Menyelami Pesantren: Elemen-elemen dan Ciri Khas Pesanren

ciri khas pesantren
Tradisi Pesanren - Salah satu dosen saya dan sekaligus mantan Rektor Universitas Sains Al-Qur'an Wonosobo adalah Zamakhsyari Dhofier. Beliau sudah sepuh, tetapi dedikasi beliau dalam memajukan pendidikan, khususnya pendidikan Islam, tak pernah padam. Ada salah satu karya beliau yang sangat terkenal dan menjadi buku babon dalam studi kepesantrenan, yakni Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Buku setebal 307 halaman itu pertama kali diterbitkan tahun 1978 dan terus dicetak ulang hingga sekarang.

Penjelasan dan pemikiran Pak Zam (demikian beliau sering disapa) tentang pesantren memang begitu mendalam dan langka. Membaca buku Tradisi Pesantren, bagi saya ibarat menemukan oase yang mengobati dahaga.

Pada postingan kali ini saya bermaksud untuk membuat ringkasan buku tradisi pesantren. Namun tidak semuanya saya ringkas, hanya pada bab 4 yang berisi tentang Elemen-elemen Pesantren. Semoga ringasan ini dapat memberikan suntikan bagi kita untuk menyelami pesantren lebih dalam lagi.

*****

Ringkasan Buku Tradisi Pesantren


Pesantren-pesantren di Indonesia memiliki ciri khas yang melekat dan tidak bisa dipisahkan. Paling tidak ada lima elemen dasar dari sebuah pesantren, yakni pondok, masjid, santri, pengajian kitab klasik, dan kyai. Berikut adalah penjabarannya:

Pondok

Pondok berasal dari bahasa arab, yakni funduk, yang artinya penginapan. Secara istilah pondok adalah asrama di mana para siswa yang menempuh pendidikan di sebuah pesantren tinggal. Bangunan pondok biasanya tidak berjauahan dengan masjid dan rumah kyai, dan biasanya dikelilingi pembatas atau tembok yang memagarinya.

Adapun pembangunan pondok di masa sekarang tidak hanya diusahakan oleh kyai, melainkan merupakan hasil kerja sama dengan masyarakat. Banyak pula pondok pesantren yang statusnya adalah wakaf. Meski begitu, para kyai memiliki status yang mutlak untuk memimpin mengembangkan pesantrennya.

Ada dua alasan utama dalam hal perubahan sistem pemilikian pesantren ini. pertama, dahulu pesantren tidak memerlukan pembiayaan yang besar. Kedua, baik kyainya, mapun tenaga pendidik yang membantunya, merupakan bagian dari kelompok orang-orang yang mampu di pedesaan, sehingga mampu membiayai penyelenggaraan kehidupan pesantren.

Pembangunan pesantren juga sangat ditunjang oleh peran kyai. Perlu diingat bahwa kyai adalah orang yang memiliki prestise soasial yang amat tinggi, yang dengan itu kyai dapat dengan mudah memperoleh bantuan/kebutuhan materi yang diperlukan. Meski demikian, kyai tetap dapat hidup sederhana di tengah materi yang mengelilinginya.

Kembali ke pondok. Bahwa pondok merupakan ciri khas pesantren yang membedakan dengan sistem pendidikan tradisional di masjid-masjid yang pernah berkembang di kebanyakan wilayah Islam di negera-negara lain. Di Afganistan misalnya, para murid dan guru yang belum menikah tinggal di masjid. pada sisi masjid yang biasanya dibuat satu atau dua kamar yang disebut hujrah untuk tempat tinggal mereka. Ada pula yang tinggal di langgar-langgar di sekitar masjid, di mana mereka diberi tugas untuk menjadi imam shalat wajib. Penduduk setempat menanggung biaya makan, juga ditariki sedekah saat musim panen tiba.

Besar dan kecilnya pondok itu sendiri tergantung jumlah santrinya. Bangunan pondok itu sendiri seringkali ditanggung oleh santri-santrinya. Dahulu, pada tahun 1978, di Pondok pesantren Blok Agung Banyuwangi para santri ditarik uang pembayaran sebesar Rp. 6000 per tahun. Itu jumlah yang besar pada waktu itu. Selain itu, para santri juga diwajibkan menyediakan sepotong kayu banunan, satu meter kubik pasir, dan membuat batu bata sejumlah 200 dalam setahun. Bayangkan jika ada 1000 orang santri, maka material-material bangunan akan sangat melimpah.

Beda lagi dengan di pesantren Tebuireng Jombang, dimana santri kenai potongan 5% dari kiriman weselnya dan diwajibkan membayar Rp. 600 per bulan. Begitulah, dengan sistem itu maka santri yang kaya akan memberikan sumbangan lebih banyak ketimbang santri miskin.

Ada tiga alasan kenapa pesanteren harus menyedikan asrama bagi santri-santrinya:

1.       Banyak santri yang datang dari tempat jauh sehingga mesti menetap di dekat kediaman kyai.
2.       Hampir semua pesantren terletak di desa-desa, yang tidak ada penginapan atau kos-kosan. Dengan demikian perlu adanya asrama khusus.
3.       Timbal balik santri dan kyai. Santri menganggap kyai sebagai Bapak, dan Kyai menganggap santri sebagai anak yang senantiasa harus dilindungi.

Di negara-negara Muslim yang lain, para ulama kebanyakan merupakan penduduk kota sehingga para murid yang datang dari jauh akan menyewa tempat tinggal di sekitar rumah gurunya. Sementara pengajaran sendiri terjadi di masjid-masjid.

Memang, tinggal di pondok pesantren tidak senyaman tinggal di penginapan atau hotel. Di Tebuireng misalnya, para santri harus puas tinggal bersama dengan sepuluh sampai limabelas santri dalam satu kamar sempit. Sehingga banyak santri yang memutuskan tidur di Masjid. Setiap malam, di Tebuireng ditemukan sekitar 200 santri yang menginap di masjid. Dan yang menarik, Pesantren sendiri tidak menyedikan tempat khusus bagi santri-santri senior yang biasanya merangkap sebagai ustad.

Demikianlah. dengan serba keterbatasannya pondok menjadi elemen penting bagi pesantren. Anak-anak muda yang datang dari jauh tidak akan kebingunan untuk mencari tempat tinggal, karena pihak pesantren akan langsung memberikannya kamar. Berbeda dengan pendatang baru yang datang ke kota.

Masjid

Kedudukan masjid sebagai satu elemen pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Sejak zaman Nabi, Masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam. Di mana pun kaum Muslim berada, mereka selalu menggunakan Masjid sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktivitas administrasi dan kultural. Hal ini telah berlangsung selama 13 abad.

Pada zaman sekarang pun, kita masih menemui para ulama yang menjadikan masjid seabgai tempat mengajar, meski mulai jarang. Di sinilah lembaga pesantren terus memelihara tradisi ini, menggunakan masjid sebagai tempat yang paling tepat untuk menanamkan disiplin para murid dalam mengerjakan kewajiban sembayang lima waktu, pengajian, dan kewajiban agama lainnya.

Seorang kyai yang mengembangkan sebuah pesantren biasanya yang pertama-tama dibangun adalah masjid di dekat rumahnya. Langkah ini diambil apabila seorang kyai dianggap oleh gurunya telah mumpuni untuk memimpin sebauh pesantren.

Pengajian Kitab Islam Klasik

Pengajaran kitab Islam klasik, kitab karangan-karangan ulama syafi’iyah, merupakan satu-satnya pengajaran formal di pesantren. Tujuannya tidak lain adalah mendidik para calon-calon ulama, kecuali bagi para santri yang tinggal hanya satu atau dua tahun. kalau santri tinggal dalam waktu yang pendek, atau santri sementara yang tinggal hanya pada bulan ramadhan, pengajaran kitab-kitab klasik dapat memberikan pendalaman perasaan keagamaan

Santri yang bercita-cita menjadi ulama sudah mulai mengembangkan kemampuannya dalam bahasa Arab sejak berada di kampungnya, ketika belajar dengan guru ngajinya. Lalu dengan arahan gurunya, dia akan dibimbing untuk meneruskan pelajaran di pesantren yang dirasa cocok oleh gurunya.

Perlu diingat, pesantren tidak bisa disamakana dengan sekolah pengajaran pembacaan al-Qur’an. Karena kebanyakan santri belajar al-Qur’an sudah sejak dari desanya masing-masing, meski ada pula pesantren yang tetap mengajarkan hal tersebut. Namun, banyak pula pesantren bahkan menjadikan pembacaan al-Qur’an sebagai syarat untuk bisa diterima sebagai santri.

Kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren setidaknya dapat digolongkan menjadi 8 kelompok jenis pengetahuan. 1. Nahwu dan shorof; 2. Fiqh; 3. Usul fiqh; 4. Hadist; 5. Tafsir; 6. Tauhid;7. Tasawud dan etika, dan;8. Cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Kesemuanya itu dapat dikategorikan menjadi kitab dasar, kitab menengah dan kitab tingkat tinggi.

Kitab yang diajarkan di pesantren di seluruh Indonesia pada umumnya sama demikian pula sistem pengajarannya, yakni soroga dan bandongan. Kesamaan ini menyebabkan homogenitas pandangan hidup, kultural dan praktik-praktik keagamaan di kalangan kyai dan santri di seluruh Nusantara.

Meski sitem pengajrannya sangat tradisional, tetapi jangan dikira bahwa Kyai hanya menerjemahkan kitab-kitab Islam dalam bahasa Jawa. Kyai tidak hanya membicarakan bentuk (form), tetapi juga membahas isi (content) ajaran yang tertuang dalam kitab-kitab tersebut. Dalam arti lain, kyai juga memberikan pandangan-pandangan (interpretasi) pribadi baik mengenai isi maupun bahasa pada teks. Maka dari itu kyai dituntut menguasai tata bahsa arab dan cabang-cabang pengetahuan agama Islam yang lain.

Santri

Menurut pengertian yang dipakai dalam lingkungan orang-orang pesantren, seorang alim baru disebut kyai manakala memiliki pesantren dan santri yang tinggal untuk mempelajari kitab-kitab klasik. Maka, santri merupakan elemen yang penting dari sebuah pesantren. Santri sendiri ada dua macam, yakni santri mukim dan santri kalong.

Santri mukim adalah santri yang menetap di asrama, yang biasanya datang dari jauh. Termasuk bagian dari santri mukim adalah putra-putra kyai yang belajar di luar pondok keluarganya. Santri kalong adalah santri yang tidak tinggal di asrama tetapi turut mengikuti pendidikan yang berjalan di pesantren. Biasanya santri kalong berasal dari sekitar pesantren.

Ada beberapa alasan santri memilih menetap di pesantren:

1.       Ia ingin mempelajari kitab-kitab secara lebih mendalam di bawah bimbingan kyai.

2.       Ia ingin memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian mapun hubungan dengan pesantren-pesantren terkenal.

3.       Ia ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa disibukkan kewaiban sehari-hari di rumah keluarganya.

Di masa silam, seorang santri yang menetap di pesantren jauh dan masyhur merupakan satu keistimewaan. Ia diharapkan menjadi seorang alim dan memimpi masyarakat. Itulah sebabnya hanya calon yang punya kesungguhan yang kemudian diberikan kesempatan untuk menimba ilmu di pesantren yang mashyur dan jauh. Dan seorang calon santri meski menunjukkan ambisinya di depan guru ngajinya di kampung.

Perlu diingat, bahwa biaya pesantren dulu mahal, hingga biasanya tidak ditanggung oleh orangtuanya sendiri, tetapi juga ditopang oleh saudara-saudaranya yang lain. Kiai Harus, misalnya, dulu tiap bulan menerima kiriman sebanyak 35 gulden, yang pada tahun 1920 jumlah itu sangatlah besar. Maka, hanya keluarga kaya yang dulu dapat mengenyang pendidikan di pesantren yang mashur dan jauh. Pada tahun 1930, di Pati, seorang santri yang akan berangkat ke pesantren dilepas dengan sebuah upacara yang meriah yang diharidi oleh hampir seluruh penduduk kampung.

Pesantren kecil pada dasarnya menyediakan pendidikan yang murah, tanpa harus membayar uang pondok, dan mereka kemudian diberi tanggung jawab untuk membantu mengerjakan sawah dan kebun penduduk. Tetapi, memang, mayoritas santri pada zaman dulu berasal dari golongan kaya, karena keluarga miskin harus membantu orang tuanya bekerja di sawah. Namun demikian pengelompokkan santri dan abangan tidaklah tepat dengan berpatokan bahwa kaum santri adalah orang kaya dan kaum abangan adalah orang miskin, sebab tidak semua keluarga mampu mengirimkan anak-anaknya ke pesantren.

Santri sendiri bukan hanya dari kaum adam. Sejak tahun 1910-an para kyai sudah menyediakan komplek pesantren untuk murid-murid wanita. Ini membuktikan bahwa kesadaran para kyai dan kaum wanita Muslimin tentang perlunya pendidikan bai kaum wanita Islam. Bahkan, jumlah santriwati biasanya lebih besar dari jumlah santri putra, rata-rata sekitar 60 persen. Sebagaimana santri putra, santriwati berasal dari daerah-daerah yang jauh. Banyaknya santri-santri putri ini bisa jadi disebabkan oleh para orang tua yang ingin melestarikan budaya santri. Mereka mengirim anak-anak perempuan mereka ke pesantren agar memiiki ikatan yang kuat dengan budaya pesantren.

Kyai

Kyai merupakan elemen paling esensial dari sistem lembaga pendidikan pesantren. Tubuh kembangnya pesantren sangat ditentukan oleh kyai, baik kepriadian maupun keilmuwannya.

Perkataan Kyai sendiri dipakai untuk tiga jenis gelar yang salng berbeda:

1.       Sebagai gelar bagi barang-barang keramat; misal, Kyai Garuda Kencana, kereta emas di keraton Yogyakarta.
2.       Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
3.       Gelar untuk anggota masyarakat kepada seorang ahli agama Islam ang memimpin pesantren.

Meski begitu, zaman sekarang, banyak juga kyai yang tidak memiliki pesantren. Gelar kyai menunjuk para ulama dari kelompok Islam tradisional atau ulama yang memiliki pengaruh di masyarakat juga digelari kyai.

Kyai merupakan sumber mutlak kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam lingkungan kehidupan di pesantren. Tidak ada santri atau orang lain yang bisa melawan kekuasaan kyai, kecuali kyai yang lebih besar. Kyai juga dianggap memiliki suatu posisi atau kedudukan yang menonjol baik tingkat lokal mapun nasional. Dengan demikian ia punya engaruh yang kuat dalam kehidupan sosial dan politik, dan bukan hanya kehidupan keagamaan.

Kedudukan tersebut telah melekat pada diri kyai sejak Islam masuk ke Indonesia. Di bawah pemerintah kolonial belanda, para sultan lebih menaruh perhatiannya pada masalah-masalah politik kasultanan, dan membiarkan masalah-masalah Islam ditangani oleh Kyai. Hal tersebut, secara tidak langsung, mengakibatkan terjadinya pemisahan antara kekuaaan politik dan agama.

Para kyai yang memimpin pesantren besar telah berhasil memperluas pengaruh meraeka di seluruh wilayah negara, dan sebagai hasilnya mereka diterima menjadi bagian dari elit nasional. Bahkan, sejak Indonesia merdeka, banyak kyai yang diangkat menjadi menteri, anggota parlemen, duta besar dan pejabat-pejabat tingkat pemerintah.

Antar pesantren besar dan pesantren kecil saling bergabntung dan saling membutuhkan. Sebagai “pesantren teladan” pesantren besar memproduksi para kyai yang memimpin pesantren-pesantren kecil, dan pesantren-pesantren kecil menyediakan santri-santri yang ingin meneruskan belajarnya di pesantren-pesantren besar.

Kyai yang memimpin pesantren menengah merupakan bagian dari elit tingkat propinsi; kyai kecil bagian dari elit kabupaten.

Memiliki banyak santri tidak hanya menambah pengaruh dan status kepemimpinan kyai; tetapi juga dapat menambah kekayaan. Sokongan diterima tahunan oleh para kyai, yang meskipun tidak banyak, tetapi karena diterima nyaris serentak sehingga jumlahnya cukup besar.

Fenomena tersebut erat hubungannya dengan anggapan para kyai bahwa suatu pesantren pada dasarnya sama dengan sebuah kerajaan kecil di mana kyai adalah rajanya. Raja dianggap sebagai pancaran mikrokosmos, atau negara. Dan dalam pikiran orang Indonesia kosmos dibagi menjadi dua, yaitu, mikrokosmos (dunia manusia, dunai nyata), dan makrokosmos (alam gaib). Nah, rja dianggap sebagai penghubung antara kedua bentuk kosmos tersebut.

Sejak Islam menjadi agama resmi orang Indonesia, para penguasa harus berkompetisi dengan para kyai dalam bentuk hirarki kekuasaan yang sangat rumit, sebab para kyai telah memperoleh pengaruh politik yang sangat menentukan.

Untuk menjadi seorang kyai, seorang calon harus melalui jalan yang bertahap. Biasanya kyai adalah putra kyai. Setelah belajar lama diberbagai pesantren ia kemudian dibimbing untuk mendirikan pesantren sendri. Kyai pembimbing turut serta memberikan dukungan dengan memberikan keistimewaan berupakan pendidikan khusus di akhir-akhir pendidikannya di pesantren, termasuk juga mencarikan jodoh (yang biasanya dari putri orang kaya).

K.H Hasyim Ashari misalnya, telah mencetak banyak kyai, di antaranya Kyai Manaf Abdul Karim, pendiri Pesantren Lirboyo, Kediri; KH Jazuli, penndiri Pesantren Ploso Kediri, dan Kyai Zuber, pendiri Pesantren Reksosari di Salatiga. Menjelang pendidikan akhir mereka, mereka ditunjuk sebagai guru senior dan anggota kelompok musyawarah yang juga diberi tanggung jawab untuk menempatkan santri baru, menemui orang tua santri. Setelah Kyai Hasyim menganggap mereka sudah matang untuk memimpin pesantren, maka mereka dinikahkan dengan gadis-gadis desa. Pada masa awal permulaan mereka menjadi kyai baru, Kyai Hasyim membekali mereka dengan sejumlah murid dan ustad muda Tebuireng, yang merupakan modal pertama bagi mereka untuk mengembangan pesantren.

Begitulah. Masyarakat biasanya mengharapkan seorang kyai dapat menyelesaikan persoalan-persoalan keagamaan praktis. Semakin tinggi kitab-kitab yang diajarkan kyai maka ia akan semakin dikagumi. Kyai juga diharapkan untuk senantiasa rendah hati, menghormati semua orang, banyak prihatin dan penguh pengabdian kepada Tuhan dan tidak berhenti memberikan kepemimpinan keagamaan.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »