Cerpen Jusuf AN
Dimuat di Kedaulatan Rakyat Minggu, 11 Mei 2014
Di depan para siswa yang
tengah menggarap soal-soal Matematika, pikirannya terpecah. Dia teringat
istrinya yang sudah tiga hari terbaring di Rumah Sakit sementara anak dalam
kandungannya belum lahir juga. Pikirannya juga dirupeki oleh biaya persalinan
yang sama sekali belum disiapkan. Dan rapat jam sembilan nanti? Aduh, pastilah
akan membahas rencana-rencana busuk dalam rangka menghadapi ujian yang tinggal
seminggu lagi.
Namanya Umar. Tahun lalu,
dialah satu-satunya guru yang tidak setuju dengan berbagai rencana yang
diagendakan pihak sekolah. Pendongkrakan dan penggantian nilai raport,
pemalsuan lembar jawab, termasuk melatih siswa bekerja sama dan melakukan nyontek
masal. Nuraninya menjerit. Dia merasa tidak bisa mendiamkan kecurangan-kecurangan
itu berjalan. Tapi apa dayanya mencegah itu semua?
Keberanian! Ya, dia harus
bisa mengumpulkan keberanian. Dia ingat-ingat lagi kisah orang-orang yang
berani melakukan apa saja demi keadilan, kejujuran, dan melawan
kesewenang-wenangan. Dia harus siap dipecat, dicaci dan diacuhkan oleh
rekan-rekan sesama guru. Dan setelah berpikir masak-masak, dia pun merasa siap.
Dia sangat rela jika karena kejujurannya membuatnya dipecat. Toh aku hanya
seorang guru tidak tetap yang gajinya tidak seberapa, batinnya.
Maka, di sebuah rapat
membahas rencana-rencana busuk demi kelulusan siswa, Umar berdiri dengan gagah.
Lantang menentang, mengancam akan membeberkan kebusukan-kebusukan itu kepada
wartawan, dan kalau perlu ke tingkat pusat.
“Tapi ini demi siswa, Pak!”
sanggah Kepala Sekolah.
“Lebih baik mereka tidak
lulus dari pada ijazah mereka najis.”
“Sekolah yang lain juga
demikian.”
“Ini sekolah kita, bukan
sekolah lain.”
Pada akhirnya sarannya
dituruti. Meski akibatnya bisa terbaca: Sekolah yang selama ini menjadi
kebanggan di kota itu kehilangan pamornya disebabkan lebih dari separuh
siswanya tidak lulus ujian. Sejak itu Kepala Sekolah mendadak sakit karena
dimarahi Kepala Dinas. (Kabarnya Kepala Dinas terlebih dulu telah dimarahi
Bupati, dan Bupati telah terlebih dulu dimarahi oleh Gubernur). Beberapa bulan
kemudian datanglah kepala sekolah baru menggantikan.
Umar masih berjalan
mondar-mandir, antara pintu dan meja guru. Sementara anak-anak di kelas itu
mulai ribut. Sebagian berusaha mencuri jawaban teman, yang lain bukannya
mengerjakan, tetapi asik berbincang. Ada pula yang sibuk dengan gadgetnya.
Terlihat pula seorang anak yang giat membatik lengannya dengan spidol. Dan
meski hari masih pagi, ada saja siswa pulas tertidur dengan kepala tergeletak
di atas meja.
Angin berkesiur,
menggugurkan daun-daun mahoni di halaman. Langit yang mendung mendadak pecah.
Umar bersandar pada kayu pintu, memandang butir-butir air yang membuncah. Dia tidak
lagi mendengar suara ribut para siswa di kelas itu, tetapi bisa dengan jelas terdengar
keributan di dalam hatinya. Melirik jam di lengan dia melihat jarum pendek nan gendut
tergopoh-gopoh menuju angka sembilan.
Ketika bel ganti pelajaran
melengking, Umar sudah selesai mencocokkan dan menerangkan soal-soal yang dia
berikan kepada para siswa. Kemeletok hujan di atas genting kian nyaring, nyaris
menenggelamkan suaranya yang parau saat mengucap salam menutup pelajaran.
Sebenarnya, Umar bisa berjalan melalui koridor, duduk sebentar di ruang guru
untuk meneguk tehnya, sebelum kembali masuk ke kelas yang lain. Tetapi ia
memilih langsung masuk ke kelas. Sejak peristiwa setahun lalu itu, tak seorang
pun guru mau diajaknya berbincang.
Dia belum memiliki gambaran
apa-apa untuk rapat nanti. Dia mulai meragukan keberaniannya sendiri setelah teringat
dengan dua rekannya yang belum lama ini dimutasi ke sekolah terpencil akibat
berani protes soal buku-buku paket yang diborong Pak Kepala. Dia tahu, orang
yang menjadi atasannya sekarang berkepala batu dan kerap mengancam para guru
jika berani melawan kebijakannya. “Kalau tidak setuju dengan keputusan saya, ya
silahkan saja. Tapi jangan salahkan saya jika tunjangan sertifikasinya tidak
saya cairkan!” Itulah salah satu kalimat yang paling sering diucapkan Kepala
Sekolah saat rapat.
Belum lama ini Umar bahkan disuruh
menghadap Pak Kepala. Di depan orang yang paling berkuasa di sekolah itu Umar sama
sekali membungkukkan badannya. Duduknya tegap, tatapannya tajam. Tetapi ketika
Sang Kepala mulai mengeluarkan pedang dari mulutnya, tubuh Umar mendadak
lunglai.
“Tunjangan profesimu
sebenarnya sudah bisa dicairkan, tetapi saya harus tunda dulu sampai ujian nasional
beres. Kau tentu paham maksud saya, bukan? Jadi, jangan macam-macam!” Suara itu
telak menikam jantungnya. Ingin rasanya Umar mengambil piala paling besar di
lemari kaca di depannya untuk memecah kepala atasannya. Tetapi dia teringat
istrinya, anak dalam kandungannya, dan tunjangan profesi yang hampir setahun
belum terbayar—betapa dia membutuhkan uang itu.
Lelaki yang tubuhnya
terbungkus kain batik itu mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Keributan
di hatiku tidak boleh menjadikan anak-anak itu telantar, pikirnya. Lalu dia
berdiri setelah berhasil menegarkan hati.
Jarum pendek dan gendut di
lengannya sudah melewati angka sembilan. Seorang Satpam mengetuk pintu
kelasnya, dan saat itulah Umar sadar jika Pak Kepala sudah menunggunya.
“Rapat ya? Sebentar!” Umar
berdehem satu kali. “Hem, maaf sekali anak-anak…”
“Bukan soal rapat, Pak,”
potong si Satpam di dekat pintu.
Umar mendekat lagi ke pintu.
“Barusan ada telpon,
mengabarkan kalau istri Pak Umar sudah….”
“Anakku sudah lahir?” kontan
Umar berjingkat.
“Mungkin.”
***
Tiba di Rumah Sakit, Umar
bergegas memasuki ruang bersalin setelah terlebih dulu melepas sepatunya di depan
pintu. Telinganya segera disapa suara rintihan dan teriakan perempuan-perempuan
yang hendak melahirkan. Di sebuah ruangan yang dikelilingi kelambu dia
menemukan istrinya ditunggui seorang Bidan. Belum sempat menanyakan kabar pada
istrinya, Bidan telah terlebih dulu menyodorinya selembar kertas, menyuruh Umar
untuk menandatangi. Persetujuan operasi? Umar mendongak, menatap Bidan. Panggul
sempit, terang Bidan singkat.
Segala hal yang berkaitan dengan urusan
sekolah, tak lagi mengusiknya, berganti dengan bayangan istrinya yang baru saja
dimasukkan ruang operasi. Di depan ruangan itu ada kursi kayu. Umar duduk di
sana sebentar, memandangi sekitar. Tidak lama duduk, Umar berdiri, berjalan
modar-mandir, lalu duduk lagi, melihat pintu ruang operasi. Menatap jam di
lengan, dia menarik napas, mencoba tenang. “Semua akan baik-baik saja.” Dia
berjuang menanamkan kalimat itu pada hatinya. Dan setengah jam kemudian, dia
mendengar suara samar tangisan bayi yang sepertinya berasal dari dalam ruang
operasi. Hanya sebentar. Bagaikan terbawa angin, tangisan itu hilang, begitu
saja menghilang. Senyap merambat di lantai, menjalar ke sekujur tubuhnya yang
gemetar.
***
Hantu yang ditunggu-tunggu
itu muncul juga, tiga hari berturut-turut, dalam wujud soal-soal ujian.
Umar tidak diberi tugas untuk
menjadi panitia atau pengawas. Dan dia bersyukur, karena dengan itu dia bisa
terus mengawasi perkembangan bayi perempuannya yang tergolek di kotak inkubator. Dia tak lagi merisaukan
soal biaya, sebab tiga hari setelah anaknya lahir, atasannya datang menjenguk, mengatakan
akan secepatnya membantu mencairkan tunjangan profesi yang sudah menjadi haknya.
Di ruang ICU, memandangi
selang-selang yang berseliweran di kotak kaca yang disorot lampu biru, Umar
menundukkan kepalanya dalam-dalam. Aku benar-benar telah kalah, sungguh-sungguh
telah kalah.
Namun, dia belum sepenuhnya
menyerah. Di sebalik matanya yang memicing, dia bisa melihat siswa didiknya yang
begitu dia sayangi tengah berbagi jawaban dan nyontek bersama-sama
sebagaimana yang sudah direncanakan. “Hanya Engkaulah yang kuasa menyingkap
kebusukan,” bisiknya kepada Tuhan.
Wonosobo, 2012-2013
Teriring salam untuk Keluarga Siami
di Kecamatan Tandes, Surabaya
yang berani menyuarakan kejujuran