Pesona Alam Pucak Sikunir
Adzan subuh belum menggema, tapi kami harus segera pamitan dari rumah Kepala Desa Sikunang, Kecamaatan Kejajar, Wonosobo, tempat kami numpang menginap. Di luar rumah udara begitu dingin, sangat dingin, seakan-akan kampung ini seperti kulkas raksasa.Mobil sewaan kami yang berisi 9 orang mulai menembus gelap, gelap yang berkabut, melewati perkebunan kentang, rumah-rumah penduduk yang sebagian bergaya Spanyol, dan beberapa home stay dengan lampu-lampu yang terang. Di homestay itulah para wisatawan yang hendak berburu sunrise di puncak Sikunir biasanya menginap. Tidak seperti kami, menginap di rumah Kepala Desa. Yeah, mau bagaimana lagi, ongkos perjalanan kami tidak mendukung. Dan untunglah salah seorang teman segera memberikan solusi. “Menginap di rumah Kepala Desa Sikunang saja. Selain gratis, kita juga bisa memperoleh informasi lebih banyak tentang Purwaceng dan Terong Belanda.” Ya, tujuan kami ke Sikunir tidak semata berburu sunrise. Lebih dari itu, kami ingin lebih banyak tahu tentang segala sesuatu menyangkut Dieng, termasuk soal dua minuman terkenal itu, Purwaceng dan Terong Belanda.
Ibu Uswatun, Ibu Kepala Desa sekaligus ketua Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) menceritakan bahwa dulu tanaman Purwaceng atau Pimpinella Alpina itu tumbuh liar, meski konon daun Purwaceng sudah digunakan sebagai ramuan sejak zaman kerajaan Hindu. Berkat keuletan Ibu-ibu Desa Sikunang, Purwaceng sudah dikemas praktis untuk bisa langsung diseduh karena sudah dicampur jahe, gula palem, krimer, pinang, ginseng, dan kopi. Minuman ini memiliki banyak khasiat, antara lain menambah stamina, menghangatkan tubuh, mengobati pegal linu, dan banyak lagi. Selain Purwaceng, di rumah ibu Uswatun juga diproduksi manisan Carica dan sirup yang dibuat dari Terong Belanda yang rasanya manis campur asam.
Setelah melakukan perjalanan sekitar 30 menit kami kemudian tiba di sebuah tempat mirip terminal yang tidak lain merupakan tempat parkir wisatawan Bukit Sikunir. Tempat yang cukup luas itu telah dipenuhi dengan mobil pribadi, sepeda motor, dan orang-orang berjaket dan berkalung sarung. Adzan subuh sayup-sayup terdengar dan niat kami untuk segera mendaki harus kami tunda. Sayang, di pangkalan itu hanya ada satu tempat shalat yang begitu sempit dan tempat wudhu yang gelap, sehingga kurang memberikan kenyamanan bagi wisatawan muslim untuk beribadah.
Bukit Sikunir sendiri belum lama dikenal sebagai obyek wisata di kawasan Dieng Pleteau. Dulu, orang-orang mengenal Dieng hanya sebatas Telaga Warna, Candi Arjuna, dan Kawah Sikedang. “Sejak 2 tahun lalu, tempat ini mulai ramai didatangi wisatawan,” terang seorang penjual oleh-oleh dan makanan khas Dieng yang notabene warga asli sekitar. Dari pedagang itu pula saya mendapatkan informasi yang unik. Berbeda dengan warung-warung di obyek wisata lainnya, yang buka pada pagi hari dan tutup pada sore atau malam hari. Di lembah Sikunir, warung-warung buka pada tengah malam dan tutup pada siang hari. Sebab pada waktu itulah para wisatawan dari dalam dan luar negeri, ramai berkunjung.
Setelah membayar Rp. 4000,- per orang kepada pemuda yang berjaga, kami mulai mendaki. Melintasi jalan berbatu, di bawah langit yang remang kami berjalan hati-hati. Sebab tak ada seorang pun di antara kami yang membawa senter atau alat penerang lain.
Kami berjalan kaki melalui rute yang menanjak dan berkelok-kelok selama sekitar 30 menit, akhirnya kami tiba di puncak Bukit Sikunir. Matahari masih belum tampak, tetapi cahayanya sudah menciptakan garis oranye dengan selingan kuning yang membentang dari ujung utara sampai selatan. Deretan gunung-gunung juga bisa dilihat dari puncak bukit ini. Gunung Sindoro yang paling jelas, lalu Slamet, dan gunung-gunung lain.
Pesona Golden Sunrise
Berada di puncak Sikunir seakan-akan berada di atas awan. Kita bisa menyaksikan awan yang berada lebih rendah dari temat kita berpijak. Melihat lautan awan bagi para pendaki gunung, tentu sudah menjadi hal yang biasa. Tetapi untuk mendaki gunung yang tinggi dengan berjalan kaki dari lembah tidak banyak orang memiliki nyali dan tenaga. Bukit Sikunir barangkali bisa menjadi satu alternatif bagi para pecinta alam yang sudah tua, atau yang tidak punya cukup nyali untuk mendaki gunung yang tinggi. Sebab berada di puncak Sikunir sama saja berada di ketinggian 2.300 meter di atas permukaan laut (Dapl), lebih tinggi dari puncak Sindoro yang 3.150 Dapl. Hanya dengan berjalan kaki sekitar 500 meter dengan rute yang relatif mudah membuat banyak orang tua yang nekad pula membawa anak-anaknya yang masih balita sampai puncak Sikunir. Sebenarnya hal itu kurang baik, karena udara di dataran yang tinggi tipis dan bisa membahayakan anak-anak yang tidak terbiasa.
Sekitar jam 6.30 matahari mulai mengintip. Puluhan kamera, baik kamera hand phone maupun kamera photopgrafi profesional tidak ada yang melawatkan munculnya golden sunrise itu. Di sela-sela merenungi pesona pegunungan dan kemilau matahari yang baru menetas dari rahim langit timur, kita juga bisa memesan kentang goreng, kopi purwaceng, atau mie rebus di sebuah warung tanpa tenda di puncak Sikunir ini.
Bertemu Tamit, Pahlawan Berkalung Bersarung
Setelah cukup puas berada di puncak, kami memutuskan untuk turun. Pada saat itulah sebagian dari kami bertemu dengan Tamit. Tamit Ta’adi, lelaki berkalung sarung itu sehari-hari memunguti sampah-sampah di puncak dan di sepanjang jalan menuju Bukit Sikunir. Ironis ketika mendengar pengakuan dari Tamit, bahwa tugasnya yang dimulai pukul 6.30 itu hanya mendapatkan upah Rp. 100.000,- setiap bulan. Upah yang didapat dari Pokdarwis itu tentu tidak sebanding dengan jasanya dalam menjaga kebersihan dan kesetarian Sikunir. Maka, tidak berlebihan jika menyebut sebagai seorang pahlawan lingkungan.
Pada akhirnya, kami tiba di lembah setelah sebelumnya dikejutkan dengan sebuah telaga yang tampak dari kejauhan. Kami baru tahu jika ternyata telaga itu, Cebong namanya, berada persis di sebelah tempat parkir. Di telaga itu ada perahu-perahu motor yang siap membawa wisatawan mengelingi telaga. Tetapi saya diam saja di tepian, sudah cukup senang memandangi wajah teman-teman seperjalanan yang memancarkan kepuasan. | Jusuf AN