Pendidikan Mahal dan Ironi Kesuksesan

Seorang remaja gelisah sembari memandangi baju putih penuh tanda tangan dan pilokan yang tergantung di pojok kamar. Sementara di kamar lain di rumah yang sama, sang Ibu melepas kalung dan gelangnya untuk digadaikan: “Tak apa. Yang penting, anakku jadi sarjana!” Potret tersebut kerap kita temui, semacam musim atau ritual tahunan setiap Juni sampai Juli.

Hem, jangankan biaya masuk Perguruan Tinggi, menyekolahkan anak ke TK saja butuh biaya jutaan. Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kabar sekolah gratis yang kerap digembor-gemborkan itu hanyalah buih sabun, atau bahkan semacam ilusi para punggawa negeri ini saja.

Tapi anehnya, meskipun sekolah mahal, toh tetap diserbu juga. Demi apa? Jawabannya beragam. Kelompok pertama menganggap sekolah adalah bagian dari gengsi, demi menuruti tuntutan pergaulan. Kelompok kedua berkilah masa depan ditentukan oleh jenjang pendidikan dan ijazah. Sementara kelompok ketiga beralasan, ngelmu iku angel nanging tinemu (ilmu itu walaupun sukar namun akhirnya ditemukan juga), jadi utang tak apalah, yang penting bisa ‘jadi orang’.

Ya, sekolah memang penting, lebih-lebih mencari ilmu, fardhu ‘ain hukumnya. Tetapi kita harus tobat dan eling: memberhalakan ijazah atau strata pendidikan sama saja melanggar sila pertama Pancasila.

Prestasi akademik, nilai-nilai dalam ijazah, termasuk juga foto-foto wishuda, tidak cukup bisa diandalkan untuk mengantarkan seseorang ke gerbang cita-cita. Hal tersebut senada dengan penelitian di Harvard University, bahwa kesuksesan ditentukan oleh 20 persen pengetahuan (akademis) dan 80 persen oleh kemampuan non-akademis, yakni bagaimana kita bisa mengelola diri dan orang lain.

Tidak heran jika di dunia ini ada orang seperti Bill Gates. Siapa sangka jika dedengkot softwere Microsoft ini dulunya adalah siswa yang DO. Ada pula Almarhum Steve Jobs, sang penemu produk Apple, yang dulu hanya menempuh kuliah sampai semester satu. Kisah mereka bisa kita jadikan inspirasi, bahwa kesuksesan bisa direngkuh siapa saja, bukan hanya mereka yang berijazah.

Ah, orang sukses! Sering menjadi pusat perhatian dan sumber kengileran. “Kapan saya bisa seperti itu ya?” gumam banyak orang. Dan ketika ada sms dari PT.DengkulmuAmbles mengabarkan mereka dapat undian, mereka mengira Tuhan telah mengabulkan doanya. Tahu-tahu seluruh hartanya malah ludes, sementara hadiah yang dijanjikan tidak pernah datang. Duh Gusti! Betapa banyak orang ingin cepat kaya tanpa repot bekerja hingga terjerat perangkap para penipu. Ironis!

Pertanyaan yang tepat mestinya bukan “kapan saya akan sukses,” tetapi bagaimana untuk menggapainya. Tentu saja proseslah yang utama. Oleh sebab itu, bukan saatnya lagi kita gengsi-gensian soal pekerjaan, tidak perlu pula mengandalkan orang lain, ijazah, apalagi harus menunggu test CPNS. Kita sudah dibekali pikiran dan kekuatan, dan Tuhan sudah berpesan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan. Maka, jangan lagi ada “entar” di antara kita. Kini, saatnya “enter”: action!

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

3 comments

comments
Anonim
27 Juni 2013 pukul 22.59 delete

Keren
Tinggal enter smua'y ok

Reply
avatar
15 September 2013 pukul 20.52 delete

berpikir perlu, tapi action harus! salam

Reply
avatar
Anonim
6 Desember 2014 pukul 15.42 delete

seperti biasa, makjleb dan renyah sekaleee...
yuk buang buang "entar"nyaaa..
eh, btw, gimana rumor K13-nya om :3

Reply
avatar