Jalan Tengah Penyelesaian Guru Honorer

Oleh Yusuf

Suatu hari, seorang putra pengasuh sebuah pondok pesantren di Cilacap bercerita kepada saya tentang Ibunya yang menunda mendaftar haji, tetapi justru berusaha untuk membeli tanah sawah. Untuk apa? Tanah-tanah itu kemudian dipasrahkan kepada guru-guru untuk kemudian dikelola dan hasilnya digunakan sebagai ganti gaji. Ia menjadi semacam bengkok yang darinya guru-guru mendapatkan bekal hidup.

Cerita tersebut cukup menarik ketika kita membincang persoalan guru honorer di Tanah Air. Inti ibrah yang bisa kita ambil yakni seorang Ibu Nyai yang punya inisiatif serta tekad untuk bisa mengupah para guru dan tidak melulu mengandalkan uluran tangan dari pemerintah. Soal berapa luas tanah dan hasil yang diperoleh darinya, itu soal lain.

Kini kian banyak sekolah-sekolah didirikan, kebutuhan akan tenaga pendidik juga terus membludak. Pemerintah yang tidak sigap pada akhirnya mesti menerima kehadiran guru honorer (guru bantu/guru tidak tetap). Mereka diberi peran dan beban yang sama seperti guru PNS, diberi tunjangan, dan jika anggaran negara memungkinkan mereka kemudian diangkat sebagai PNS.

Patut kita perhatikan bahwa pengangkatan guru honorer menjadi PNS yang sudah beberapa kali dilakukan pemerintah bukan didasarkan pada kebutuhan guru, melainkan terbatas oleh anggaran. Itulah kenapa permasalahan guru honorer bagaikan lingkaran setan yang tidak pernah putus. Sampai sekarang kita bisa melihat, hampir selalu setiap sekolah kekurangan tenaga pendidik yang kemudian dihadirkan tenaga honorer. 

nasib guru honorer

sumbergambar: jabarmerdeka.com

Ironisnya, di tengah gaji rendah yang diterima guru honorer pemerintah justru memberikan tunjangan profesi untuk guru PNS sebesar satu kali gaji pokok. Dalihnya mungkin masuk akal, yakni peningkatan mutu pendidikan. Tetapi bersamaan dengan itu alasan pemerintah tidak bisa mengangkat guru baru karena tidak tersedianya anggaran menjadi sangat mudah dipatahkan. Dan lagi, memberikan dua kali gaji pokok kepada guru PNS jelas memunculkan api kecemburuan bagi guru non-PNS, khususnya guru honorer yang mengabdi di sekolah negeri. Demikianlah, guru honorer pantas menuntut keadilan.

Kita lihat, fenomena guru honorer turun ke jalan akhir-akhir ini kian marak. Di Wonosobo sendiri, aksi unjuk rasa guru honorer belum lama kita lihat. Hal itu wajar mengingat jalan dialog dan negosiasi sudah buntu, sementara tidak ada elemen mahasiswa atau LSM yang tertarik untuk memperjuangkan nasib mereka. Sayangnya, pemerintah tidak punya ketegasan dan arah yang jelas dalam menanggapi tuntutan-tuntutan mereka kecuali sekadar janji-janji pemanis semata. Seolah-olah para punggawa pemerintah memiliki slogan, “Kalau diupah murah saja mereka tetap bertahan, kenapa harus mahal!”

Jalan Tengah

Menghentikan pemberian tunjangan profesi guru lalu kemudian mengalihkan dananya menggaji guru honorer bisa saja ditempuh, tetapi ini jelas akan menimbulkan gejolak. Mengangkat guru honorer menjadi PNS juga mudah saja, tetapi anggaran yang terbatas tidak memungkinkan pemerintah mengangkat semua honorer yang tersisa. Sehingga pada waktunya guru honorer yang belum diangkat PNS akan menuntut hal yang sama.

Sebenarnya yang menjadi tuntutan pertama guru honorer adalah honor yang layak. Darmaningtias dalam buku Sekolah yang Memiskinkan (2004) mengatakan bahwa gaji yang rendah membuat para guru ngobjek ke sana kemari, sehingga tidak sempat beristirahat apalagi merenungkan tentang profesinya atau belajar untuk meningkatkan profesionalitasnya. Celakanya lagi, gaji yang rendah itu masih banyak dipotong untuk kepentingan yang tidak pernah jelas, baik yang berasal dari keinginan guru itu sendiri maupun dari birorasi. Kondisi itu sering membuat para guru merasa jengkel, jenuh dan frustasi.

Oleh sebab itu pemberian honor yang layak adalah prioritas yang mesti dipikirkan bersama. Dan sebagaimana cerita di awal tulisan ini, maka kepala sekolah, pengurus komite, pimpinan yayasan adalah pihak-pihak yang tidak bisa tinggal diam ketika kesejahteraan guru di lingkungannya masih minim. Alternatif penyelesaian masalah mesti segera dicarikan, sembari mendesak pemerintah memberikan solusi terbaik.

Pemaksimalan biaya operasional sekolah (BOS) sebesar 15% untuk menggaji guru honorer mestinya bisa juga diterapkan di sekolah negeri mengingat masih banyaknya guru honorer di sana. Selain itu, rancangan anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) yang digodok kepala sekolah dan pengurus komite dan diplenokan dengan wali siswa mestinya berpihak pada kesejahteraan guru honorer. Wali siswa tentunya tidak keberatan manakala ada kenaikan anggaran untuk pembiayaan guru honorer yang jelas akan sangat berpengaruh pada proses pendidikan putra-putri mereka. Sayangnya mayoritas sekolah lebih mengutamakan pembangunan gedung dan pengadaan sarana prasarana. Sampai di sini, satire berikut mungkin tepat mengakhiri tulisan ini: “Bangunlah gedung-gedung sekolah yang megah, angkatlah guru-guru dan bayarlah mereka dengan murah, lalu lihatlah apa yang terjadi!”

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »