Cerpen Jusuf AN
Entah kenapa, ia merasa kalau hari ini akan menjadi hari paling baik di antara ribuan hari baik yang sudah ia lewati selama 30 tahun lebih. Ia sendiri tak tahu kenapa tiba-tiba pikiran semacam itu melintas di benaknya di saat ia tengah mengayuh sepeda menuju tempat kerja. Pikiran itu menguasai sebagian besar bagian otaknya, membuatnya tidak konsentrasi dan beberapa kali dimaki-maki klakson truk dan bus antar kota.
Ia bekerja di sebuah madrasah tsanawiyah yang cukup megah. Tentu ia bukan guru, begitu kita akan menebak ketika melihat penampilannya yang berjaket lusuh, celana komprang dan sandal jepit. Dan memang tebakan kita benar. Ia memang pernah berkeinginan menjadi guru, namun tak pernah terwujud. Tapi ia cukup bahagia setelah lulus sekolah menengah dan beberapa tahun menganggur kemudian ada seseorang menawarinya bekerja di sebuah sekolah negeri. “Kerjamu cuma buat minum untuk guru-guru, bersih-bersih lingkungan sekolah dan menjaga keamanan, tapi kamu tetap punya peluang diangkat menjadi pegawai negeri,” terang seseorang menawarkan. Sungguh, ia bahagia bukan lantaran masa depannya cukup menjanjikan. Ia menerima pekerjaan itu dikarenakan akan lebih dekat dengan aroma orang-orang mencari ilmu dan harum pengabdian para guru.
Ia menyukai pekerjaannya dan kerenanya ia betah. Sudah hampir 15 tahun ia bekerja di sekolahan itu dengan gaji yang meski sedikit, tapi (gaib) selalu cukup untuk menghidupi istri dan seorang anak.
Sebentar lagi lelaki berkulit coklat matang itu tiba di tempat kerjanya. Kepalanya masih rusuh. Apakah kabar baik akan aku terima hari ini? Adakah surat pengangkatanku sebagai CPNS akan turun? Ah, sepertinya tidak mungkin, ratusan guru bantu yang sudah bekerja lebih dari 20 tahun saja masih banyak yang belum turun, mana mungkin pemerintah memikirkan nasib seorang tukang kebersihan? Ya, tapi mungkin saja. Tidak ada yang tak mungkin bagi Tuhan, tampiknya sendiri. Ia pun mengayuh sepedanya lebih kencang, hampir-hampir membuat topi lusuhnya terbang disambang angin bergelombang.
Selalu ia menjadi orang pertama yang tiba di sekolahan itu. Gerbang sekolah ia buka. Sepedanya ia tuntun, disenderkannya di dinding. Ia rogoh saku celana, lalu mulai membuka kunci pintu ruang guru, ruang TU, ruang-ruang kelas, dan terakhir ia menuju dapur. Ia masak air dengan panci jumbo, menyiapkan gelas-gelas besar, membaca denah meja-meja ruang guru dan menyiapkan gelas mana yang mesti ia buat teh dan mana yang yang harus ia tuang air putih. Ia sudah melakukan pekerjaan itu selama lebih dari lima belas tahun dan sudah belajar banyak dari kesalahan-kesalahan, semisal menuangkan gula pada semua gelas atau memasak air terlalu sedikit. Pikiran tentang hari baik di kepalanya kini agak mengendur, tetapi cukup mengusik otaknya, membuatnya lupa berapa gelas yang mesti ia kasih gula, memaksanya melihat lagi denah meja ruang guru untuk memastikannya.
Beberapa hari lalu, ia memang mendengar kalau surat pengangkatan sebagai pegawai negeri akan turun bulan ini. Teringat itu ia menggeleng-gelengkan kepala, sambil tersenyum menertawakan pikirannya sendiri.
Detik melangkah cepat. Air di panci telah mendidih. Satu dua guru masuk ke dapur, membuat kopi dan teh sendiri, lalu dibawa ke ruang sebelah. Begitulah kebiasaan di sekolah itu. Sebelum bel masuk menjerit, sebagian guru akan masuk ke dapur, membuat minuman hangat, lalu di bawa ke ruang sebelah, duduk-duduk menyalakan rokok, membuka obrolan tentang apa saja, terutama tentang isu yang hangat.
Ia tengah menuang air yang baru mendidih ke dalam tremos dan mendengar guru-guru di sebelah dapur membincangkan isu tentang SK guru-guru bantu yang akan turun bulan ini. Ia yang takut kalau konsentrasinya pecah lalu air panas yang tengah ia tuang tumpah, memutuskan berhenti sejenak, mendengarkan obrolan mereka. Ia bergidik mendengar makian-makian para guru pada pemerintah, tentang gaji mereka yang rendah, dan rencana mereka menggelar aksi demonstrasi. Sampai di situ, ia kembali meneruskan kerjanya.
Sampai dzuhur ia belum menemukan sesuatu yang istimewa kecuali nikmat napasnya yang masih berembusan lewat hidung, keringat yang masih menetes, dan kerongkongan yang kembali segar ketika diguyur air putih.
Tapi ia seolah masih menunggu apa yang tadi terbersit di hatinya itu. Sempat terpikirkan olehnya untuk membongkar koran-koran yang tertumpuk di pojok ruang dapur lalu mencari kolom zodiak yang tersedia di koran Minggu. Ia ingin tahu apakah peruntungannya sesuai dengan firasat hatinya. Tapi ia buru-buru urungkan niatnya. Ia tak ingin melukai keimanannya. Ia ingin membiarkan takdir tetap gaib sebagaimana sifatnya.
Ia pulang ketika sekolah itu benar-benar sepi. Dengan perasaan yang sepi pula ia kayuh sepedanya di jalan raya yang ramai. Ia masih menduga-duga, apakah hal baik yang akan ia terima hari ini. Adakah saudaranya yang kabarnya sudah menjadi juragan di kota akan datang kemudian memberikan modal untuk istrinya membuka usaha warung kelontong. Apakah dana bantuan dari pemerintah untuk merehab rumahnya akan ia terima? Ataukah apa?
Baru kali ini ia berpikir sebegitu mendalam tentang sebuah firasat. Firasat yang ia sendiri tak tahu kenapa mendadak meledak di dadanya pada pagi-pagi di jalan raya. Firasat yang entah kenapa begitu kuat bertahan mencengkram batok kepalanya.
Setiba di rumah, ia langsung masuk dan mencari istrinya. Jika biasanya ia meminta segelas air putih, kali ini ia meminta jawaban, “Apakah Kang Darwito pulang dari Jakarta?” Istrinya menggeleng. “Apakah tadi ada petugas dari kelurahan yang datang?”
Istrinya menggeleng lagi, ganti bertanya, “Memangnya ada apa?”
Ia tidak menjawab, tapi meminta diambilkan air putih untuk mengganti keringat yang tumpah dari tubuhnya, mendinginakan perasaannya.
***
Ia berdiam di masjid sejak maghrib hingga isya turun, kebiasaan yang tidak disukai istrinya tetapi tetap ia pertahankan. Pulang dari masjid, ia sudah cukup terbebas dari firasat akan datangnya hal baik pada hari ini. Ia melangkah tenang, menikmati setiap ayunan kaki menjejak ke tanah. Membuka pintu rumah, ia mesti mengendap-endap mencari saklar lampu ruang depan. Membuka tutup saji di meja makan, ia tak menemukan apa-apa selain sepiring nasi dingin dan mie instan yang masih dalam kemasan. Ia berjalan membuka gorden pintu kamar, melongok, mendapati istri dan anaknya yang berusia tiga tahun sudah tidur. Segera ia menuju dapur, menyalakan kompor minyak tanah, memasak mie sembari mendinginkan hati, menebalkan kesabaran tentang sikap sang istri.
Di saat lidahnya mulai menari memainkan nasi campur mie, kepalanya kembali melayang, teringat akan firasatnya tadi pagi. Tapi ia tak ingin terus-terusan memikirkannya dan segera mengucap istighfar. Duduk sebentar di kursi ruang depan, ia langsung menuju kamar, mencium istri dan anaknya, lalu rebah di sisi mereka. Ia mesti tidur lebih awal karena tengah malam nanti ia mesti pergi ke sekolah untuk memastikan keadaan sekolah aman.
Dengan bismillah, ia melebur lelah di ranjang yang reot, lalu bangkit ketika mendengar bunyi tiang listrik di tabuh peronda. Dengan sarung dibalutkan di leher dan kepala mengenakan peci hitam ia kayuh sepeda menembusi dinding-dinding kabut melawan dingin yang meruncing menusuk-nusuk dadanya. Mendadak, seperti pagi tadi ketika ia berangkat kerja, ada yang meledak dalam dadanya, sebuah firasat tentang hari baik seperti yang tadi pagi ia terima, tapi kali ini lebih dahsyat, menebalkan keyakinannya, bahwa akan ada hal baik akan ia terima dalam waktu dekat. Ia kayuh sepedanya lebih cepat, meski tak dapat menandingi kecepatan laju truk tronton dan bus antar propinsi. Ia yakin kalau di depan sana, sesuatu yang terbersit dalam batinya itu seakan sudah menunggunya.
***
Ketika matahari baru naik satu tombak seorang pegawai TU mendatangi rumahnya karena gerbang sekolah masih terkunci. Jelang siang lelaki pegawai kebersihan itu ditemukan tak bernyawa di mushala kecil di ruang guru dengan tasbih tergenggam di tangan serta peci hitam tergeletak di sisinya. Wajahnya nampak seperti seorang yang baru mendapat kabar gembira.
Wonosobo, 2009
Entah kenapa, ia merasa kalau hari ini akan menjadi hari paling baik di antara ribuan hari baik yang sudah ia lewati selama 30 tahun lebih. Ia sendiri tak tahu kenapa tiba-tiba pikiran semacam itu melintas di benaknya di saat ia tengah mengayuh sepeda menuju tempat kerja. Pikiran itu menguasai sebagian besar bagian otaknya, membuatnya tidak konsentrasi dan beberapa kali dimaki-maki klakson truk dan bus antar kota.
Ia bekerja di sebuah madrasah tsanawiyah yang cukup megah. Tentu ia bukan guru, begitu kita akan menebak ketika melihat penampilannya yang berjaket lusuh, celana komprang dan sandal jepit. Dan memang tebakan kita benar. Ia memang pernah berkeinginan menjadi guru, namun tak pernah terwujud. Tapi ia cukup bahagia setelah lulus sekolah menengah dan beberapa tahun menganggur kemudian ada seseorang menawarinya bekerja di sebuah sekolah negeri. “Kerjamu cuma buat minum untuk guru-guru, bersih-bersih lingkungan sekolah dan menjaga keamanan, tapi kamu tetap punya peluang diangkat menjadi pegawai negeri,” terang seseorang menawarkan. Sungguh, ia bahagia bukan lantaran masa depannya cukup menjanjikan. Ia menerima pekerjaan itu dikarenakan akan lebih dekat dengan aroma orang-orang mencari ilmu dan harum pengabdian para guru.
Ia menyukai pekerjaannya dan kerenanya ia betah. Sudah hampir 15 tahun ia bekerja di sekolahan itu dengan gaji yang meski sedikit, tapi (gaib) selalu cukup untuk menghidupi istri dan seorang anak.
Sebentar lagi lelaki berkulit coklat matang itu tiba di tempat kerjanya. Kepalanya masih rusuh. Apakah kabar baik akan aku terima hari ini? Adakah surat pengangkatanku sebagai CPNS akan turun? Ah, sepertinya tidak mungkin, ratusan guru bantu yang sudah bekerja lebih dari 20 tahun saja masih banyak yang belum turun, mana mungkin pemerintah memikirkan nasib seorang tukang kebersihan? Ya, tapi mungkin saja. Tidak ada yang tak mungkin bagi Tuhan, tampiknya sendiri. Ia pun mengayuh sepedanya lebih kencang, hampir-hampir membuat topi lusuhnya terbang disambang angin bergelombang.
Selalu ia menjadi orang pertama yang tiba di sekolahan itu. Gerbang sekolah ia buka. Sepedanya ia tuntun, disenderkannya di dinding. Ia rogoh saku celana, lalu mulai membuka kunci pintu ruang guru, ruang TU, ruang-ruang kelas, dan terakhir ia menuju dapur. Ia masak air dengan panci jumbo, menyiapkan gelas-gelas besar, membaca denah meja-meja ruang guru dan menyiapkan gelas mana yang mesti ia buat teh dan mana yang yang harus ia tuang air putih. Ia sudah melakukan pekerjaan itu selama lebih dari lima belas tahun dan sudah belajar banyak dari kesalahan-kesalahan, semisal menuangkan gula pada semua gelas atau memasak air terlalu sedikit. Pikiran tentang hari baik di kepalanya kini agak mengendur, tetapi cukup mengusik otaknya, membuatnya lupa berapa gelas yang mesti ia kasih gula, memaksanya melihat lagi denah meja ruang guru untuk memastikannya.
Beberapa hari lalu, ia memang mendengar kalau surat pengangkatan sebagai pegawai negeri akan turun bulan ini. Teringat itu ia menggeleng-gelengkan kepala, sambil tersenyum menertawakan pikirannya sendiri.
Detik melangkah cepat. Air di panci telah mendidih. Satu dua guru masuk ke dapur, membuat kopi dan teh sendiri, lalu dibawa ke ruang sebelah. Begitulah kebiasaan di sekolah itu. Sebelum bel masuk menjerit, sebagian guru akan masuk ke dapur, membuat minuman hangat, lalu di bawa ke ruang sebelah, duduk-duduk menyalakan rokok, membuka obrolan tentang apa saja, terutama tentang isu yang hangat.
Ia tengah menuang air yang baru mendidih ke dalam tremos dan mendengar guru-guru di sebelah dapur membincangkan isu tentang SK guru-guru bantu yang akan turun bulan ini. Ia yang takut kalau konsentrasinya pecah lalu air panas yang tengah ia tuang tumpah, memutuskan berhenti sejenak, mendengarkan obrolan mereka. Ia bergidik mendengar makian-makian para guru pada pemerintah, tentang gaji mereka yang rendah, dan rencana mereka menggelar aksi demonstrasi. Sampai di situ, ia kembali meneruskan kerjanya.
Sampai dzuhur ia belum menemukan sesuatu yang istimewa kecuali nikmat napasnya yang masih berembusan lewat hidung, keringat yang masih menetes, dan kerongkongan yang kembali segar ketika diguyur air putih.
Tapi ia seolah masih menunggu apa yang tadi terbersit di hatinya itu. Sempat terpikirkan olehnya untuk membongkar koran-koran yang tertumpuk di pojok ruang dapur lalu mencari kolom zodiak yang tersedia di koran Minggu. Ia ingin tahu apakah peruntungannya sesuai dengan firasat hatinya. Tapi ia buru-buru urungkan niatnya. Ia tak ingin melukai keimanannya. Ia ingin membiarkan takdir tetap gaib sebagaimana sifatnya.
Ia pulang ketika sekolah itu benar-benar sepi. Dengan perasaan yang sepi pula ia kayuh sepedanya di jalan raya yang ramai. Ia masih menduga-duga, apakah hal baik yang akan ia terima hari ini. Adakah saudaranya yang kabarnya sudah menjadi juragan di kota akan datang kemudian memberikan modal untuk istrinya membuka usaha warung kelontong. Apakah dana bantuan dari pemerintah untuk merehab rumahnya akan ia terima? Ataukah apa?
Baru kali ini ia berpikir sebegitu mendalam tentang sebuah firasat. Firasat yang ia sendiri tak tahu kenapa mendadak meledak di dadanya pada pagi-pagi di jalan raya. Firasat yang entah kenapa begitu kuat bertahan mencengkram batok kepalanya.
Setiba di rumah, ia langsung masuk dan mencari istrinya. Jika biasanya ia meminta segelas air putih, kali ini ia meminta jawaban, “Apakah Kang Darwito pulang dari Jakarta?” Istrinya menggeleng. “Apakah tadi ada petugas dari kelurahan yang datang?”
Istrinya menggeleng lagi, ganti bertanya, “Memangnya ada apa?”
Ia tidak menjawab, tapi meminta diambilkan air putih untuk mengganti keringat yang tumpah dari tubuhnya, mendinginakan perasaannya.
***
Ia berdiam di masjid sejak maghrib hingga isya turun, kebiasaan yang tidak disukai istrinya tetapi tetap ia pertahankan. Pulang dari masjid, ia sudah cukup terbebas dari firasat akan datangnya hal baik pada hari ini. Ia melangkah tenang, menikmati setiap ayunan kaki menjejak ke tanah. Membuka pintu rumah, ia mesti mengendap-endap mencari saklar lampu ruang depan. Membuka tutup saji di meja makan, ia tak menemukan apa-apa selain sepiring nasi dingin dan mie instan yang masih dalam kemasan. Ia berjalan membuka gorden pintu kamar, melongok, mendapati istri dan anaknya yang berusia tiga tahun sudah tidur. Segera ia menuju dapur, menyalakan kompor minyak tanah, memasak mie sembari mendinginkan hati, menebalkan kesabaran tentang sikap sang istri.
Di saat lidahnya mulai menari memainkan nasi campur mie, kepalanya kembali melayang, teringat akan firasatnya tadi pagi. Tapi ia tak ingin terus-terusan memikirkannya dan segera mengucap istighfar. Duduk sebentar di kursi ruang depan, ia langsung menuju kamar, mencium istri dan anaknya, lalu rebah di sisi mereka. Ia mesti tidur lebih awal karena tengah malam nanti ia mesti pergi ke sekolah untuk memastikan keadaan sekolah aman.
Dengan bismillah, ia melebur lelah di ranjang yang reot, lalu bangkit ketika mendengar bunyi tiang listrik di tabuh peronda. Dengan sarung dibalutkan di leher dan kepala mengenakan peci hitam ia kayuh sepeda menembusi dinding-dinding kabut melawan dingin yang meruncing menusuk-nusuk dadanya. Mendadak, seperti pagi tadi ketika ia berangkat kerja, ada yang meledak dalam dadanya, sebuah firasat tentang hari baik seperti yang tadi pagi ia terima, tapi kali ini lebih dahsyat, menebalkan keyakinannya, bahwa akan ada hal baik akan ia terima dalam waktu dekat. Ia kayuh sepedanya lebih cepat, meski tak dapat menandingi kecepatan laju truk tronton dan bus antar propinsi. Ia yakin kalau di depan sana, sesuatu yang terbersit dalam batinya itu seakan sudah menunggunya.
***
Ketika matahari baru naik satu tombak seorang pegawai TU mendatangi rumahnya karena gerbang sekolah masih terkunci. Jelang siang lelaki pegawai kebersihan itu ditemukan tak bernyawa di mushala kecil di ruang guru dengan tasbih tergenggam di tangan serta peci hitam tergeletak di sisinya. Wajahnya nampak seperti seorang yang baru mendapat kabar gembira.
Wonosobo, 2009