oleh: Yusuf Amin Nugroho
Suatu hari di bulan Mei, ketika bumi Nusantara masih dikuasai Landa, sekelompok pemuda berkumpul. Mereka yang notabene adalah kaum sekolahan merasa terpanggil untuk memikirkan kemajuan bangsa. Dari situlah kemudian lahir Boedi Oetomo, sebuah organisasi yang dianggap telah memberikan semangat untuk melepaskan diri dari penjajahan dan mengejar ketertinggalan.
Setelah seabad lebih Boedi Oetomo berdiri dan Indonesia berkali-kali merayakan kemerdekaannya, agaknya kita belum pantas untuk benar-benar lega. Berbagai persoalan, khususnya yang menyangkut generasi muda, kerap membuat kita khawatir akan masa depan negeri ini. Narkoba, tawuran, seks bebas, premanisme, pengangguran, dan seabrek persoalan menagih untuk diselesaikan. Saking pelik dan kompleksnya tantangan yang harus dihadapi, sampai-sampai kita terpikir dengan tulisan di bak truk: Isih kepenak jamanku tho? (Masih enak jamanku ‘kan?)
Jawaban untuk pertanyaan ‘bak truk’ tersebut tentunya sangat beragam, tergantung tingkat wawasan masih-masih orang dan bagaimana kita memandang persoalan.Yang jelas, permasalahan-permasalahan sebagaimana disebutkan di atas sudah ada sejak era Orba. Yeah, pola pikir masyarakat kita memang lebih senang mengalihkan persoalan, ketimbang harus menghadapinya.
Menanggapi persoalan kepemudaan tersebut, Amiruddin, Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia Wonosobo (KNPI) menjelaskan bahwa yang harus kita lakukan adalah meningkatkan kapasitas pribadi para pemuda dan kapasitas kolektif kita sebagai nation state. “Rasa nasionalisme, intelektual, profesional, melek informasi, dan punya tanggung jawab sosial. Inilah sosok pemuda yang bisa berjaya dan bisa menyelamatkan bangsa ini,” terangnya.
Teringat pemuda, teringat pula kita dengan kata-kata yang pernah diucapkan Soekarno: “Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia.” Ucapan tersebut mengandung makna yang dalam. Dan kita trenyuh karena realitas menunjukkan mayoritas pemuda bangsa ini justru tenggelam dan terseret arus modernitas. Akibatnya, pandangan para pemuda menjadi terbaratkan (westernized) dan mereka menjadi kehilangan kemampuan untuk membaca persoalan yang dihadapi bangsanya sendiri.
Jika demikian, maka siapakah yang pantas untuk disalahkan? Ya, pertanyaan tersebut menyedot jutaan orang melirikkan mata pada apa yang bernama ‘pendidikan’. Bukankah tugas pendidikan adalah memerdekakan—meminjam istilah Ki Hadjar Dewantara. Memerdekakan dari apa? Dari sikap dan mental mirip budak, dari sikap pengecut dan ketakutan mengambil keputusan.
Sayangnya, pendidikan sering hanya dimaknai sebagai barang dagang di mana kita membeli ijazah dan gelar. Dan sekolah, sebagai salah satu institusi penyelenggara pendidikan seringkali memproduksi robot-robot yang tidak punya nalar kritis dan kreativitas. Anak-anak kita digemleng bukan untuk siap menghadapi persoalan di luar pagar sekolah, tetapi hanya agar lulus Ujian Nasional. Sungguh memprihatinkan!
Barangkali benar, kurikulum pendidikan kita sudah waktunya diubah. Tetapi perubahan kurikulum sebaik apapun tak akan ada artinya tanpa adanya guru-guru hebat. Guru disebut hebat, bukan lantaran ia punya sertifikat dan gajinya berlipat. Guru hebat adalah guru yang tidak hanya mengajarkan teori, tidak hanya mengurusi kognisi anak didik, tetapi menjadi sumber mata air inspirasi. Tetapi memang, soal akhlak dan karakter pemuda, bukan hanya menjadi tanggung jawab guru di sekolah, tapi juga guru di rumah (orang tua) dan masyarakat: KITA. @jusufan
-----------------------------------------------
claim technorati code: 4EM9P2DA8ZUU