A. Pendahuluan
Membaca sejarah Madinah, khususnya pada masa awal perkembangan Islam seringkali membuat kita terheran dan teragum-kagum. Madinah, sebuah kota yang warganya begitu heterogen, terdiri dari berbagai kultur dan agama, ternyata dapat hidup berdampingan. Hal ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kerja keras dan kecerdasan Rasulullah Saw yang tentunya juga mendapatkan bimbingan dari Allah Swt.
Masyarakat Madinah adalah potret kehidupan masyarakat modern yang diidealkan oleh banyak orang. Bahkan gambaran tentang masyarakat Madinah seakan menjadi gambaran masyarakat modern yang sudah mapan dan permanen, sehinggat idak sedikit komunitas masayrakat yang menginginkan mangulang kembali sejarah Madinah dalam konteks kehidupan sekarang ini.[1]
Tulisan ini mencoba untuk menggambarkan masyarakat multikultural di Madinah. Selain dengan mlihat ayat-ayat terkait masyarakat Madinah, juga tafsir-tafsir para ulama, dan referensi terkait lainnya, tulisan ini diharapkan bisa memberikan gambaran tentang bagaimana Nabi Muhammad Saw membangun masyarakat Madinah yang multikultural.
B. Keunikan dan Keistimewaan Masyarakat Madinah
Nurcholis Majid, sebagaimana dikutip Nurul Mubin[2] mendefinisakan Madinah dari kata “madinat” yang akar aktanya sama dengan kata “madaniyat dan tamaddun” yang artinya adalah peradaban (civilization). Dari aspek kebahasaan kata “madaniyat” adalah hadarat yang menunjukkan pengertian pola hidup menetap di suatu tempat. Dengan demikian Masyarakat Madinah adalah masyarakat yang menetap dalam suatu wilayah tertentu dan menciptakan peradaban.
Madinah adalah kota yang unik dan memiliki banyak keistimewaan. madinah laksana sebuah putaran roda yang tidak berhenti dari zaman sebelum masehi hingga sekarang ini. di tengah jatuh bangunnya sebuah peradaban, tetapi madinah sudah terbukti mampu bertahan dari masa ke masa. layaknya Mekkah, madinah telah dititahkan Tuhan menjadi salah satu kota suci-Nya.[3]
Sebagai sebuah pendulum sejarah, Madinah Pra-Islam melewati sejumlah fase sejarah yang unik dan menarik untuk dicermati, yaitu fase Yatsrib, Arab Amalekit, kaum Yahudi, dan suku Arab dari Yaman. Dalam setiap fase mempunya kekhasan tersendiri, yang merupakan karakter dari setiap kelompok.[4]
Awal mula kedatangan orang-orang di madinah ini berasal dari sebuah tragedi yang menimpa kaum Nabi Nuh A.S. Sebagaian dari umatnya tenggelam terbawa banjir besar, sedangkan mereka yang mengikuti Nabi Nuh selamat. Setelah berada di atas kapal 1 tahun 10 hari banjir surut dan sebagian dari mereka melancong ke sebuah tempat, yaitu Yatsrib bin Qaniyah bin Mahlail bin Iram bin 'Abil bin 'iWardh bin Iram bin Sam bin Nuh A.S. Mereka datang ke tempat ini pada tahun 2600 SM. Lalu tempat ini dikenal dengan nama Yatsrib sesuai dengan nama orang yang pertama kali datang ke tempat ini.[5] Kota Yatsrib kemudian diganti Nama oleh Nabi Muahammad Saw menjadi Madinah al-Munawarah. Karena kata yatsrib berarti kerusakan, atau dari dosa.[6]
Keistimewaan Madinah bukan terjadi begitu saja, akan tetapi melalui proses transformasi sosial yang tidak sederhana. Setelah mengganti nama Yastrib dengan Madinah, Nabi kemudian melakukan pemetaan dan sensus penduduk. Barangkali ini merupakan sensus penduduk pertama di dunia. Dalam sensus tersebut ditemukan kenyataan bahwa Madinah adalah sebuah kota yang Multikultural. Heterogenitas kultural masyarakat kota Madinah dapat dilihat dari hasil cacah penduduk yang dilakukan atas perintah Nabi, di mana dari 10.000 jiwa penduduk Madinah kala itu kaum muslim adalah minoritas yakni 1500 orang (15%). Mayoritas adalah orang musyrik Arab 4500 orang (45%) dan orang Yahudi 4000 orang (40%).[7]
Tingkat heterogenitas ini lebih tinggi lagi manakala dipaparkan bahwa masing-masing kelompok Muslim, Musyrik Arab, dan Yahudi itu di dalamnya terdiri dari berbagai kabilah atau sub-kelompok. Kaum muslim sendiri terdiri dari dua kelompok besar Muhajirin (migran) dan Anshor (non-migran), yang masing-masing terdiri dari berbagai suku atau kabilah yang punya tradisi bermusuhan karena kuatnya akar sukuisme dalam masyarakat Arab.
Meski begitu, uniknya, kehidupan di Madinah dapat berlangsung dengan damai. Tidak mengherankan jika Madinah menjadi kota yang maju pada masa itu.
C. Potret Multikulturalisme di Madinah
Multikulturalisme adalah realitas yang sudah ada dalam sejarah umat manusia. Dalam konteks sejarah masyarakat Arab pra Islam, multikulturalisme yang dibingkai dalam keragaman sistem teologi, keragaman suku, budaya dan bahasa adalah wujud nyata dari multikulturalisme tersebut. Karena, multikulturalisme menjadi bagian dari realitas sosial masyarakat saat itu. Ini berarti, multikulturalisme merupakan bagian tak terpisahkan dari realitas sosial kehidupan manusia. Dari masa yang sangat dini, multikulturalisme telah ada dan selalu mendampingi sejarah sosial mereka.[8]
Wacana multikulturalisme inilah yang disebut sebagai nilai universal yang memungkinkan antar agama dan keyakinan untuk berbicara segala sesuatu dalam bingkai universalitas, bukan sesuatu yang partikular dan eksklusif. Wacana multikulturalisme sebenarnya tidak berpretensi menghilangkan nilai-nilai partikular dari agama karena upaya seperti itu merupakan hal yang imposible.[9]
Nabi Muhammad saw adalah tokoh yang patut dijadikan teladan dalam hal membumikan multikulturalisme. Ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah , beliau mulai memmpi berbagai komunitas yang berbeda latar belakang agama, suku, politik yang disatukan dalam satu bingkai dimana imam sebagai payung hukum utama di atas tata sosial berdasarkan suku dan kabilah tertentu.[10]
Muhammad Saw adalah orang yang berhasil menjadi pemimpi seluruh komponen masyarakat, dan bukan hanya kaum Islam saja. Ketika di Madinah, berbagai budaya, agama dan aliran politik bisa beliau satukan sehingga kehidupan Madinah pada waktu itu dapat berlangsung damai. Muhammad Saw memimpi kominitas besar Yahudi yang banyak menguasai aspek Ekonomi, politik dan kultur di Madinah. Tak hanya itu, ditengah umat kristiani, Muhammad juga terbukti sukses menjadi pemimpin mereka yang kemudian disebut dalam al-Qur’an sebagai Ahlul Kitab.[11]
Dalam struktur masyarakat Arab yang tradisional, organisasi sosial sangat bergantung kepada ikatan darah dan kekerabatan. Tetapi di Madinah, untuk pertama kalinya (tahun 622 M) orang-orang yang berasal dari latar belakang suku, agama, dan asal geografis yang berbeda terhimpun bersama dan mengidentifikasi diri sebagai satu kelompok sosial tertentu. Pada Piagam Madinah yang berisi 47 pasal itu, disebutkan di pasal (1) “Muhammad, Nabi Allah, mewakili kaum Mukmin Quraisy dan Yastrib menyatakan bergabung dengan kelompok masyarakat lainnya, ikut berjuang bersama mereka. (2) Membentuk sebuah ummah yang lain daripada manusia-manusia sebelumnya “. (Ali Bulac, 2001). Sangat terasa adanya rasa percaya diri dan pengungkapan dignity dalam rumusan kalimat di kedua pasal tersebut, dan dengan modal itu Nabi serta sahabat-sahabatnya tampil sebagai pengambil inisiatif untuk berdakwah mengembangkan ummah yang multikultural di Madinah.[12]
Jadi sekalipun pada posisi minoritas, Nabi saw bersama sahabat-sahabatnyas bukan hanya aktif berinteraksi dengan warga kelompok mayoritas, tetapi bahkan mengambil inisiatif untuk membangun struktur masyarakat baru yang sesuai dengan sikon zaman. Tetapi harus dicatat, awal dari semua langkah inisiatif yang berani ini adalah dengan perhitungan atau siyasah yang terukur. Dimulai dengan suatu cacah penduduk, lalu melakukan konsolidasi internal untuk mengukuhkan soliditas kaum muslim yang terdiri dari berbagai kelompok-suku. Pasal 3 sampai 23 dari Piagam Madinah dapat difahami sebagai upaya konsolidasi internal, memperkuat sel-sel jaringan Ukhuwah Islamiyah sebagai persiapan untuk memenangkan “pertarungan” interaksi sosial antarkelompok dalam kompleksitas masyarakat yang multikultural. Ambil contoh dari pasal (17) “Perdamaian di antara Muslimin adalah satu. Tidak seseorang muslim pun boleh bersepakat untuk menyetujui perdamaian dengan mengenyahkan muslim lainnya”, dan pasal (23) “Bila terdapat perbedaan tentang sesuatu hal, hendaklah diserahkan kepada Allah dan Muhammad”. Kedua dictum ini sangat jelas tertuju pada maksud mempersatukan kaum Muslim yang memang berpotensi konflik karena karakter heterogenitasnya.[13]
Jadi, belajar dari apa yang dicontohkan Nabi dan para sahabat di Madinah, salah satu persiapan untuk memasuki masyarakat global yang multikultural itu adalah kemampuan managerial untuk mempersatukan kaum muslim yang tidak homogen. Kaum muslim yang terbelah-belah sudah merupakan realitas sejarah, persoalannya adalah kepemimpinan siapa yang mampu mempersatukan untuk membawa mereka dengan percaya diri dan bermartabat ke kompleksitas masyarakat yang multikulutral, bukan hanya sebagai obyek tetapi sebagai inisiator yang mampu mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam sebagai rahmat bagi semua kelompok masyarakat yang ada.
D. Hambatan Nabi dalam Membumikan Multikulturalisme di Madinah
Sebelum Nabi Saw Hijrah ke Madinah, ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan Allah di Mekkah lebih banyak membicarakan masalah tauhid yang notabene merupakan pondasi terpenting dalam masalah akidah/kepercayaan. Barulah ketika di Madinah, ayat-ayat yang turun lebih banyak menyangkut hukum-hukum Islam, di mana secara langsung Islam berusaha membangun kaidah-kaidah sosial untuk menciptakan masyarakat yang madani. Termasuk dari ayat-ayat madaniyah adalah ayat-ayat yang merespon berbagai macam kultul dan agama yang ada di Madinah pada waktu itu.
Kultur merupakan sesuatu yang dimiliki oleh sebuah komunitas yang berlaku dan megikat semua komponen didalamnya, maka multikulturalisme adalah jawaban untuk bertemunya antar kultur yang beragam dalam bingkai saling menghargai satu budaya dengan budaya yang berbeda.[14]
Multikulturalisme dapat ditemukan dalam beberapa penjelasan yang tertuang di dalam beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya adalah terdapat dalam Q.S. al-Hujurat ayat 13. Di sana dikatakan, Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan tanpa membeda-bedakan derajatnya. Tuhan juga menjadikan umat manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dan berkelompok-kelompok. Semua dipandang sama oleh Tuhan. Tujuannya cuma satu: “li ta’arafu” (untuk saling mengenal satu sama lain secara baik).[15]
Meski begitu, dalam dakwahnya membumikan Islam yang rahmatal lil ‘alamin Nabi Saw bukan berarti tidak mengalami kendala. Dalam berbagai ayat al-Qur’an dijelaskan tentang kendala-kendala yang dihadapi Nabi dalam membangun masyarakat madani di Madinah.
“Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang- orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, Kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar,”(Q.S Al-Ahzab (33): 60)
Ayat di atas, menurut Nurul Mubin[16], menjelaskan tentang perilaku nakal orang yahudi yangsedari awal telah mengikat janji untuk hidup bersama di Madinah. Umat Yahudi diketahui berkhianat terhadap janji dan menyatakan kedengkiannya. Atas dasar itu kemudian, bani-bani (Qainuqa’, Nadhir, dan Quraizah) yang berkhiatan tersebut diusir dari Madinah. Namun, ancama kembali datang, yakni dari orang-orang nifak.
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.”(Q.S Al-Munafiqun (66): 1)
Orang-orang nifak (munafik) ibarat musuh dalam selimut, dan wajar jika Allah sangat membenci perangai orang yang seperti itu. Di depan Nabi mereka mengaku beriman, tetapi di belakang mereka menghujat dan memusuhi. Mereka lebih berbahaya dari pada orang kafir itu sendiri. Tetapi, meski begitu, Nabi tetaplah sosok yang pemaaf dan tetap mendoakan kebaikan untuk orang-orang munafik meskipun Allah jelas-jelas telah menyatakan bahwa didoakan atau tidak, mereka sama saja.
Keberadaan munafik di madinah menjadi penghalang utama terbentuknya masyarakat berperadaaban. Sebab mereka menimbulkan gerakan-gerakan provokasi kepada pengikut Nabi Saw yang jumlahnya minoritas. Orang-orang munafik mengatakan bahwa membayar zakat sebagaimana tertuang dalam piagam madinah, hanya akan merugikan, mereka juga memecah belah umat dengan mendirikan tempat ibadah (masjid) baru.[17] Omongan-omongan kaum munafik yang tidak jelas dan mengandung fitnah dan provokasi adalah cobaan terberat dakwah Rasulullah di Madinah.
Meski mengalami berbagai hambatan dan tantangan, Nabi Muhammad Saw berhasil mengatasinya. Hal tersebut tidak lain karena kesabaran, kecerdasan, dan kesantunan Nabi Saw dalam menghadapi berbagai masalah sehingga dapat menciptakan tatanan masyarakat Madani di Madinah. Ada pun ciri-ciri khusus yang mencerminkan masayarakat madani antara lain, keimanan, Amar ma’ruf nahi Munkar, bermusyawarah, penegakan prinsip-prinsip keeimbangan dan keadilan (tawasuth-i’tidal), persaudaraan (ukhuwah), toleransi, dan ketulusan dalam kemajemukan.[18]
E. Penutup
Madinah adalah kota yang unik dan memiliki banyak keistimewaan. madinah laksana sebuah putaran roda yang tidak berhenti dari zaman sebelum masehi hingga sekarang ini. Madinah Pra-Islam melewati sejumlah fase sejarah, dimulai dari fase Yatsrib, Arab Amalekit, kaum Yahudi, dan suku Arab dari Yaman. Kota Yatsrib kemudian diganti Nama oleh Nabi Muahammad Saw menjadi Madinah al-Munawarah. Setelah mengganti nama Yastrib dengan Madinah, Nabi kemudian melakukan pemetaan dan sensus penduduk dan menyadari bahwa umat islam adalah umat yang minoritas kala itu. Meski multikultural, kehidupan di Madinah dapat berlangsung dengan damai. Tidak mengherankan jika Madinah menjadi kota yang maju pada masa itu.
Ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, beliau mulai memmpin berbagai komunitas yang berbeda latas belakang agama, suku, politik yang disatukan dalam satu ingkau dimana imam sebagai payung hukum utama di atas tata sosial berdasarkan suku dan kabilah tertentu. Muhammad Saw ternyata berhasil menjadi pemimpi seluruh komponen masyarakat, dan bukan hanya kaum Islam saja. Meski demikian beliau tak luput mengalami masalah dan kendala.
Dalam berbagai ayat al-Qur’an dijelaskan tentang kendala-kendala yang dihadapi Nabi dalam membangun masyarakat madani di Madinah. Antara lain Q.S Al-Ahzab (33): 60, yang menerangkan tentang perilaku nakal orang yahudi yang sedari awal telah mengikat janji untuk hidup bersama di Madinah tetapi kemudian berkhianat. Juga Q.S Q.S Al-Munafiqun (66): 1 dan ayat-ayat lain tentang orang munafik yang keeberadaan mereka munafik di madinah menjadi penghalang utama terbentuknya masyarakat berperadaaban.
Meski demikian, Nabi Muhammad Saw berhasil mengatasinya. Hal tersebut tidak lain karena kesabaran, kecerdasan, dan kesantunan Nabi Saw dalam menghadapi berbagai masalah sehingga dapat menciptakan tatanan multikultural di Madinah.
-------------
[1] Nurul Mubin, Masyarakat Madinah (Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani), dalam Tafsir Tematik Al-Qur’an dan Politik, Center of Exelence for Qur’anic Studies Development, 2008, hal. 77
[2] Ibid, hal.. 75-76
[3] Zuhairi Misrawi, Madinah: kota suci, piagam Madinah, dan teladan Muhammad SAW, Penerbit Kompas, 2009, Hal. 155
[4] Ibid, hlm. 157
[5] Ibid, hlm 157.
[6] Dr. Sami bin Abdullah al-Maghluts, Al-Ayhlas At-Taikhi li Sirah ar-Rasul, Atlas Perjalanan Hidup Nabi Muhamamd, Al-Mahira, Jakarta Cet. 1 November 2008. Hal. 55, dalam Nurul Mubin, Islam… Op.Cit, hal 94.
[7] Ibid, hal 95.
[8] Nurul Mubin, Teologi Multikultural: Upaya Membumikan Dimensi Transendental Di tengah Keragaman Suku, Budaya Dan Agama, dalam Jurnal Manarul Qur’an, Nomor: 09 Tahun VII, Januari – Maret 2001, hal. 94.
[9] Ibid, hal. 95.
[10] Nurul Mubin, Islam dan… hal 97.
[11]Ibid, hal 98.
[12] Pengurus deGromiest, Dakwah Islam Pada Masyarakat Multikultural: Kualifikasi Dai yang Bagaimana? http://cafe.degromiest.nl/wp/archives/992, diunduh 20 Juni 2013.
[13] Ibid.
[14] Nurul Mubin, Jurnal Manarul, hal 96.
[15] Ibid, hal 98.
[16] Nurul Mubin, Islam dan…, hal 83.
[17] Ibid, hal 87.
[18] Ibid, hal 101-106
Daftar Pustaka
Mubin, Nurul, Masyarakat Madinah (Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani), dalam Tafsir Tematik Al-Qur’an dan Politik, Center of Exelence for Qur’anic Studies Development, 2008
Misrawi, Zuhairi, Madinah: kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW, Penerbit Kompas, 2009
Mubin, Nurul, Teologi Multikultural: Upaya Membumikan Dimensi Transendental Di tengah Keragaman Suku, Budaya Dan Agama, dalam Jurnal Manarul Qur’an, Nomor: 09 Tahun VII, Januari – Maret 2001
Pengurus deGromiest, Dakwah Islam Pada Masyarakat Multikultural: Kualifikasi Dai yang Bagaimana? http://cafe.degromiest.nl/wp/archives/992, diunduh 20 Juni 2013.
Membaca sejarah Madinah, khususnya pada masa awal perkembangan Islam seringkali membuat kita terheran dan teragum-kagum. Madinah, sebuah kota yang warganya begitu heterogen, terdiri dari berbagai kultur dan agama, ternyata dapat hidup berdampingan. Hal ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kerja keras dan kecerdasan Rasulullah Saw yang tentunya juga mendapatkan bimbingan dari Allah Swt.
Masyarakat Madinah adalah potret kehidupan masyarakat modern yang diidealkan oleh banyak orang. Bahkan gambaran tentang masyarakat Madinah seakan menjadi gambaran masyarakat modern yang sudah mapan dan permanen, sehinggat idak sedikit komunitas masayrakat yang menginginkan mangulang kembali sejarah Madinah dalam konteks kehidupan sekarang ini.[1]
Tulisan ini mencoba untuk menggambarkan masyarakat multikultural di Madinah. Selain dengan mlihat ayat-ayat terkait masyarakat Madinah, juga tafsir-tafsir para ulama, dan referensi terkait lainnya, tulisan ini diharapkan bisa memberikan gambaran tentang bagaimana Nabi Muhammad Saw membangun masyarakat Madinah yang multikultural.
B. Keunikan dan Keistimewaan Masyarakat Madinah
Nurcholis Majid, sebagaimana dikutip Nurul Mubin[2] mendefinisakan Madinah dari kata “madinat” yang akar aktanya sama dengan kata “madaniyat dan tamaddun” yang artinya adalah peradaban (civilization). Dari aspek kebahasaan kata “madaniyat” adalah hadarat yang menunjukkan pengertian pola hidup menetap di suatu tempat. Dengan demikian Masyarakat Madinah adalah masyarakat yang menetap dalam suatu wilayah tertentu dan menciptakan peradaban.
Madinah adalah kota yang unik dan memiliki banyak keistimewaan. madinah laksana sebuah putaran roda yang tidak berhenti dari zaman sebelum masehi hingga sekarang ini. di tengah jatuh bangunnya sebuah peradaban, tetapi madinah sudah terbukti mampu bertahan dari masa ke masa. layaknya Mekkah, madinah telah dititahkan Tuhan menjadi salah satu kota suci-Nya.[3]
Sebagai sebuah pendulum sejarah, Madinah Pra-Islam melewati sejumlah fase sejarah yang unik dan menarik untuk dicermati, yaitu fase Yatsrib, Arab Amalekit, kaum Yahudi, dan suku Arab dari Yaman. Dalam setiap fase mempunya kekhasan tersendiri, yang merupakan karakter dari setiap kelompok.[4]
Awal mula kedatangan orang-orang di madinah ini berasal dari sebuah tragedi yang menimpa kaum Nabi Nuh A.S. Sebagaian dari umatnya tenggelam terbawa banjir besar, sedangkan mereka yang mengikuti Nabi Nuh selamat. Setelah berada di atas kapal 1 tahun 10 hari banjir surut dan sebagian dari mereka melancong ke sebuah tempat, yaitu Yatsrib bin Qaniyah bin Mahlail bin Iram bin 'Abil bin 'iWardh bin Iram bin Sam bin Nuh A.S. Mereka datang ke tempat ini pada tahun 2600 SM. Lalu tempat ini dikenal dengan nama Yatsrib sesuai dengan nama orang yang pertama kali datang ke tempat ini.[5] Kota Yatsrib kemudian diganti Nama oleh Nabi Muahammad Saw menjadi Madinah al-Munawarah. Karena kata yatsrib berarti kerusakan, atau dari dosa.[6]
Keistimewaan Madinah bukan terjadi begitu saja, akan tetapi melalui proses transformasi sosial yang tidak sederhana. Setelah mengganti nama Yastrib dengan Madinah, Nabi kemudian melakukan pemetaan dan sensus penduduk. Barangkali ini merupakan sensus penduduk pertama di dunia. Dalam sensus tersebut ditemukan kenyataan bahwa Madinah adalah sebuah kota yang Multikultural. Heterogenitas kultural masyarakat kota Madinah dapat dilihat dari hasil cacah penduduk yang dilakukan atas perintah Nabi, di mana dari 10.000 jiwa penduduk Madinah kala itu kaum muslim adalah minoritas yakni 1500 orang (15%). Mayoritas adalah orang musyrik Arab 4500 orang (45%) dan orang Yahudi 4000 orang (40%).[7]
Tingkat heterogenitas ini lebih tinggi lagi manakala dipaparkan bahwa masing-masing kelompok Muslim, Musyrik Arab, dan Yahudi itu di dalamnya terdiri dari berbagai kabilah atau sub-kelompok. Kaum muslim sendiri terdiri dari dua kelompok besar Muhajirin (migran) dan Anshor (non-migran), yang masing-masing terdiri dari berbagai suku atau kabilah yang punya tradisi bermusuhan karena kuatnya akar sukuisme dalam masyarakat Arab.
Meski begitu, uniknya, kehidupan di Madinah dapat berlangsung dengan damai. Tidak mengherankan jika Madinah menjadi kota yang maju pada masa itu.
Klik gambar untuk download makalah ini dalam format .doc |
C. Potret Multikulturalisme di Madinah
Multikulturalisme adalah realitas yang sudah ada dalam sejarah umat manusia. Dalam konteks sejarah masyarakat Arab pra Islam, multikulturalisme yang dibingkai dalam keragaman sistem teologi, keragaman suku, budaya dan bahasa adalah wujud nyata dari multikulturalisme tersebut. Karena, multikulturalisme menjadi bagian dari realitas sosial masyarakat saat itu. Ini berarti, multikulturalisme merupakan bagian tak terpisahkan dari realitas sosial kehidupan manusia. Dari masa yang sangat dini, multikulturalisme telah ada dan selalu mendampingi sejarah sosial mereka.[8]
Wacana multikulturalisme inilah yang disebut sebagai nilai universal yang memungkinkan antar agama dan keyakinan untuk berbicara segala sesuatu dalam bingkai universalitas, bukan sesuatu yang partikular dan eksklusif. Wacana multikulturalisme sebenarnya tidak berpretensi menghilangkan nilai-nilai partikular dari agama karena upaya seperti itu merupakan hal yang imposible.[9]
Nabi Muhammad saw adalah tokoh yang patut dijadikan teladan dalam hal membumikan multikulturalisme. Ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah , beliau mulai memmpi berbagai komunitas yang berbeda latar belakang agama, suku, politik yang disatukan dalam satu bingkai dimana imam sebagai payung hukum utama di atas tata sosial berdasarkan suku dan kabilah tertentu.[10]
Muhammad Saw adalah orang yang berhasil menjadi pemimpi seluruh komponen masyarakat, dan bukan hanya kaum Islam saja. Ketika di Madinah, berbagai budaya, agama dan aliran politik bisa beliau satukan sehingga kehidupan Madinah pada waktu itu dapat berlangsung damai. Muhammad Saw memimpi kominitas besar Yahudi yang banyak menguasai aspek Ekonomi, politik dan kultur di Madinah. Tak hanya itu, ditengah umat kristiani, Muhammad juga terbukti sukses menjadi pemimpin mereka yang kemudian disebut dalam al-Qur’an sebagai Ahlul Kitab.[11]
Dalam struktur masyarakat Arab yang tradisional, organisasi sosial sangat bergantung kepada ikatan darah dan kekerabatan. Tetapi di Madinah, untuk pertama kalinya (tahun 622 M) orang-orang yang berasal dari latar belakang suku, agama, dan asal geografis yang berbeda terhimpun bersama dan mengidentifikasi diri sebagai satu kelompok sosial tertentu. Pada Piagam Madinah yang berisi 47 pasal itu, disebutkan di pasal (1) “Muhammad, Nabi Allah, mewakili kaum Mukmin Quraisy dan Yastrib menyatakan bergabung dengan kelompok masyarakat lainnya, ikut berjuang bersama mereka. (2) Membentuk sebuah ummah yang lain daripada manusia-manusia sebelumnya “. (Ali Bulac, 2001). Sangat terasa adanya rasa percaya diri dan pengungkapan dignity dalam rumusan kalimat di kedua pasal tersebut, dan dengan modal itu Nabi serta sahabat-sahabatnya tampil sebagai pengambil inisiatif untuk berdakwah mengembangkan ummah yang multikultural di Madinah.[12]
Jadi sekalipun pada posisi minoritas, Nabi saw bersama sahabat-sahabatnyas bukan hanya aktif berinteraksi dengan warga kelompok mayoritas, tetapi bahkan mengambil inisiatif untuk membangun struktur masyarakat baru yang sesuai dengan sikon zaman. Tetapi harus dicatat, awal dari semua langkah inisiatif yang berani ini adalah dengan perhitungan atau siyasah yang terukur. Dimulai dengan suatu cacah penduduk, lalu melakukan konsolidasi internal untuk mengukuhkan soliditas kaum muslim yang terdiri dari berbagai kelompok-suku. Pasal 3 sampai 23 dari Piagam Madinah dapat difahami sebagai upaya konsolidasi internal, memperkuat sel-sel jaringan Ukhuwah Islamiyah sebagai persiapan untuk memenangkan “pertarungan” interaksi sosial antarkelompok dalam kompleksitas masyarakat yang multikultural. Ambil contoh dari pasal (17) “Perdamaian di antara Muslimin adalah satu. Tidak seseorang muslim pun boleh bersepakat untuk menyetujui perdamaian dengan mengenyahkan muslim lainnya”, dan pasal (23) “Bila terdapat perbedaan tentang sesuatu hal, hendaklah diserahkan kepada Allah dan Muhammad”. Kedua dictum ini sangat jelas tertuju pada maksud mempersatukan kaum Muslim yang memang berpotensi konflik karena karakter heterogenitasnya.[13]
Jadi, belajar dari apa yang dicontohkan Nabi dan para sahabat di Madinah, salah satu persiapan untuk memasuki masyarakat global yang multikultural itu adalah kemampuan managerial untuk mempersatukan kaum muslim yang tidak homogen. Kaum muslim yang terbelah-belah sudah merupakan realitas sejarah, persoalannya adalah kepemimpinan siapa yang mampu mempersatukan untuk membawa mereka dengan percaya diri dan bermartabat ke kompleksitas masyarakat yang multikulutral, bukan hanya sebagai obyek tetapi sebagai inisiator yang mampu mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam sebagai rahmat bagi semua kelompok masyarakat yang ada.
D. Hambatan Nabi dalam Membumikan Multikulturalisme di Madinah
Sebelum Nabi Saw Hijrah ke Madinah, ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan Allah di Mekkah lebih banyak membicarakan masalah tauhid yang notabene merupakan pondasi terpenting dalam masalah akidah/kepercayaan. Barulah ketika di Madinah, ayat-ayat yang turun lebih banyak menyangkut hukum-hukum Islam, di mana secara langsung Islam berusaha membangun kaidah-kaidah sosial untuk menciptakan masyarakat yang madani. Termasuk dari ayat-ayat madaniyah adalah ayat-ayat yang merespon berbagai macam kultul dan agama yang ada di Madinah pada waktu itu.
Kultur merupakan sesuatu yang dimiliki oleh sebuah komunitas yang berlaku dan megikat semua komponen didalamnya, maka multikulturalisme adalah jawaban untuk bertemunya antar kultur yang beragam dalam bingkai saling menghargai satu budaya dengan budaya yang berbeda.[14]
Multikulturalisme dapat ditemukan dalam beberapa penjelasan yang tertuang di dalam beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya adalah terdapat dalam Q.S. al-Hujurat ayat 13. Di sana dikatakan, Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan tanpa membeda-bedakan derajatnya. Tuhan juga menjadikan umat manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dan berkelompok-kelompok. Semua dipandang sama oleh Tuhan. Tujuannya cuma satu: “li ta’arafu” (untuk saling mengenal satu sama lain secara baik).[15]
Meski begitu, dalam dakwahnya membumikan Islam yang rahmatal lil ‘alamin Nabi Saw bukan berarti tidak mengalami kendala. Dalam berbagai ayat al-Qur’an dijelaskan tentang kendala-kendala yang dihadapi Nabi dalam membangun masyarakat madani di Madinah.
“Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang- orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, Kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar,”(Q.S Al-Ahzab (33): 60)
Ayat di atas, menurut Nurul Mubin[16], menjelaskan tentang perilaku nakal orang yahudi yangsedari awal telah mengikat janji untuk hidup bersama di Madinah. Umat Yahudi diketahui berkhianat terhadap janji dan menyatakan kedengkiannya. Atas dasar itu kemudian, bani-bani (Qainuqa’, Nadhir, dan Quraizah) yang berkhiatan tersebut diusir dari Madinah. Namun, ancama kembali datang, yakni dari orang-orang nifak.
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.”(Q.S Al-Munafiqun (66): 1)
Orang-orang nifak (munafik) ibarat musuh dalam selimut, dan wajar jika Allah sangat membenci perangai orang yang seperti itu. Di depan Nabi mereka mengaku beriman, tetapi di belakang mereka menghujat dan memusuhi. Mereka lebih berbahaya dari pada orang kafir itu sendiri. Tetapi, meski begitu, Nabi tetaplah sosok yang pemaaf dan tetap mendoakan kebaikan untuk orang-orang munafik meskipun Allah jelas-jelas telah menyatakan bahwa didoakan atau tidak, mereka sama saja.
Keberadaan munafik di madinah menjadi penghalang utama terbentuknya masyarakat berperadaaban. Sebab mereka menimbulkan gerakan-gerakan provokasi kepada pengikut Nabi Saw yang jumlahnya minoritas. Orang-orang munafik mengatakan bahwa membayar zakat sebagaimana tertuang dalam piagam madinah, hanya akan merugikan, mereka juga memecah belah umat dengan mendirikan tempat ibadah (masjid) baru.[17] Omongan-omongan kaum munafik yang tidak jelas dan mengandung fitnah dan provokasi adalah cobaan terberat dakwah Rasulullah di Madinah.
Meski mengalami berbagai hambatan dan tantangan, Nabi Muhammad Saw berhasil mengatasinya. Hal tersebut tidak lain karena kesabaran, kecerdasan, dan kesantunan Nabi Saw dalam menghadapi berbagai masalah sehingga dapat menciptakan tatanan masyarakat Madani di Madinah. Ada pun ciri-ciri khusus yang mencerminkan masayarakat madani antara lain, keimanan, Amar ma’ruf nahi Munkar, bermusyawarah, penegakan prinsip-prinsip keeimbangan dan keadilan (tawasuth-i’tidal), persaudaraan (ukhuwah), toleransi, dan ketulusan dalam kemajemukan.[18]
E. Penutup
Madinah adalah kota yang unik dan memiliki banyak keistimewaan. madinah laksana sebuah putaran roda yang tidak berhenti dari zaman sebelum masehi hingga sekarang ini. Madinah Pra-Islam melewati sejumlah fase sejarah, dimulai dari fase Yatsrib, Arab Amalekit, kaum Yahudi, dan suku Arab dari Yaman. Kota Yatsrib kemudian diganti Nama oleh Nabi Muahammad Saw menjadi Madinah al-Munawarah. Setelah mengganti nama Yastrib dengan Madinah, Nabi kemudian melakukan pemetaan dan sensus penduduk dan menyadari bahwa umat islam adalah umat yang minoritas kala itu. Meski multikultural, kehidupan di Madinah dapat berlangsung dengan damai. Tidak mengherankan jika Madinah menjadi kota yang maju pada masa itu.
Ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, beliau mulai memmpin berbagai komunitas yang berbeda latas belakang agama, suku, politik yang disatukan dalam satu ingkau dimana imam sebagai payung hukum utama di atas tata sosial berdasarkan suku dan kabilah tertentu. Muhammad Saw ternyata berhasil menjadi pemimpi seluruh komponen masyarakat, dan bukan hanya kaum Islam saja. Meski demikian beliau tak luput mengalami masalah dan kendala.
Dalam berbagai ayat al-Qur’an dijelaskan tentang kendala-kendala yang dihadapi Nabi dalam membangun masyarakat madani di Madinah. Antara lain Q.S Al-Ahzab (33): 60, yang menerangkan tentang perilaku nakal orang yahudi yang sedari awal telah mengikat janji untuk hidup bersama di Madinah tetapi kemudian berkhianat. Juga Q.S Q.S Al-Munafiqun (66): 1 dan ayat-ayat lain tentang orang munafik yang keeberadaan mereka munafik di madinah menjadi penghalang utama terbentuknya masyarakat berperadaaban.
Meski demikian, Nabi Muhammad Saw berhasil mengatasinya. Hal tersebut tidak lain karena kesabaran, kecerdasan, dan kesantunan Nabi Saw dalam menghadapi berbagai masalah sehingga dapat menciptakan tatanan multikultural di Madinah.
-------------
[1] Nurul Mubin, Masyarakat Madinah (Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani), dalam Tafsir Tematik Al-Qur’an dan Politik, Center of Exelence for Qur’anic Studies Development, 2008, hal. 77
[2] Ibid, hal.. 75-76
[3] Zuhairi Misrawi, Madinah: kota suci, piagam Madinah, dan teladan Muhammad SAW, Penerbit Kompas, 2009, Hal. 155
[4] Ibid, hlm. 157
[5] Ibid, hlm 157.
[6] Dr. Sami bin Abdullah al-Maghluts, Al-Ayhlas At-Taikhi li Sirah ar-Rasul, Atlas Perjalanan Hidup Nabi Muhamamd, Al-Mahira, Jakarta Cet. 1 November 2008. Hal. 55, dalam Nurul Mubin, Islam… Op.Cit, hal 94.
[7] Ibid, hal 95.
[8] Nurul Mubin, Teologi Multikultural: Upaya Membumikan Dimensi Transendental Di tengah Keragaman Suku, Budaya Dan Agama, dalam Jurnal Manarul Qur’an, Nomor: 09 Tahun VII, Januari – Maret 2001, hal. 94.
[9] Ibid, hal. 95.
[10] Nurul Mubin, Islam dan… hal 97.
[11]Ibid, hal 98.
[12] Pengurus deGromiest, Dakwah Islam Pada Masyarakat Multikultural: Kualifikasi Dai yang Bagaimana? http://cafe.degromiest.nl/wp/archives/992, diunduh 20 Juni 2013.
[13] Ibid.
[14] Nurul Mubin, Jurnal Manarul, hal 96.
[15] Ibid, hal 98.
[16] Nurul Mubin, Islam dan…, hal 83.
[17] Ibid, hal 87.
[18] Ibid, hal 101-106
Daftar Pustaka
Mubin, Nurul, Masyarakat Madinah (Islam dan Pembentukan Masyarakat Madani), dalam Tafsir Tematik Al-Qur’an dan Politik, Center of Exelence for Qur’anic Studies Development, 2008
Misrawi, Zuhairi, Madinah: kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW, Penerbit Kompas, 2009
Mubin, Nurul, Teologi Multikultural: Upaya Membumikan Dimensi Transendental Di tengah Keragaman Suku, Budaya Dan Agama, dalam Jurnal Manarul Qur’an, Nomor: 09 Tahun VII, Januari – Maret 2001
Pengurus deGromiest, Dakwah Islam Pada Masyarakat Multikultural: Kualifikasi Dai yang Bagaimana? http://cafe.degromiest.nl/wp/archives/992, diunduh 20 Juni 2013.