Aku pergi untuk kembali, Mak." Aku bahkan tak menyangka bisa berkata seperti itu. Mata emak mendadak berkaca. Aku paham, emak tidak sepenuhnya percaya. Kepergian Bapak lima tahun silam membuat emak ragu bahwa keberangkatan selalu berdampingan dengan kepulangan. Tapi emak adalah emak: perempuan yang paling menghargai keinginan anak.
"Emak ngerti, kau memang mesti belajar mencari bekal. Berangkatlah, Yanto, dan jangan lebih dari setahun, kau harus kembali. Emak sebenarnya juga ingin…" suara emak mendadak tercekat di tenggorokan. Emak mendunduk, lalu beranjak dari ambang pintu tanpa melengkapkan kalimatnya.
(maaf!) Aku tak rajin menandai angka kalender. Apalagi menghitung hari. Karenanya aku tak tahu persis bulan dan tanggal berapa aku berangkat dan pulang sekarang. Aku hanya bisa mengira-ngira. Dan semoga saja perkiraanku benar. Yang aku ingat, lebaran kemarin aku tak pulang dan hanya sempat ulukkan salam maaf dan kerinduan dengan menghubungi telepon genggam Mbak Yanti. Kudengar suara emak terbata. Emak begitu mencemaskanku meski sudah aku bilang keadaanku baik-baik saja.
Bus ekonomi yang kutumpangi terus berderak menembus gelap. Aku duduk tepat di belakang jok sopir. Di sebelahku seorang perempuan muda, berambut sebahu, dengan celak dan pupur tebal pulas tertidur, seperti juga penumpang lainnya. Sementara sopir dan kondektur masih ngelantur ngalor-ngidul. Memandang wajah tirus dan kumis serupa ulat berbulu hitam kondektur itu mengingatkanku pada seorang lelaki yang sudah lama tidak aku kenang: Bapak. Termasuk emak (tentu juga aku), tidak tahu ada di mana bapak sekarang. Waktu pamit, bapak hanya bilang mau ikut Kang Wasir, menjadi kuli bangunan. Ketika kami tanya, Kang Wasir menjelaskan, bapak memang pernah bekerja bersamanya di Jakarta. Hanya beberapa bulan, dan setelah itu menghilang. Menghilang? Mungkin bapak telah tertimbun reruntuhan bangunan. Ah tidak! Semoga saja bapak masih hidup dan suatu saat nanti akan kembali. Mungkinkah kondektur bus itu bapak? Jika benar, betapa laknat ia tak mengenali wajah anaknya.
"Bapak besok mau pergi ke Jakarta, le. Kamu sudah gede, jaga emak di rumah," kata bapak sehari sebelum ia berangkat. Aku mengangguk senang. Bapak memang selayaknya merantau, seperti kebanyakan tetangga di kampungku. Dari pada di rumah, kerja bapak cuma kluntang-kluntung, tak jelas. Kalapun kami, aku dan emak, bisa makan mungkin uang yang bapak peroleh bukan dengan jalan yang benar. Diam-diam aku sering mengendap-endap dari balik pokok kamboja, ketika bapak berjudi di kuburan. Pernah juga tak sengaja aku lihat bapak menyelinap ke rumah bakul togel dan mengubur kertas-kertas di celananya ketika keluar dari rumah itu.
Tapi Emak tak seperti aku!
Sejak bapak pergi, hampir setiap pagi kulihat emak berdiri termangu di ambang pintu depan. Tidak seperti kebanyakan isteri-isteri di kampungku, emak tak punya kerja apa-apa selain memasak dan membersihkan rumah. Aku tahu bapak telah melarangnya dulu. Mencari nafkah itu urusan suami, jelas bapak, ketika emak berniat memelihara kambing untuk mengisi hari. Bisa aku pahami, emak adalah isteri yang patuh pada suami. Bahkan hingga kini (menurut kabar dari kakak) emak masih tak berani membantah, meski kabar bapak tak jelas dan, pastinya, tak pernah lagi kirimi uang nafkah. Kebiasaan emak termangu di ambang pintu tak juga ia lupakan. Seolah ambang itu menyimpan sebuah harapan kepulangan bapak.
"Mungkin bapak sudah kawin lagi, Mak," cetusku beberapa tahun lalu di suatu pagi, di depan Emak yang termangu.
"Huss!" bentak emak mengagetkan. "Emak lebih tahu bapakmu dari pada kau, Yanto." Emak terdiam sebentar. Menunduk. Dan begumam, "mungkin bapak telah pulang, Yanto. Pulang ke …."
"Ke tempat siapa, Mak? Bapak punya isteri lain ya? Kenapa Emak baru cerita."
"Tidak, Yanto. Tidak. Ee.., mungkin bapak pulang ke kampungnya di Malang."
"Lho, Mbak Yanti kan sudah pernah nanya ke Malang dan bapak tak ada di sana, Mak."
"Sudahlah, Yanto. Suatu saat nanti bapak pasti akan kembali." Sebenarnya sebuah pertanyaan sudah menggantung di lidah dan tinggal melempar ke udara, tapi terlebih dulu Emak mencegat, "Jangan tanya tepatnya kapan! Kalau pun bapak tidak kembali, Emak yang akan menyusulnya. Dan jangan juga tanya ke mana!"
Beberapa hari setelah percakapan itu, sembari melintas di depan Emak aku nyanyikan lagu kesukaanku: "mencari apa yang di cari, menunggu apa yang ditunggu….." Lagu itu ternyata benar-benar menyentuh perasaan emak. Emak marah dan mengusirku dari rumah. Kemarahan emak hanya luapan kesal sesaat, malamnya, ketika aku tengah genjrang-genjreng di gardu, emak menyuruhku pulang. Dan beberapa hari setelah itu aku pamit untuk merantau.
Sebetulnya niatku untuk pergi dari kampung sudah hampir satu tahun aku pendam dan tinggal menunggu saat yang tepat untuk pamitan. Bukan berarti aku tak punya kerja di kampung. Punya. Tapi tak tetap. Kadang aku ikut Mandor Tolib jadi kuli bangunan, atau bekerja di pabrik kerupuk Lek Sarmo. Tapi aroma kampung membuat jiwaku kian bebal. Tak ada peningkatan. Uang yang aku dapat selalu kandas untuk bersenang-senang dan sedikit sisanya aku kasihkan pada emak untuk beli beras.
Dan sebentar lagi – setelah cukup puas menghirup aroma kota dan menyempatkan ikut aksi buruh di Jakarta – kakiku akan menginjak bebatuan cadas, kampung halamanku yang kering. Segudang cerita telah aku siapkan buat emak dan para tetangga.
Di luar bus pohon-pohon berlarian, lengang, melintasi jalan berkelok yang telah meremang. Kondektur, yang sebelumnya aku kira adalah bapak ternyata bukan. Ia justru tertawa ketika aku beranikan bertanya. "Sampeyan salah orang, Mas. Apa bapak sampeyan punya tato naga?" Ia mencincing lengan pendek baju seragamnya. Aku menggeleng malu.
Ah, apa gunanya memikirkan bapak. Toh aku bisa hidup tanpa bapak. Bagaimana dengan emak? Aku yakin emak juga bisa melupakannya seiring bergulirnya hari. Ya, semoga saja.
***
Pagi masih dingin. Semburat matahari terhalang bukit kecil di sebelah timur. Sehelai daun jati yang layu luruh dan jatuh tepat di depanku. Belum aku lihat seorang pun warga pergi merumput. Hanya Yu Parmi, dengan sepedanya yang membawa dua jerigen kosong hendak mengangsu air di sungai memberi senyum padaku. Pelan-pelan, dengan keriangan, aku ayun kakiku di atas bebatuan cadas sembari menyusun kalimat yang tepat saat dua mataku mendapati wajah emak nanti. 
"Emak aku pulang. Aku bawakan kebaya ini buat emak. Dan ini jam dinding, Mak. Agar rumah kita bisa hidup. Oya, Mak, Sarno, anak Mbak Yanti tidak tidur di sini. Nih, aku belikan dia baju. Tidak mahal kok, cuma limapuluh ribu."
Ah, aku rasa kurang tepat. Terlalu banyak berbasa-basi.
"Emak sehat? Alhamdulillah. Yanto kangen sama Emak. Oya, Sarno tidak tidur di sini, Mak. Maaf, aku tidak bawa apa-apa, cuma jam dinding, kebaya buat emak, dan baju buat Sarno. Lihat, apa Emak suka kebaya ini?"
Atau begini :
"Assalamu'aiakum. Syukurlah. Akhirnya sampai juga aku di rumah. Emak sehat kan….."
Langkahku terhenti tepat di sebelah gardu ketika mendadak tubuhku terguncang. Lalu, suara-suara teriakan terdengar. "Gempa…" Derap orang-orang berlarian keluar rumah. Aku mencoba berlari menuju rumahku. Tapi guncangan itu begitu kuat dan membuatku terjerembab.

***
Kini, rumahku tak lagi punya pintu. ambang yang akrab dengan keberangkatan dan kepulangan. Ambang yang telah mengantarkan keberangkatanku, bapak, dan terakhir kali telah mengantarkan keberangkatan emak. Keberangkatan sekaligus kepulangan. Kepulangan yang juga keberangkatan.
Aku lihat tubuh emak tertindih daun pintu. Bibir emak tersenyum seolah menemukan kebahagiaan. Adakah emak telah bertemu seseorang yang begitu ia rindu? Aku menangis tersedu.

Jogja, Wonosobo 2006


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

1 comments:

comments
3 November 2012 pukul 23.49 delete

saya mau sih nulis di sini. cerpen juga. gmn caranya

Reply
avatar