Hadiah

Membaca judulnya saja sudah cukup bikin membuat orang penasaran, dan akhirnya klik deh. Oh, ternyata cuma tulisan iseng dan orang yang suka iseng. Ops, iseng-iseng berhadiah, siapa mau?

Ketika suatu ketika saya membuka sesi tanya-jawab di sela-sela pembelajaran, seringnya banyak siswa yang diam. Lalu ketika mereka dipancing dengan iming-iming hadiah, maka mulailah satu dua tangan terangkat.

Hadiah! Manjur benar, pikir saya. Padahal hadiahnya sangat sepele: nilai! Nilai itu terbuat dari angka dan asal kita punya pulpen yang berisi tinta maka berapapun bisa kita tuliskan. Soal nilai ini saya juga pernah nyleneh. Suatu ketika beberapa anak mengerjakan tugas dengan mencontoh hasil kerjaan temannya. Mereka bukannya saya marahi, tetapi justru saya beri nilai 1000. Ya seribu! “Lumayan bisa buat beli dua bakwan!” kata saya. Tujuannya sederhana, agar mereka paham bahwa nilai bukanlah tujuan dalam belajar.

Kembali ke soal hadiah. Sebenarnya bukan hanya siswa yang termotivasi untuk mendapatkan iming-iming hadiah. Mayoritas manusia tidak ada bedanya. Atau mungkin memang sudah menjadi kodrat manusia yang mencintai hadiah? Ya, di dalam al-Qur’an atau hadist, surga digambarkan sebagai sebuah tempat yang sejuk, ada telaga, mengalir di bawahnya sungai-sungai, orang bisa minum sepuasnya. Kita pun maklum karena ayat-ayat al-Qur’an turun di daerah Arab yang tandus. Sesuati dengan situasi dan kondisi turunnya ayat hadiah surga bagi orang-orang yang beriman dengan gambaran tersebut lebih tepat ketimbang hadiah daging unta, kambing, atau kurma, karena orang Arab sudah terbiasa memakannya.

Ya, untuk maqam (tingkatan) orang awam, bolehlah beribadah mengharapkan hadiah surga. Tapi bukankah surga adalah makhluk (ciptaan), sama seperti perempuan, emas, dan sendok. Bagi orang ikhlas, semata hanya membutuhkan keridhaan Tuhan. Ikhlas itu bagaimana, yaitu manakala kita berbuat tanpa pamrih. Tanpa mengharap surga. Wah jadi ingat lagunya Almarhum Crishe: jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkan kau menyembah pada-Nya?

Apakah saya sudah ikhlas? Itu urusan saya dengan Tuhan! Begitu pula dengan amal-amal Anda, saya tidak akan ikut mengukur kadar keikhlasannya. Sebab belum ditemukan alat ukurnya sampai sekarang. Kalau toh bisa, itu hanyalah sebuah prasangka. Dan sebagian prasangka adalah dosa. Haduh, ndalil lagi.

Empat belas abad setelah turunnya Al-Qur’an dan orang-orang meributkan apalah surga itu kekal atau tidak muncullah berita heboh seputar shalat berhadiah. Kabar ini membuat miris, tertawa, tapi tidak jarang yang menyambutnya. Jika ingin ikut, pergilah ke Masjid at-Taqwa di Bengkulu. Bisa sewa kamar kost di sana, siapa tahu pulang-pulang bawa *nova.

Okelah, anggaplah misal, Masjid kemudian ramai karena banyak orang menunaikan shalat dzuhur berjamaah. Tapi bagaimana dengan kualitas shalat mereka? Tuhan lebih menilai kualitas bukan kuantitas. Dan bukankah niat shalat itu lillahi ta’ala, bukan li daiha*su innova. Ops keceplosan.

Itu yang pertama. Kedua, anggaplah program itu sebagai upaya pembiasaan, agar masyarakat rutin shalat jamaah meski nanti program berhadiah itu sudah tidak lagi. Untuk setingkat sekolah atau madrasah pembiasaan shalat berjamaah saya rasa memang perlu, dan biasanya memang ada iming-iming hadiah berupa absen dan sanksi bagi yang tidak mengerjakan, sebagaimana di madrasah saya. Tapi untuk kalangan umum, pembiasaan dengan iming-iming hadiah, behhh, kok wagu amat! Kesannya ini seperti sebuah perlombaan, bukan lomba untuk menjadi orang paling bertakwa, tapi untuk mendapatkan mobil.

Komentar anda? Komentar Anda adalah hadiah buat saya! Hehe..

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »