Oleh : Jusuf AN
Setelah Undang Undang Guru dan Dosen (UUGD) disahkan dan disosialisakan, banyak kalangan berlomba-lomba ingin menjadi guru. Maka kemudian, banyak perguruan tinggi ramai-ramai membuka program Akta IV, sebagai jalan pintas mendapatkan sertifikat mengajar bagi lulusan non-pendidikan. Satu sisi program itu dibuka dengan tujuan untuk membantu lulusan non-pendidikan yang punya kemauan menjadi guru untuk bisa mendapatkan sertifikat mengajar, tapi di sisi lain program itu terkadang tidak memberikan bekal yang maksimal untuk menciptakan guru-guru yang profesional.
Guru, kita tahu, secara etimologis berasal dari bahasa sansekerta, "gur-u," yang berarti mulia, bermutu, memiliki kehebatan, dan orang yang sangat dihormati karena kewaskitaaannya. Pengertian itu sudah kita ketahui jauh sebelum pemerintah menetapkan UU no. 14/2005 tentang Guru dan Dosen itu. UUGD memang menjadi tantangan sekaligus harapan bagi para guru. Harapan itu muncul karena UU tersebut secara jelas dan tegas menjanjikan terwujudnya hak-hak guru secara optimal serta mewajibkan guru untuk tampil secara profesional dengan sejumlah persyaratan dan kriteria yang harus dipenuhi untuk mengukuhkan keprofesionalannya.
Kita ingat, sebelum UUGD disahkan, guru pernah di posisikan sebagai "manusia suci", semacam resi yang pintar dan tulus berbudi. Dan mungkin inilah yang menjadikan penyebab kenapa kita seperti tidak serius memikirkan kesejahteraan para guru, karena memang pernah tertanam kesadaran bahwa guru itu hidup sederhana dan ikhlas berjuang. Tetapi sekarang, kita sepakat, sudah sepantasnya guru mendapatkan kesejahteraan, hidup yang layak, sehingga (mungkin) dengan kesejahteraan yang diperolehnya seorang guru menjadi lebih serius dalam menjalankan tugasnya.
Tetapi sesungguhnya, berdasarkan pengertian "guru" di atas, secara otomatis seseorang yang disebut guru mesti sudah memegang sejumlah syarat serta kriteria keprofesionalan sebagaimana yang disebutkan dalam UUGD, yakni kompetensi kepribadian, sosial, pedagogik, profesional. Syarat itu sudah mesti ada, meskipun kita belum mempunyai lembaran kompetensi yang resmi. Dengan logika sederhana itu, kompetensi atau kualifikasi keprofesioanalan guru sudah ada bersamaan dengan disandangnya nama guru pada seseorang. Kualifikasi tersebut memang syarat yang berat. Dan memang demikian adanya, menjadi guru bukanlah tugas yang ringan tentunya.
Di sahkannya UUGD pada tanggal 6 Desember 2005 ternyata juga telah menarik minat banyak kalangan. Mereka tergiur dan berkeinginan pula menjadi guru. Hanya sayangnya keinginan itu timbul lebih banyak karena diakibatkan oleh iming-iming bermacam tunjangan, bukan karena ingin menjadi pendidik yang baik.
Pada posisi demikian sudah sepatutnya kita kembali menengok ke belakang, di mana peran para guru begitu besar dalam meraih cita-cita kemerekaan negeri ini. Soekarno, misalnya, semasa ditahan di Bengkulu, sempat mengajari anak-anak di sana sejumlah mata pelajaran, dari berhitung sampai bahasa Indonesia. Jenderal Soedirman selama kurang lebih lima tahun menjadi kepala sekolah di Sekolah Dasar Muhammadiyah di Cilacap sebelum bergabung dengan Peta. Nasution juga menjadi guru di Bengkulu. Begitu pun Tan Malaka yang pernah menjadi Kepala Sekolah. Dan masih panjang lagi jika kita deretkan nama-nama lain di sini. Ki Hajar Dewantara, Bung Hatta, dan masih banyak lagi. Mereka semua menjadi guru tak lepas dari sebuah niat yang suci dan tulus, yakni mengabdi pada cita-cita kemerdekaan Indonesia. Adakah yang seperti mereka sekarang? Anda sendiri yang bisa menjawab.
Niat bukanlah sesuatu yang statis. Niat 'baik' yang telah kita tamankan terkadang di tengah jalan niat itu memudar, tercemar oleh banyak hal, yang kadang fana dan menipu. Karenanya kita mesti rajin-rajin menata kembali sebuah niat. Kita tak mengenal kata terlambat untuk memperbaiki sebuah niat. Dan siapa pun yang berkeinginan menjadi guru mesti berpikir seribu kali dan menata niat yang suci. Guru bukanlah sebuah pekerjaan yang main-main. Guru memiliki peran yang besar terhadap maju mundurnya negeri ini.