Ada satu pertanyaan yang sangat mengusik saya ketika mengikuti diskusi dengan pembicara Bukik Setiawan di acara Kopdar Blogger Guru Era Baru (Guraru) di Acer Lounge, Jakarta. Bagaimana anak belajar di masa depan?
Menjawab pertanyaan itu sangatlah tidak mudah. Tapi tentu kita bisa menduga-duga, meski dugaan kita bisa jadi tidak ilmiah. Barangkali kelak, dua puluh tahun lagi misalnya, tidak ada lagi gedung sekolah. Anak-anak tidak perlu datang ke sekolah untuk belajar. Mereka cukup menghidupkan ponsel atau iPad, mengikuti pembelajaran dari rumah. Guru dan siswa tidak perlu bertemu tapi mereka bisa saling berkomunikasi. Selain terbebas dari kemacetan, orang tua mereka akan terhindar dari was-was kalau-kalau anaknya ikut tawuran.
Sebagian dari Anda mungkin lebih ekstrem lagi, menebak bahwa pada masa yang akan datang tidak ada lagi orang bernama guru. Anak-anak belajar sendiri, guru-guru mereka adalah buku elektronik, tutorial-tutorial digital, dan search engine.
Apa yang kita bayangkan tentang bagaimana anak belajar di masa depan tidaklah lahir dari ruang kosong, saya percaya itu. Hari ini kita menyaksikan perkembangan teknologi yang sangat menakjubkan. Penemuan-penemuan baru, yang dulu dianggap mustahil, hanya bisa terjadi di film fiksi sains seperti Iron Man atau pun The Matrix, kini benar-benar nyata. Tapi apakah benar bahwa kelak tidak dibutuhkan lagi gedung sekolah dan guru berwujud manusia? Anda boleh menduga-duga. Dan bisa jadi dugaan Anda sama dengan saya, bahwa guru dan sekolah akan tetap ada, dan harus tetap ada. Tapi tentu, proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah, dan peran guru di masa depan akan sangat berbeda dengan apa yang terjadi sekarang.
Kita tahu, setelah melalui era agraris dan industri, kini kita sudah mulai beranjak menuju jaman digital. Sebuah jaman di mana hampir setiap sisi kehidupan kita tidak bisa dilepaskan dengan perangkat-perangkat digital atau elektronik. Meskipun sumber daya alam semakin terbatas, era digital memungkinkan kita mendapatkan pengetahuan yang berlimpah ruah dengan mudah dan cepat. Interaksi antar manusia bisa dilakukan di mana saja, kapan saja, tanpa tersekat ruang dan waktu. Hal itu (semestinya) disadari benar oleh para praktisi dan punggawa pendidikan, sehingga kebijakan dan kinerjanya dapat membumi dan sesuai jaman.
Bagaimanapun kita harus ingat bahwa kemajuan teknologi disadari atau tidak telah menggeser orientasi belajar, dari yang tadinya outside-guided menjadi self-guided. Bukan berarti guru tidak dibutuhkan lagi. Guru tetap harus ada, bukan hanya untuk memberikan pengetahuan, tetapi lebih pada mendampingi dan membimbing siswa agar mampu melakukan kreasi dan eksplorasi sosial budaya yang lebih kaya. Peran guru sekarang tidak lagi hanya mengurusi soal kognitif dan afektif siswa, melainkan lebih pada bagaimana melibatkan siswa untuk bisa meningkatkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kemampuan pemecahan masalah, keterampilan berkomunikasi, dan mencapai kebiasaan (habit) berpikir yang baik.
Perubahan paradigma belajar tersebut mestilah direspon dengan langkah-langkah konkrit, baik oleh guru, siswa, penyelenggara pendidikan, maupun pemerintah. Dengan bantuan media elektronik (khususnya internet) proses pembelajaran, tidak lagi terpaku di ruang kelas, tetapi bisa dilakukan di mana dan kapan saja.
Berdasarkan paparan hasil penelitian Merah Cipta Media bertajuk Indonesia Digital Lanscape 2013, diketahui bahwa pengguna internet di Indonesia tahun 2013 sudah mencapai 72, 7 juta, dan diperkirakan pada tahun 2014 meningkat menjadi 83, 6 juta dan pada tahun 2015 menjadi 93, 4 juta. (Anda bisa baca laporan dalam bentuk slide lengkapnya di sini). Dari jumlah tersebut 29, 2 persen atau 21,2 jutanya adalah mereka yang digolongkan sebagai digital native, atau generasi digital yang lahir setelah tahun 1990.
Angka-angka tersebut sengaja saya tunjukkan semata-mata untuk meyakinkan, bahwa jaman sudah benar-benar berubah, teknologi pendidikan sudah semakin canggih dan bisa dinikmati banyak orang, dan karenanya proses pembelajaran juga harus diubah, jika tidak ingin dikatakan ketinggalan jaman dan tidak kontekstual.
Membumikan E-Learning
Beberapa negara, seperti Amerika, bahkan juga India, sadar benar akan perubahan pola dan paradigma belajar yang disebabkan perkembangan teknologi. Kesadaran itu tidak didiamkan atau hanya dijadikan bahan curhat dalam dalam pidato-pidato kepresidenan. Di Amerika misalnya, telah ditetapkan langkah dan strategi nasional yang jelas menyangkut pemanfaatan teknologi pendidikan, khususnya mengenai akses para siswa dan guru ke internet. Lebih dari 15 tahun sebelum hari ini (2013), di Amerika sudah dirintis sebuah sekolah virtual bernama Virtual High School pada tahun 1997.
Bagaimana dengan Indonesia? Memang e-learning sudah mulai dibumikan di beberapa sekolah, universitas, maupun oleh guru dan dosen. Produk-produk e-learning berupa web blog, CD dan aplikasi pembelajaran, sudah banyak beredar dan digunakan oleh guru maupun siswa. Tetapi pemerintah tidak pernah mengeluarkan kebijakan yang jelas dan tegas menyangkut pemanfaatan teknologi pendidikan. Akibatnya jelas, negara kita akan semakin tertinggal.
"E-learning, apabila didesain dengan baik, akan dapat menjawab sebagian besar dari hambatan. Dan dengan itu, pemerataan pendidikan dapat kita percepat," kata Wakil Presiden Boediono sebagaimana dilansir Kompas.Com. Lalu apa lagi? Kenapa harus menunda-nunda langkah untuk maju? Soal biaya yang cukup besar untuk membumikan E-Learning saya kira tidak ada persoalan. Tidak ada ruginya mengeluarkan banyak anggaran untuk investasi dalam bidang pendidikan. Kelak, semuanya akan kembali lagi untuk negeri ini.
Era Digital dan Dihilangkannya Mapel TIK di Kurikulum 2013
Bagaimana anak bangsa akan memiliki bersuka cita menyambut era e-learning jika mapel TIK ternyata dihapus dalam Kurikulum 2013? Ini pertanyaan penting yang banyak dilontarkan oleh banyak pihak. Ya, sebagaimana kita ketahui E-Learning erat kaitannya dengan TIK dan Mata Pelajaran TIK sudah meberikan dadah pada siswa-siswa kita.
Wacana pengintegrasian TIK dalam setiap mata pelajaran memang sudah lama terdengar. Dan kita akan lihat nanti, bagaimana TIK dapat benar-benar melebur dan menyatu dalam setiap mapel. Sebab, kita tahu banyak sekali sekolah memiliki sarana dan prasarana TIK yang memadai. Kalau harus pengintegrasian TIK maka menjadi PR bagi pemerintah untuk mengupayakan sarana dan prasarana TIK yang memadai di setiap sekolah. Bagaimana pun, nasi sudah menjadi bubur. Kita mesti siap menyantap bubur ini (K13), dan pemerintah mesti siap pula dengan sekian konsekuensi yang muncul dari diberlakukannya K13.
Bukankah begitu? Baca juga: Keunggulan Kurikulum 2013: Konsep Pendekatan Scientific
sumber gambar: gudanginformasi.com