Oleh: M. Yusuf Amin Nugroho
Tahun pelajaran 2016/2017 akan segera datang, nyaris bersamaan dengan ‘Idul Fitri 1437 H. Meski masih relatif lama, tetapi persiapan penyambutan tahun pelajaran baru sudah mulai dilangsungkan. Sekolah dan madrasah sudah disibukkan dengan ritual tahunan bernama penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Tahun pelajaran 2016/2017 akan segera datang, nyaris bersamaan dengan ‘Idul Fitri 1437 H. Meski masih relatif lama, tetapi persiapan penyambutan tahun pelajaran baru sudah mulai dilangsungkan. Sekolah dan madrasah sudah disibukkan dengan ritual tahunan bernama penerimaan peserta didik baru (PPDB).
Ada beberapa hal yang menarik dari kegiatan PPDB. Salah satunya adalah strategi dan persaingan yang ketat antar sekolah dalam menjaring peserta didik baru.
Kita tahu, tahun pelajaran baru adalah harapan baru bagi setiap sekolah. Apalagi bagi sekolah-sekolah yang berada di pinggiran, lebih khusus yang baru berdiri satu atau dua tahun dan belum dikenal luas. Semua sekolah punya harapan yang sama, mendapat peserta didik sesuai target, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Sekolah-sekolah yang sudah terlanjur dianggap favorit (bedakan dengan unggulan) oleh masyarakat sudah dipastikan mengadakan seleksi masuk secara ketat. Seleksi tidak hanya dari nilai akademik, tetapi juga kesiapan biaya. Misalnya, kita akan menemukan pertanyaan ini di blanko pendaftaran: “Berapa infak/sumbangan yang siap diberikan jika diterima di sekolah ini?” Seolah-olah di balik pertanyaan tersebut tersirat ancaman, “Kalau cuma berani nyumbang seratus ribu jangan harap di terima di sekolah ini! Cerdas saja tidak cukup!” Biasanya, sekolah dengan corak PPDB seperti ini adalah sekolah swasta, meski tidak menutup kemungkinan dilakukan juga oleh sekolah negeri dengan bahasa yang lebih halus.
Di sisi lain, banyak sekolah kecil yang rela menggelontorkan banyak biaya untuk bisa menjaring peserta didik sesaui target. Untuk sekolah-sekolah jenis ini, tidak begitu peduli dengan sumbangan yang akan diberikan orangtua jika peserta didik yang didaftarkan diterima, tidak begitu peduli juga dengan nilai UN dan ijazah. Yang penting mau daftar, langsung akan diterima. Test seleksi hanya formalitas belaka. Kuantitas lebih diutamakan ketimbang kualitas.
Karena persaingan PPDB antar sekolah semakin ketat, lahirkan strategi dan siasat. Ada yang mendatangi rumah-rumah calon peserta didik. Tidak hanya membawa buklet dan formulir, tetapi juga memberikan tas, sepatu, buku, dan seragam gratis.
Fenomena tersebut sangat menarik untuk dicermati. Kenapa tidak slow saja? Mau daftar silakan, daftar di sekolah lain juga monggo. Ada apa di baliknya?
BOS dan TPG
Setidaknya ada dua hal yang membuat pihak sekolah mesti bergerak cepat dan gesit dalam menjaring peserta didik baru, yakni dana biaya operasional sekolah (BOS) dan tunjangan sertifikasi guru (TPG). Dana BOS diberikan sesuai dengan jumlah siswa, demikian juga dengan TPG yang terancam tidak bisa dicairkan jika tidak memenuhi persyaratan yang berhubungan dengan jam mengajar dan jumlah siswa.
Mungkin ada sebab lain, seperti anggapan bahwa indikator sekolah yang maju adalah sekolah dengan siswa yang banyak, dan lain sebagainya yang tidak terlihat. Dan karenanya saya hanya akan mengulas dua hal tersebut.
Jumlah siswa yang sedikit tentu akan membuat sekolah kerepotan dalam membiayai opresionalnya. Kalau kemudian Komite Sekolah menarik iuran berupa Sumbangan Opresional Pendidikan (SOP) juga tidak akan maksimal. Sekolah-sekolah kecil, yang umumnya berada di pinggiran dan pedesaan, sangat tahu diri dengan kondisi ekonomi wali siswa, sehingga kerap tidak muluk-muluk dalam menetapkan besarnya SOP.
Lalu, soal TPG, telah pula memberi efek domino. Berbagai syarat yang ditetapkan untuk mendapatkan satu kali kelipatan gaji pokok ternyata tidak mudah. Ada syarat jumlah siswa dalam rombongan belajar (rombel), selain juga jam mengajar, yang semua itu harus diperjuangkan sendiri oleh tiap-tiap sekolah. Maka, jika PPDB tidak mencapai target, para guru juga terancam tidak menerima TPG.
Kerja Sama
Setiap sekolah tentu saja punya harapan membesarkan instansinya, baik kualitas maupun kuantitas. Tapi harus diingat, kita diikat tujuan pendidikan nasional yang sama, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Di sinilah kita membutuhkan kerjasama antar lembaga atau instansi sekolah. Sekolah yang besar dan sudah mencapai batas maksimal romongan belajar, barangkali perlu memikirkan ulang untuk membuka rombongan belajar lagi. Berilah kesempatan kepada sekolah-sekolah kecil untuk berkembang dan ikut memainkan peran.
Pemerintah juga sudah selayaknya mengevaluasi kebijakan besaran dana BOS bagi tiap sekolah. Sebab, sekolah dengan jumlah siswa sedikit kadang-kadang memiliki pembiayaan operasional yang nyaris sama dengan sekolah yang siswanya banyak, terlebih lagi ia adalah sekolah swasta. Barangkali BOS untuk sekolah negeri dan swasta perlu dibedakan, dengan syarat-syarat tertentu, tentu saja.
Terakhir, dan ini yang terpenting: Inti pendidikan adalah pada proses, bukan pada penjaringan peserta didik baru. Peserta didik merupakan amanah, bukan makhluk mainan yang hanya dijadikan alat tunggangan untuk kepentingan pribadi maupun golongan.