Cukupkan Dengan Cinta (Kumpulan Puisi Komunitas Sastra Bimalukar Wonosobo)

antologi puisi komunitas sastra bimalukar
Judul: Cukupkan Dengan Cinta (Kumpulan Puisi Komunitas Sastra Bimalukar Wonosobo)
Penyunting : Indrian Koto.
Penerbit: Bimalukar Publishing, Wonosobo, 2015.
Cetakan I: Februari, 2015.
Tebal: xiv + 121 hlm; 13,5 x 20 cm.

Kontributor

Berikut nama-nama kontributor yang terdaftar di dalam buku :
1. Agus Wépé
2. Alfa Ulfalah
3. Ani Istikharoh Anhar
4. Bagus Santoso
5. Dewi Prajnaparamitha Amandangi II
6. Dhimas Duars Duars
7. Dwi Astuti
8. Engkoh Liend
9. Eko Hastuti
10. Erwin Abdillah
11. Fakih Arya Kusuma
12. Gallant Pamungkas
13. Gusblero Free
14. Hening Andriastuti
15. Itox VC
16. Jusuf AN
17. Kaka Cahea Caradhiki
18. Kholifaturokhma
19. Maria Bo Niok
20. Moriz Avisena
21. Nafi
22. Nessa Kartika
23. Ruskim Abdullah
24. Syahida Alam
25. Vanera El-arj
26. Taufiq Hidayat RajaJek
27. Wening Tyas Suminar
28. Wilda
komunitas sastra wonosobo

 Pengantar Penyunting 

Menulis puisi tentu bukan pekerjaan yang bisa dilakukan sekali duduk. Ada proses panjang yang melingkupi puisi. Disadari atau tidak, puisi mengalami sebuah transformasi dari ruang kosong hing-ga berwujud larik. Puisi yang terbaca adalah pengejahwantahan keseluruhan ide, pikiran, perenungan, pemilihan kata dan diksi, hingga akhirnya kita sebut sebagai puisi. Puisi adalah hasil tawar-menawar yang cukup panjang antara penyair dan karyanya.

Proses menjadi dalam berkarya tak kalah rumitnya. Seseorang yang kita sebut penyair, cerpenis, novelis dan memang layak menyandang status demikian pastilah mengalami pergumulan kreatif yang luar biasa. Tidak sedikit calon penyair berbakat yang mesti ‘gugur’ sebelum mencapai titik di mana karyanya sejajar dengan karya-karya kuat lainnya. Proses ‘menjadi’ adalah dunia pertarungan melawan diri sendiri. Musuh utamanya bisa beragam bentuk: malas, merasa sudah jadi, merasa cukup, tidak tertarik membaca karya orang lain, kuat di ide tapi gagal dalam eksekusi, tidak memiliki referensi yang kuat, dan beragam bentuk lainnya. Godaan terbesar lainnya tentu saja upaya eksplorasi pengarang yang seringkali berhenti pada tahap coba-coba. Yang paling berbahaya dari kesemua itu adalah ‘fondasi’ dasar puisi, yaitu bahasa.

Di balik itu semua, kita beruntung, hal-hal berat semacam itu tidak membuat puisi menjadi ‘sesunyi kuburan’. Puisi terus lahir, penyair muda terus bermunculan. Soal jadi atau tidak, gagal atau berhasil, sebatas coba-coba atau menjadi susunan kalimat yang nikmat dibaca, dalam maknanya adalah proses waktu tadi. Semua orang selalu berhadapan dengan proses menjadi tadi.

Semua orang tahu, menulis adalah ruang pribadi, ‘dunia kamar’, namun proses penulisan bisa berlangsung di mana saja. Membaca, berkumpul, menonton serta peristiwa mengalami adalah pemicu-pemicu yang luar biasa dari sebuah karya. Ruang diskusi juga akan mencairkan kerunyaman puisi. Pada dasarnya dalam tahap belajar, dan proses belajar tentu berlangsung sepanjang hayat, seorang penyair juga butuh teman. Beruntunglah mereka yang tumbuh dari sekumpulan orang-orang yang menghayati puisi dalam proses belajarnya.

Proses puisi selalu dimulai dari diri sendiri. Renungan personal, kehilangan, cinta, peristiwa sosial, kekaguman akan alam, tempat baru, serta keterasingan adalah bekal awal seorang penyair. Inilah yang kta sebut kepekaan. Baik kepekaan personal, yang membaca ke dalam dirinya, maupun kepekaan sosial. Bahwa puisi, sebagaimana kerja seni lainnya bisa dimaklumi, bakat hanyalah pemicu belaka, kerja keraslah yang akan menentukan hasilnya.

Komunitas sastra Bimalukar yang berada di Wonosobo merupakan sebuah kelompok yang saya kira cukup lengkap. Di kota kecil, nyaris setiap periode bermunculan para penulis yang memiliki modal besar dalam berkarya. Alam, lingkungan sosial, fasilitas, serta kecakapan personal mereka tak kalah dibanding kota lainnya. Mereka muncul dari beragam latar, santri, pelajar umum, guru, mahasiswa, pekerja sosial, dan sebagainya. Dan Bimalukar melengkapi itu semua.

Membaca karya dalam kumpulan ini seperti menemukan batu akik sebesar kepala. Tak ada keraguan bahwa puisi akan mati, bahkan, semua orang harus tahu, di sebuah kabupaten seperti Wonosobo sastra mendapatkan tempat terhangat. Membaca puisi-puisi ini adalah sebuah kegembiraan. Kumpulan puisi ini adalah sebuah harapan. Kita masih akan melihat kilauan batu akik yang siap diasah menjadi kilauan yang sedap dipandang mata. Sebagian penyair dalam kumpulan ini adalah mereka yang sedang berada dalam tempaan proses menjadi, bersiap menuju proses menjadi, serta mereka yang tinggal diasah sedemikian rupa lagi hingga mendapatkan kilau yang sebenarnya. Dari sepilihan puisi ini bisa kita lihat keragaman tema dan gaya ungkap dari seorang pemula hingga mereka yang sudah mendapat porsi cukup dalam kanca kesuasteraan Indonesia. Ibarat akik, kita akan terus menggosok, menggosok dan menggosok...

Kita berharap Bimalukar ke depan menjadi wadah bagi beragam calon penulis dari beragam latar belakang di Wonosobo, sekaligus ruang yang mempertemukan berbagai kelompok orang yang men-jadikan seni, minimal, sebagai wujud kecintaannya, sehingga dalam kelompok sastra ini kita bisa tumbuh bersama. Kita menunggu antologi tunggal para penyair dalam buku ini beberapa tahun ke depan. Kita punya harapan bahwa antologi ini bisa menjadi dokumentasi awal para penyair muda Wonosobo yang puisinya masuk dalam antologi ini. Kita tidak bisa berharap semua akan jadi, sebab sebagaimana disinggung di awal, bahwa proses menjadi adalah proses seleksi. Baik seleksi alam maupun pilihan pribadi. Namun, sekali lagi, kita boleh berbangga hati, dari Wonosobo kita akan selalu bisa melihat pertumbuhan sastra seranum pipi remaja-

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »