Oleh: M.Yusuf Amin N
Sebuah Naskah Dramamatisasi Puisi
Dibuat untuk pentas Perpisahan Kelas 9 t.a 2010/1011
Aktor
Siswa I : ..............................................................
Siswa II : ................................................................
Siswa III : .............................................................
Siswa IV :.................................................................
Guru : ..................................................................
Di panggung sudah ada kelompok rebana. Juga sebuah kursi. Siswa I dan II masuk panggung lalu duduk di kursi tersebut diiringi musik pembuka.
Setelah musik berhenti:
Siswa I:
(Berdiri)
Katakan, apa yang lebih tepat selain kata perpisahan
Ketika kita mesti tidak bersama-sama lagi
Bangku-bangku itu akan kita tinggalkan
Jejak sepatu kita akan dihapuskan hujan
Kau mungkin akan terbang ke timur dan aku ke barat
Kita akan menghadapi awan-awan yang berlainan di bawah langit yang sama
Merenda nasib yang entah bagaimana
Siswa II:
Tidak!
Kita tidak akan pernah berpisah
Sebab jarak hanyalah ilusi bagi hati yang dirasuki cinta
Kita boleh berada di ruang beralianan
Kau mungkin meninggi terbang, menerobos pekat awan, menggapai bintang impian
Sementara aku memilih mengarungi laut, menyelam, menangkapi ikan-ikan cahaya
Kita boleh tidak bersama-sama dalam satu ruang
Tetapi kebersamaan yang telah kita jalin berabad-abad
akan tetap terjalin kuat.
Siswa I:
Kata siapa?
Kau tahu, foto, buku, juga coretan-coretan di buku agenda
lahir karena kita terlampau biasa melupakan apa saja
Mungkin kita pernah berfoto bersama atau entahlah
Mungkin kau pernah menulis tentang aku, puisi atau entahlah
Tapi dengarkan ini:
“Waktu akan menyeretmu, terus menyeretmu
Menjejalkan yang baru-baru.
Akan semakin banyak orang berfoto denganmu
Kenangan-kenangan akan terus tumbuh, gaduh di dadamu
Lalu satu-satu hilang, lepuh atau tergantikan.”
Oooo, betapa kita akan sangat mudah saling melupakan!
Siswa II:
Percayalah
Kenangan-kenangan tentang kita akan tetap hidup
Bukan disebabkan foto atau puisi
Tapi hati
Hati, camkan itu!
Sanggup menampung seribu, atau sejuta kenangan sekalipun
Maka, pajanglah wajahku, guratkan namaku, catatlah alamatku, di dinding hatimu
Biar jika nanti sewaktu-waktu kita bertemu
Akan lenyap segala rasa kaku
Siswa I:
Berkatalah lebih banyak lagi
Biar lebih banyak kau telan ludah sendiri
Siswa II:
Masa depan selalu misteri
Dan kepercayaan menentramkan hati
Siswa I:
Aku lebih percaya kepada Tuhan
Siswa II:
Tuhan bersama orang-orang yang merawat persuadaraan
Siswa I:
Kita?
Siswa II:
Percaya
Siswa I:
Tapi...
Siswa II:
Apa lagi
Siswa I:
Ah, kita akan berpisah
Siswa II:
Kebersamaan tidak sebatas dukuk di satu bangku.
Mereka berdua duduk di sebuah kursi. Suasana senyap sebentar.
Lalu muncul sebuah suara dari luar panggung.
Guru:
Anakku...
Siswa I dan II kaget, berdiri, menoleh ke kanan kiri, mencari-cari sumber suara itu.
Siswa I dan II
Guru... (beberapa kali)
Guru:
Semuanya akan baik-baik saja
Tinggal kita sendiri yang bagaimana
Siswa I:
Bagaimana?
Siswa II:
Masa depan?
Siswa I:
Ya, bagaimana dengan masa depan kami, Guru?
Siswa II:
Tiga tahun kami bersamamu, Guru
Bagaimana nasib kami di kemudian hari?
Guru:
Kelak isi buku-buku
yang kau simpan di kepalamu
akan menjadi matahari
Di simpang-simpang yang kau temui
ia akan membantumu
tentukan jalan mana mesti dilalui
Siswa I:
Buku?
Siswa II:
Ya Tuhan, hanya berapa buku saja telah kami baca
Siswa II:
Sedikit sekali yang tersisa di kepala
Guru:
Kelak butir-butir keringat
yang terpelanting dari keningmu
yang membuncah dari tubuhmu
akan menjadi sejuk mata air
Darinya kau akan mandi
Sambil mengenang masa silam yang getir
Siswa II:
Kau dengar itu
Siswa I:
Itu suara guru
Siswa II:
Telah beribu kali kita mendengarnya
Siswa I:
Betapa selama ini kita lebih sering berangan-angan
Ketimbang bekerja
Guru:
Kelak bijih-bijih yang kau sebar
di halaman belakang rumahmu
akan tumbuh penuh buah
Kau pun terperangah
lalu mendendangkan kasidah
mengenang masa lalu yang susah
Siswa I dan II:
Duh Gusti ...
Siswa II:
Halaman bekalang? masa lalu?
Gusti Allah...
Telah banyak terhambur masa lalu kami untuk yang tak tentu
Apa yang akan kami panen
Sementara yang kita sebar cuma biji-biji kemalasan
Siswa I:
Buah macam apa yang akan dipetik
Dari seorang yang masa lalunya penuh senang-senang ini
Air mata
Air mata
Siswa II:
Air mata
Air mata
Guru:
Kelak doa-doa yang
kau kirimkan kepada Langit
akan kembali lagi padamu
Membantumu mengurai masalah sulit
dan di dalam kuburmu nanti
ia akan menjadi cahaya menerangi
Siswa I dan II kembali duduk di kursi, menunduk, menangis penuh isak, tersedu-sedu. Sesekali menyeka air mata dengan sapu tangan.
Guru:
Yang terpenting dari pertaubatan
Adalah usaha untuk tidak mengulang kesalahan
Dan karena jalan kalian masih panjang
Lekaslah cuci hati
Di depan, akan kalian temui jalan-jalan bercecabang
Bunuhlah rasa khawatir
Impian menunggu kalian ukir
Siswa I dan II masih menunduk. Lalu mengalun musik, shalawat simtuddurar
(Ya rabbi bil Musthafa...)
Selesai shalawat itu satu putaran, seseorang di belakang membacakan puisi, terjemahan dari shalawat tersebut:
Maulaaya Shalli wa sallim daa iman abadaa
‘alaa khabibika choiril cholqi kullihimi...
Ya Tuhanku, berilah Rahmat dan Salam untuk selama-lamanya
atas kekasihku yang terbaik dari seluruh makhluk yang ada
Huwal khabibul ladzi turjaa syafaa ‘atuhu
Likulli haulim minal ahwaali muqtakhimi...
Dialah Muhammad, kekasih yang selalu diharapkan syafaatnya
untuk setiap kerupekkan, untuk semua kesulitan yang datang
Ya Rabbi bil Musthofaa balligh maqosshidanaa
Waghfir lana maa madla yaa waasi’al karomi....
Ya Tuhanku, dengan washilah al-Musthafa, sampaikanlah maksud kami
Ampuni, ampuni, ampuni ya Dzat yag maha luas kemurahannya
Leburlah dosa-dosa kami yang telah lalu
setelah shalawat rampung, Siswa I dan II kembali menyeka air matanya dengan sapu tangan lalu mengambil ember di bahwa kursi, memerasnya. Lalu mereka pergi meninggalkan panggung.
Siswa III masuk panggung, membaca puisi dengan gaya monolog.
Siswa III:
Kenalkan, namaku Siswa
Usiaku, hemmm
Alamatku, hemmm
Tidak penting!
Yang terang aku kelas 8 sekarang
Orangtuaku membawaku ke sini, ke sekolahan ini
Untuk tahu itu ini
Supaya bisa membaca ini itu
Agar paham air api
Biar tidak seperti dia atau mereka
Berharap menjadi seperti si anu
Lalu aku disuruh begini dan begitu
Pokoknya banyak
Yah, mungkin sebanyak harga minyak
Dan karena harga minyak terus melonjak
Harga kebutuhan pokok kian merangkak
Maka Bapak kian hari kian galak
Begini katanya:
“Nak, belajarlah yang serius
Makan dan tidur janganlah rakus
Kelak, tugasmu adalah membasmi tikus-tikus!”
Ibuku lain lagi
Menjelang subuh, aku sering mendengar ibu menangis
Cukup keras. Tapi katanya,
“dengan menangis hati menjadi lembut
Dan pada akhirnya lebih bisa memaknai hidup”
Ibuku memang aneh
Betapa tampak jelas gurat ketakutan di wajahnya
Ketika suatu kali ia melihat lipstik di dalam tasku
Ketika parfum aroma jasmin meruap dari tubuhku
Ketika memergokiku bersolek di muka cermin
Lalu begini katanya,
“Di luar rumah berkeliaran singa dan buaya
Ibu khawatir kau masuk ke dalam perangkap mereka.”
Ah, sudahlah
Itu semua tidak penting!
Tapi barangkali kau lupa
Kenalkan, namaku Siswa
Dua tahun sekolah di sini
Sedikit mengerti itu ini
Membaca beberapa ini itu
Masih jauh untuk menjadi seperti si anu
Dan aku tenang-tenang saja
Hahaha...
Tidak penting banget tho...!
Siswa IV naik ke pentas, dengan hidung mengendus-endus seperti mencium sesuatu
Siswa IV:
Air mata
air mata
Aku mencium bau air mata
Di mana?
(Sambil terus mengendus-endus)
Siswa III:
(Menyahut, sambil memandang Siswa IV)
Sinting!
Siswa IV:
(menemukan seember air mata di dekat kursi)
Hei, aku menemukannya
Seember air mata
Wangi sekali...
(mencelupkan jari, menjilatnya)
Anyir
Wangi dan anyir
Kesenangan dan kesedihan menjadi satu
Hei, siapa telah menumpahkannya
Siswa III:
Bukan aku
Mungkin anak-anak cengeng itu
Atau siapa, entahlah
Tidak penting!
(kemudian mengambil bedak, bersolek)
Lalu terdengar suara dari luar panggung
Guru:
Anakku....
Siswa IV:
Guru?
Siswa III:
Tidak penting
Guru:
Memang tak penting kau tahu
Siapa telah menumpahkan air mata sebanyak itu
Siswa III:
Nah, benar kan. Apa kataku...
Siswa IV:
Katakan padaku, Guru
Mana lebih dulu ada
Tawa atau air mata
Kenapa air mata mesti dicipta
jika orang-orang hanya berburu tawa
Guru:
Kita cuma debu
Sedikit saja tahu sesuatu
Barangkali tawa dan air mata dicipta bersamaan
Keduanya kita butuhkan
Keduanya tak terpisahkan
Tawa dan air mata
Seperti juga bahagia dan derita
Derita itu niscaya
Bagi dada yang ingin bahagia
Siswa IV:
Aku ingin menangis, Guru
Guru:
Menangislah!
Dan jangan lupa
Sebab kita tak tahu batas usia
Maka, baiknya kita anggap diri sudah tua
Dengan itu, akan kita rasa benar degub jantung
Nikmat udara yang berembusan lewat hidung
Siswa III:
Aku ingin tertawa saja ah...
Siswa IV:
Kelak, jika sudah tiba masanya
Kau akan menangis juga
Lebih riuh dari tawamu itu
Siswa IV:
Oya?
Guru:
Ingatlah, Nak
Usia tak seperti matahari
jelas datang dan pergi
Kita pernah pagi, pernah menjadi bayi
Tapi kita tak tahu apakah telah senja
Hampir habis ini usia?
Siswa III:
Tapi begini, Guru...
Hemmm, maksudku...
Hemm, dan karena disebabkankan tetapi bukankah ini itu begini begitu....
Guru:
Kita terbiasa mengarang alasan
Mencoba mengelak dari kesalahan
Anakku
Kita tak tahu batas usia
Baiknya kita anggap diri sudah tua
Pandai-pandailah membaca peta
Waspadai tiap tanda
Mana jurang dan arah menuju Cahaya
Terdengar sirine tanda masuk kelas. Siswa IV segera keluar panggung sambil membawa seember air mata. Sementara Siswa III masih duduk bersolek.
Ending:
Musik+ Shalawat badar+Lir Iler+Puisi*
Lir iler lir iler tandure wus sumiler tak ijo royo-royo
Tak sengguk temanten anyar
Bocah angon bocah angon penekno blimbing kuwi
lunyu lunyu pengekno kanggo mbasuh dodot tiro kanggombasuh dodot tiro
dodot iro dodot tiro kumintir bedahing pinggir
dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore kanggo sebo mengko sore
mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane
yo suraho sura’hiyo
Mumpung padang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Senyampang masih terang benderang cahaya bulan yang isa menyembuhkan segala penyakit
Mumpung wilayah kita masih lebar masih luas masih jembar
Mumpung propinsi ini masih belum diinterfensi orang
Mumpung kita masih menjadi satu
Mumpung kita masih diberi napas
Mumpung kita masih diberi Allah kesempatan untuk kembali menata semua ini menjadi
Iler iler tandure wus sumiler tak ijo royo-royo di mana-mana
Indonesia masih sangat kaya
Kita masih bisa membangun kembali negeri ini
Dengan memulai membangun diri sendiri
Allahummaghfirlana
Allahummaghrhfirlana ya ghaffar ya ghaffar
Allahummaftahlana abwabarrahmah
Allahummaftahlana abwaba barakah
Abwabanni’mah abwabal quwwah
Abwaball ‘afiyah
Wa abwabal khairat wa abwabal khairat wa abwabal khairat
Allahummaghfirlana ya ghaffar ya ghaffar ya ghaffar
Reff:
Shalatullah salamullah ‘ala thaha rasululillah
Shalatullah salamullah ‘ala yasin khabibillah
Tawassalna bibismillah wabil hadi rasulillah
Wakulliuja hidilillah biahlilbadriya Allah
Ilahissallimil ummah minal afatiwaniqmah
Wamin hammiwwamin ghummah
Biahlilbadri ya Allah
Kembali ke reff
____________________________
catatan: *) diadaptasi dari Emha Ainun Nadjib.
2 comments
commentsteringat saat tangan merangkulnya di akhir adegan drama di atas
ReplyPena Aksara (apakah ini Alfa, yang berperan menjadi Aktor I)...wuih...sudah di jogja ya sekarang? baik-baik di sana Nak.
Reply