Tukang Cerita dan Istrinya

Cerpen Jusuf AN
 
Kau penulis cerita, telah sebelas tahun menjadi suamiku, tapi tak ada satu pun cerita kau persembahkan khusus untukku. Sontoloyo!
“Tulislah cerita tentangku!”
“Kau bisa menuliskan sendiri.”
“Kau tak mau?”
“Untuk apa?”

Kau mengetahui banyak hal: jenis dan suara burung-burung, bahkan perasaan setitik air hujan yang jatuh di tengah samudera. Mustahil kau tak paham kenapa aku begitu menginginkanmu menulis cerita tentangku.

“Untuk apa pula kau menulis cerita buat Septi, Ndari, Fitri, Negeri, Gusti...”
“Oh, begitu? Jadi kau ingin aku buatkan cerita seperti mereka?”
“Sudah berapa kali aku katakan itu.”
“Tapi aku tak bisa menulis karena dipaksa.”

Aku tidak pernah memaksamu. Aku sangat memahami prinsip menulismu, karakter tokoh-tokoh rekaanmu, dan gaya berceritamu. Tapi kau tidak memahami aku, tokoh nyata dalam hidupmu. Dan karenanya aku terpaksa meminta. Dan karena permintaanku yang sudah kuungkapkan berkali-kali tidak digubris maka aku memutuskan pergi meninggalkanmu.

“Sampai kapan?”
“Sampai kau rampungkan cerita itu.”
“Aku pasti akan sangat merindukanmu.”
“Aku akan setia menantikan ceritamu.”

Kau sudah teramat biasa hidup tanpa aku, dan agaknya dapat lebih menikmati hidup saat aku tidak ada di rumah. Meski ketika aku tengah mengemasi barang sempat kulihat wajahmu lusuh dan cemas. Tapi aku tetap saja pergi. Pagi-pagi. Tidak pulang pada malamnya, pada esoknya, seminggu, sebulan. Empat kali dalam sebulan aku menelponmu.

“Bagaimana, sudah kau buat ceritanya?”
“Nanti aku telepon kamu kalau sudah jadi.”

Mungkin kau bosan mendengar pertanyaan yang sama, sehingga sejak percapakan pendek itu, handphone-mu tidak lagi bisa dihubungi. Telpon rumah juga tak pernah kau angkat. Tapi aku yakin, kau akan menepati janji. Maka aku menunggu, sambil membayangkan seperti apa cerita yang kau persembahkan untukku itu.

Aku telah mengenalmu jauh hari sebelum kita menikah, semenjak dulu aku masih kuliah. Aku telah mengoleksi semua buku karanganmu, tapi tak ada foto maupun alamat tempat tinggalmu. Sampai suatu ketika surat kabar memberitahukan bahwa kau akan menghadiri peluncuran bukumu yang terbaru. Meski acaranya digelar di luar kota yang jauh tapi aku hadir, tentunya setelah susah payah merombak jadwal kesibukanku yang padat. Bagiku, bertemu denganmu masih lebih penting ketimbang apa pun. Betapa aku selalu terpesona dengan cerita-ceritamu. Cerita-cerita yang telah berhasil membuatku merasa seperti orang yang ingin bersin, dan bersinku baru pecah disaat ceritamu berakhir.

Di sebuah kafe tempat peluncuran bukumu digelar untuk pertama kali aku melihatmu, mengira-ngira usiamu sekitar 30. Aku yang hadir dengan membawa semua buku karanganmu tidak membuang kesempatan untuk lebih jauh mengenalmu. Acara peluncuran bukumu sepi pengunjung, ini diluar dugaanku. Meski begitu, aku mengikutinya sampai selesai, menunggu kesempatan untuk bisa berjabat tangan dan meminta tanda tanganmu di semua buku karanganmu yang aku bawa. Aku juga minta kau menuliskan nomor yang bisa dihubungi pada salah satu buku itu. Dan begitulah, tahu-tahu kita sudah menjadi suami-istri. Tahu-tahu? Maksudku, ini tak penah terbayangkan sebelumnya.

Setelah percakapan demi percakapan lewat telpon dan pertemuan demi pertemuan di tempat-tempat yang berbeda, tentu saja. Dalam setiap percakapan denganmu aku sering menumpahkan isi hatiku. Aku ingin tahu bagaimana rasanya membaca ceritamu yang dipersembahan khusus buatku. Aku ingin merasakan sensasi kisah tentang diriku setelah kau angkat sebagai tokoh cerita. Aku cuma ingin satu itu. Tapi kau justru ingin aku menjadi istrimu.

Demikianlah, akhirnya aku dan kau menikah, lalu kita tinggal di sebuah rumah yang aku beli dengan uang yang kutabung berbulan-bulan. Sebulan sekali kau minta ijin pergi keluar. Ke mana? Sekali kau menjawab, “ke pantai,” selebihnya, untuk pertanyaan yang sama, kau hanya menjawab dengan senyum yang kira-kira artinya begini: “Biasa...cari inspirasi.”

Aku sangat menghargai profesimu, wahai tukang cerita. Kau juga menghormati rutinitasku dari Senin hingga Sabtu. Sejak ayah meninggal dua bulan setelah pernikahanku, akulah satu-satunya orang yang meneruskan usaha ayah yang sudah dirintis bertahun-tahun. Kau juga tidak pernah menuntutku untuk mengurus keperluanmu. Sudah kutawari kau pembantu, tapi kau menolak. Tak apa. Toh kau yang lebih sering di rumah bisa menyelesaikan semuanya: mencuci baju, menyapu, ngepel, juga sesekali memasak. Hanya satu permintaanmu dan aku tak bisa menuruti yang satu itu: kau ingin aku memberimu anak.

Dengarlah! Bukannya aku tak ingin memiliki anak. Aku hanya belum siap. Kehamilan pastilah akan sangat mengganggu kesibukanku. Aku masih ingin meniti karier, mengembangkan usaha jasa otomotif yang telah aku geluti sejak lulus sekolah menengah kejuruan. Alasan klasik memang, dan pastilah kau telah paham sehingga aku tidak mengatakan itu terus terang.

Tapi aku tetap belum memiliki keinginan untuk beranak sampai sepuluh tahun kemudian, sampai kau kembali menanyakan tugas utamaku: melahirkan.

“Buatlah satu cerita tentangku, dan kau akan kuberi yang kau minta.”
“Cerita? Hanya sebuah cerita?”
“Ya, tak lebih.”
“Aku akan segera membuatnya.”

Sejak saat itu kau mulai sering kulihat duduk membatu di beranda, hilir-mudik di depan rumah setiap pagi, dan beberapa kali pergi tanpa permisi. Aku mendiamkanmu karena tahu bahwa untuk membuat sebuah cerita yang bagus dibutuhkan perenungan mendalam.

Kau sudah sering menulis cerita persembahan, sehingga akan sangat enteng jika hanya menulis satu cerita tentang aku, perempuan yang sudah kau tiduri beratus kali.

Kau biasa membubuhkan nama Anu di bawah judul ceritamu. Mungkin salah satu dari si Anu itu punya hubungan khusus denganmu. Atau Anu-anu itu adalah orang-orang yang telah memberimu inspirasi dalam ceritamu. Atau lagi, Anu-anu itu merupakan orang-orang yang sengaja datang kepadamu, mencurahkan perasaan, lalu memintamu agar menuliskannnya sebagai cerita. Atau bisa jadi, tak ada kaitan apa-apa antara Anu dan ceritamu, tetapi kau hanya menuliskan nama Anu sebagai hadiah ulang tahun mereka.

Entahlah. Tetapi aku tahu, beberapa kali kau menerima tamu yang kemudian kutahu adalah orang-orang yang namanya pernah tertulis di bawah judul cerita karanganmu. Anu-anu itu terkadang datang berdua dengan pasangan mereka. Kadang pula kulihat di antara Anu-anu itu menangis tersedu di depanmu. Aku yang capek pulang kerja kurang begitu peduli dengan Anu-anumu.

“Apa yang pernah kau tulis dalam cerita itu kini benar-benar nyata. Lihatlah, kami sudah jadi suami istri. Sekali lagi terimakasih atas kebaikanmu,” kata perempuan yang duduk di sebelah seorang lelaki—mungkin suaminya.

“Aku tidak menyangka kejadiannya akan sama persis dengan yang kau tulis dalam cerita. Ibuku di kampung sudah meninggal ketika aku pulang seminggu lalu. Sekiranya dulu aku menuruti saranmu, mungkin....,” gumam seorang lelaki dengan mata berkaca-kaca, tak sanggup meneruskan kalimatnya.

Itu hanya sebagian Anu yang telah datang padamu dan mengungkapkan hal yang sama—entah ada berapa anu yang lain. Pagi sampai senja aku tak pernah di rumah sementara jam delapan malam biasanya aku sudah tidur sehingga aku tidak terlalu peduli dengan Anu-anumu.

***

Ah! Kau sudah terlampau lama membuatku menunggu. Apa yang kau janjikan, yakni sebuah cerita
tentangku, tak juga selesai kau garap. Bukan karena kau sibuk menggarap cerita lain, bukan itu, aku yakin. Semenjak aku mengatakan keinginanku sore itu, kau bahkan tidak pernah lagi kulihat duduk menulis, di buku atau di depan komputer. Entah apa, entah mendung seperti apa yang menghalangi imajinasi dan mood-mu.

Aku belum pernah melihatmu tidak menulis selama seminggu, sungguh. Sebaliknya kadang-kadang, kau bisa menyelesaikan sepuluh cerita dalam seminggu. Biasanya, kau mendadak begitu bernafsu menulis saat bangun tidur, seakan-akan kau baru saja mendapat ide emas dari mimpi. Tapi untuk satu cerita tentangku, perempuan yang telah kau kenal demikian lama ini, kenapa tak juga kau menuliskannya? Apakah tidak kau temukan sisi menarik dariku sehingga kau tak juga kau memulai menuliskannya?

“Aku tak bisa, Sayang.”
“Hanya satu cerita, apa susahnya?”
“Aku takut.”
“Takut?”

Kau buru-buru meninggalkanku. “Ke pantai.” Tak pulang selama seminggu, menggantungkan kian banyak pertanyaan yang berdesakkan di kepala dan hatiku.

Apa yang kau takutkan dari mengarang cerita tentangku? Apakah itu ada kaitannya dengan masa depanku yang buruk? Tidak mungkin. Semua cerita tentang ketepatan ramalan dalam cerita-ceritamu hanyalah kebetulan yang tak pantas mengusikku. Takhayul!

Dan begitulah kejadian selanjutnya. Ketika kau pulang dengan wajah lusuh dan aroma tubuh yang kecut, aku kembali menagih janjimu, tapi kau justru menyuruhku menuliskannya sendiri. Maka aku memilih pergi meninggalkanmu.

Aku tidur di hotel, mula-mula sendirian, tetapi pada malam ketiga puluh sembilan, seorang lelaki yang masih rekan bisnisku datang mengetuk pintu. Lelaki itu memberikanku selembar kertas berisi sebuah puisi. Sebuah puisi liris yang penuh sanjungan terhadapku; perempuan ulet dan perkasa, ai, ai. Aku yang telah memakan ratusan buku sastra menganggap bahwa puisi lelaki itu sangatlah buruk, penuh klise, datar, tanpa metafor—lebih mirip pantun yang dipaksakan rimanya. Tapi entah kenapa aku tersanjung dibuatnya, hingga pada malam berikutnya lelaki itu kuijinkan menginap di kamar hotel bersamaku.

***

Kalian tahu, apa yang barusan kalian baca itu tidak lain adalah cerita yang ditulis oleh suamiku.

Kalian pasti tidak percaya! Lebih-lebih aku.

Subuh itu, suamiku menelpon, mengabarkan cerita yang kuminta sudah selesai. Aku buru-buru mengemasi barang, menulis pesan di secarik kertas lalu menaruhnya di atas bantal. Aku pulang, apa yang pernah kita lakukan tolong lupakan! Kuharap lelaki yang masih pulas atas ranjang itu akan dengan mudah menemukan pesan itu dan bisa memahami perasaanku.

Tiba di rumah, aku tak mendapati suamiku, tetapi dengan mudah—seakan sudah dipersiapkan—aku menemukan cerita pesananku, di atas meja ruang tamu. Tidak ada judul, tidak tertera namaku. Tetapi membaca cerita yang ditulis tangan itu, aku yakin bahwa si aku dalam cerita itu adalah aku.

Mungkinkah suamiku telah memata-matai aku sehingga mengetahui kelakuanku di hotel itu. Entahlah. Entah pula di mana suamiku sekarang dan kenapa ia tak kunjung pulang. Semuanya serba entah, tak bisa dipastikan, kecuali perutku yang akhir-akhir ini sering merasa mual.

Wonosobo, 2011-2012

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

2 comments

comments
25 Mei 2013 pukul 00.43 delete

mas, ini dimuat? bagus banget ceritanya -_-

Reply
avatar