By Jusuf AN
Tinta Guru - Saya menulis ini pada sebuah malam yang 3 minggu lagi pemilu legislatif dilangsungkan. Di jalan-jalan kita menemukan spanduk, baliho, dan mobil pribadi maupun angkutan kota yang penuh atribut partai politik dan calon anggota dewan. Di warung-warung, kantor, maupun sekolah orang ramai membincangkan soal pemilu, caleg dan janji-janji yang busuk. Tidak ketinggalan juga di forum-forum akademis, dan majlis-majlis pengajian dan rapat-rapat tingkat RT, obrolan pemilu menjadi primadona.
Pesta itu (yang konon punya seluruh rakyat Indonesia) akan digelar tepat pada 9 April 2014. Orang-orang akan berduyun-duyun menuju tempat pemungutan suara (TPS), antri, sebelum kemudian diberi 4 kartu suara yang berisi gambar partai dan nama-nama caleg DPR RI, DPR Propinsi, DPR Daerah, dan DPD.
Saya sendiri belum pernah menyaksikan langsung bagaimana proses pemungutan suara pemilu berlangsung. Dua kali saya mendapat hak untuk memilih, tetapi selalu tidak menyempatkan diri untuk datang ke TPS. Saya tahu, ada jutaan orang lain yang seperti saya, yang oleh MUI dinyatakan telah melakukan perbuatan haram. Tapi mungkin, dari sekian banyak orang yang golput, punya alasan yang berbeda satu dengan lainnya. Saya sendiri tidak memilih bukan karena tidak setuju dengan pemilu. Pemilu adalah sebuah konsekuensi dari negara demokrasi. Jika saya tidak setuju dengan pemilu, maka secara otomatis saya telah durhaka pada negara yang menganut paham demokratis ini. Soal haram atau tidaknya golput akan selalu masuk dalam ranah perdebatan yang tidak akan pernah menemukan kata sepakat. MUI bisa jadi salah, dan keengganan saya tidak menitipkan suara pada dua kali pemilu bisa jadi benar. Bisa jadi, alias belum tentu. Kebenaran dalam sebuah ijtihat selalu bersifat dzann (dugaan).
Mungkin MUI mengeluarkan hukum haram golput sebagai salah satu upaya penyadaran pada masyarakat akan pentingnya menggunakan hak dalam pemilu, mungkin juga bukan. Lalu bagaimana dengan mereka yang ikut mencoblos tetapi dengan asal-asalan? Bagaimana dengan mereka yang mencoblos partai atau caleg tertentu tetapi karena terdorong oleh bayaran? Kenapa bukan itu saja yang dijadikan ladang ijtihad, sehingga kemungkinan lahirnya pemimpin yang cemerlang menjadi lebih besar. Pemimpin yang cemerlang pastilah dipilih bukan oleh uang, tetapi oleh hati nurani.
Oh, hati nurani. Masihkan rakyat negeri ini memiliki? Siapa? Berapa jumlahnya? Jika ada mungkin tidak lebih dari jumlah rambut kepala kita. Benar memang rakyat sudah kehilangan kepercayaan dengan para anggota dewan (yang sudah jadi maupun yang belum), partai politik, presiden, bahkan orang tua sendiri. Tapi bukan berarti rakyat tidak mau dibohongi dan dikentuti. Sebagian besar masyarakat kita masih senang membela dan memilih yang bayar. Tentang siapa yang bayar, bagaimana akhlak dan krediblitiasnya, dan kira-kira akan seperti apa kinerjanya jika terpilih, sama sekali tidak terpikir. Atau sempat terlintas dipikiran, tapi kemudian muncul kata persetan.
Dan begitulah, jutaan cangkem – dalam bahasa politik diistilahkan dengan “suara”— dijual demi urusan pribadi atau golongan yang sifatnya praktis dan pendek. Maka kelak, bantuan, uang dan segala pernak-pernik yang kita terima sebagai mahar politik itu akan menjadi boomerang yang membunuh kita pelan-pelan. Lihat saja!
Berdemokrasi di negara yang masyarakatnya mudah berpikir pendek membuka ruang bagi mereka yang beruang untuk berkuasa. Ya, betapa menjadi caleg, preseden atau bupati sangat tidak cukup hanya bermodal janji. Saya rasa para caleg sadar benar soal ini, dan mereka pasti pula tidak ingin dikatakan sebagai seorang caleg dalam arti cangkeme legi (mulutnya manis), tetapi caleg dalam arti yang sebenarnya, yaitu seorang calon anggota lagislatif, tempat rakyat menitipkan lidah dan harapan akan kemakmuran bangsa. Tapi cara apalagi yang harus diperbuat agar rakyat percaya pada caleg yang jujur—jika ada—dan kemudian memilihnya. Di sinilah perjuangan dan ketangguhan seorang caleg diuji. Butuh lebih dari sekadar baliho, stiker, dan cangkem untuk bisa meyakinkan rakyat, tentu saja.
Tinta Guru - Saya menulis ini pada sebuah malam yang 3 minggu lagi pemilu legislatif dilangsungkan. Di jalan-jalan kita menemukan spanduk, baliho, dan mobil pribadi maupun angkutan kota yang penuh atribut partai politik dan calon anggota dewan. Di warung-warung, kantor, maupun sekolah orang ramai membincangkan soal pemilu, caleg dan janji-janji yang busuk. Tidak ketinggalan juga di forum-forum akademis, dan majlis-majlis pengajian dan rapat-rapat tingkat RT, obrolan pemilu menjadi primadona.
Pesta itu (yang konon punya seluruh rakyat Indonesia) akan digelar tepat pada 9 April 2014. Orang-orang akan berduyun-duyun menuju tempat pemungutan suara (TPS), antri, sebelum kemudian diberi 4 kartu suara yang berisi gambar partai dan nama-nama caleg DPR RI, DPR Propinsi, DPR Daerah, dan DPD.
Saya sendiri belum pernah menyaksikan langsung bagaimana proses pemungutan suara pemilu berlangsung. Dua kali saya mendapat hak untuk memilih, tetapi selalu tidak menyempatkan diri untuk datang ke TPS. Saya tahu, ada jutaan orang lain yang seperti saya, yang oleh MUI dinyatakan telah melakukan perbuatan haram. Tapi mungkin, dari sekian banyak orang yang golput, punya alasan yang berbeda satu dengan lainnya. Saya sendiri tidak memilih bukan karena tidak setuju dengan pemilu. Pemilu adalah sebuah konsekuensi dari negara demokrasi. Jika saya tidak setuju dengan pemilu, maka secara otomatis saya telah durhaka pada negara yang menganut paham demokratis ini. Soal haram atau tidaknya golput akan selalu masuk dalam ranah perdebatan yang tidak akan pernah menemukan kata sepakat. MUI bisa jadi salah, dan keengganan saya tidak menitipkan suara pada dua kali pemilu bisa jadi benar. Bisa jadi, alias belum tentu. Kebenaran dalam sebuah ijtihat selalu bersifat dzann (dugaan).
Mungkin MUI mengeluarkan hukum haram golput sebagai salah satu upaya penyadaran pada masyarakat akan pentingnya menggunakan hak dalam pemilu, mungkin juga bukan. Lalu bagaimana dengan mereka yang ikut mencoblos tetapi dengan asal-asalan? Bagaimana dengan mereka yang mencoblos partai atau caleg tertentu tetapi karena terdorong oleh bayaran? Kenapa bukan itu saja yang dijadikan ladang ijtihad, sehingga kemungkinan lahirnya pemimpin yang cemerlang menjadi lebih besar. Pemimpin yang cemerlang pastilah dipilih bukan oleh uang, tetapi oleh hati nurani.
Oh, hati nurani. Masihkan rakyat negeri ini memiliki? Siapa? Berapa jumlahnya? Jika ada mungkin tidak lebih dari jumlah rambut kepala kita. Benar memang rakyat sudah kehilangan kepercayaan dengan para anggota dewan (yang sudah jadi maupun yang belum), partai politik, presiden, bahkan orang tua sendiri. Tapi bukan berarti rakyat tidak mau dibohongi dan dikentuti. Sebagian besar masyarakat kita masih senang membela dan memilih yang bayar. Tentang siapa yang bayar, bagaimana akhlak dan krediblitiasnya, dan kira-kira akan seperti apa kinerjanya jika terpilih, sama sekali tidak terpikir. Atau sempat terlintas dipikiran, tapi kemudian muncul kata persetan.
Dan begitulah, jutaan cangkem – dalam bahasa politik diistilahkan dengan “suara”— dijual demi urusan pribadi atau golongan yang sifatnya praktis dan pendek. Maka kelak, bantuan, uang dan segala pernak-pernik yang kita terima sebagai mahar politik itu akan menjadi boomerang yang membunuh kita pelan-pelan. Lihat saja!
Berdemokrasi di negara yang masyarakatnya mudah berpikir pendek membuka ruang bagi mereka yang beruang untuk berkuasa. Ya, betapa menjadi caleg, preseden atau bupati sangat tidak cukup hanya bermodal janji. Saya rasa para caleg sadar benar soal ini, dan mereka pasti pula tidak ingin dikatakan sebagai seorang caleg dalam arti cangkeme legi (mulutnya manis), tetapi caleg dalam arti yang sebenarnya, yaitu seorang calon anggota lagislatif, tempat rakyat menitipkan lidah dan harapan akan kemakmuran bangsa. Tapi cara apalagi yang harus diperbuat agar rakyat percaya pada caleg yang jujur—jika ada—dan kemudian memilihnya. Di sinilah perjuangan dan ketangguhan seorang caleg diuji. Butuh lebih dari sekadar baliho, stiker, dan cangkem untuk bisa meyakinkan rakyat, tentu saja.
2 comments
commentsIjin share ya, bung?!!
Replyoke. terimakasih
Reply