: Catatan Penghargaan Sastra Untuk Pendidik 2011
Jusuf AN*)
Tahun ini, Pusat Bahasa menggelar ajang yang diberi nama “Penghargaan Sastra Untuk Pendidik”, sebuah kegiatan yang masih satu rangkaian peringatan Bulan Bahasa 2011. Guru yang ingin/berminat mendapatkan pengharaan itu diminta untuk mengirimkan karya sastra dalam bentuk buku untuk kemudian dinilai oleh dewan Juri.
Berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari Panitia, ada lebih 60 guru yang telah mengikuti ajang tersebut. Tetapi hanya 19 guru yang masuk dalam nominasi, artinya yang memenuhi syarat sebagaimana diminta oleh panitia. Setelah melalui tahap penjurian yang digawangi oleh Sapardi Djoko Damoni dan Helvi Tiana Rosa terpilihlah tiga guru yang berhak mendapatkan Penghargaan Sastra. Peringkat pertama diraih Djahjono Widijanto, Guru SMAN 1 Ngawi, peringkat II Krisna Mihardja, guru SMPN 15 Yogyakarta, dan peringkat III Dra. Kemalawati, Guru SMKN 2 Banda Aceh.
Sampai tulisan ini selesai dibuat, belum saya dapatkan testimoni atau dalil yang digunakan oleh Dewan Juri dalam menentukan 3 guru itu. Tetapi setelah menelisik profil mereka, kita tentu akan mafhum, bahwa mereka bertiga memang pantas mendapatkan penghargaan tersebut.
Sampai tulisan ini selesai dibuat, belum saya dapatkan testimoni atau dalil yang digunakan oleh Dewan Juri dalam menentukan 3 guru itu. Tetapi setelah menelisik profil mereka, kita tentu akan mafhum, bahwa mereka bertiga memang pantas mendapatkan penghargaan tersebut.
Tjahjono Widijanto merupakan guru yang kreatif dan telah lama berkiprah di dunia sastra. Namanya telah dikenal di dunia sastra Nasional dan tulisan-tulisannya telah tersebar di hampir semua media cetak, koran dan majalah. Guru Bahasa Indonesia kelahiran Ngawi, 18 April 1969, telah menghasilkan beberapa buku, antara lain Ekstase Jemari (Kumpulan Puisi, 1995) dan Dunia Tanpa Alamat (Kumpulan Puisi, DKJT, 2003). Ia pernah pula diundang menjadi pengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan (Juni, 2009).
Krishna Mihardja, meski karyanya tidak sebanyak Djahjono tetapi beliau terkenal sebagai guru Matematika yang nyentrik. Selain menulis cerkak, guru kelahiran Jogjakarta ini juga menulis buku pengayaan untuk SD/MI antara lain Di Antara Kali Progo dan Kali Opak Legenda Berdirinya Kota Yogyakarta (Adicitra, 2005), Ketika Gelap Menjadi Terang (Adicitra, 2005). Kumpulan cerpennya berjudul Bibir (Gama Media, 2006).
Lalu, bagaimana dengan Dra. Kemalawati. Perempuan berdarah Aceh kelahiran 2 April 1965 ini juga produktif menulis sastra. Buku puisinya terbit dalam dua bahasa Indonesia-Inggris berjudul Surat Dari Negeri Tak Bertuan (Lapena, 2006), sedangkan karyanya dalam bentuk novel berjudul Seulusoh (Lapena, 2007). Perempuan yang menggunakan nama D. Kemalawati dalam karya-karyanya ini sehari-hari juga mengajar Matematika, selain juga menjadi Pengurus Dewan Kesenian Banda Aceh.
Sebagaimana pernah disinggung Ahmad Tohari dalam kata pengantarnya di buku kumpulan cerpen Episode Daun-Daun Gugur (Kreativa, 2006), bahwa awal kelahiran sastra Indonesia modern didominasi oleh kalangan guru, terutama di Sumatra. Mereka menghasilakan karya satra baik prosa maupun puisi yang kini sudah menjadi karya klasik. Hal ini tidak mengherankan karena guru merupakan kelompok pertama di Indoensia yang bersentuhan dengan pendidikan modern dan berkenalan dengan sastra yang dibawa oleh kebudayaan barat. Setelah sumpah pemuda dan bahasa Melayu diterima menjadi bahasa persatuan Indonesia, bermunculanlah penulis-penulis (sastra) dari berbagai kalangan, baik Jurnalis, Mahasiswa, Dokter, maupaun Ibu Rumah Tangga. Sastrawan dari kalangan guru bukan tidak ada, tetapi jumlahnya yang sedikit menjadi suatu keprihatian tersendiri.
Maka, usaha Pusat Bahasa Nasional dalam memotivasi dan memacu semangat guru dalam bersastra dengan memberikan Penghargaan Sastra untuk Pendidik patut kita beri apresiasi. Melalui kegiatan tersebut diharapkan akan kita temukan dan akan bertumbuhan lebih banyak lagi guru yang nyastra.
Guru nyastra berbeda dengan guru sastra. Tidak semua guru sastra adalah sastrawan atau penulis sastra. Sebaliknya, ada kita temukan guru-guru non-sastra, tetapi mereka telah menelorkan banyak karya sastra. Dua dari tiga peraih penghargaan Sastra untuk Pendidik tahun ini merupakan guru Matematika yang nyastra. Fenomena ini menunjukkan bahwa kegiatan bersastra bisa dilakukan oleh semua kalangan, termasuk oleh guru-guru non-sastra.
Dengan semakin banyaknya guru yang nyastra maka kemungkinan besar perkembangan sastra Indonesia akan semakin baik. Sebab, kita tahu, Guru merupakan mediator yang bersinggungan langsung dengan generasi-generasi penerus bangsa. Sehingga, jika kita dapatkan satu saja guru nyastra di sebuah sekolah, program semacam Siswa Bertanya Sastrawan Menjawab yang mengundang sastrawan-sastrawan Nasional tidak perlu lagi diadakan.