Menjadi doktor tidak harus menjalani dulu program Magister (S2).. Benarkah? Ya, tetapi tidak di Indonesia. Bapak Asmaji Mukhtar telah membuktikannya. Dalam membuka mata kuliah Peradaban Islam di Pasca Sarjana UNSIQ Wonosobo, Sabtu (28/4/2012) beliau sedikit menuturkan perjalalanan hidupnya.
Menurutnya, penghargaan ilmu di negeri Jiran lebih tinggi dibanding di Indonesia. Padahal dulu, tahun 70-an orang Malaysia berbondong-bondong datang untuk studi di Indonesia. Tetapi sekarang terbalik. Ada sekitar 17.000 orang Indonesia yang sekolah di Malaysia.
Asmaji masuk ke Universitas Malaya (UM) mengikuti program doktor tanpa mengikuti prosedur sebagaimana umumnya. Ketika ditanya oleh pihak UM, anda punya apa? Asmaji menunjukkan bahwa ia sudah menerbitkan 25 buku yang telah ditulisnya. Berkat itulah beliau kemudian diterima di Universitas Malaya.
Pria berkacamata yang tinggal di Kudus ini sebenarnya pernah melakukan hal yang sama di universitas-universitas di Indonesia. Tetapi tidak ada Universitas yang mau menerimanya masuk Program Doktor jika belum mengantongi ijazah S2.
Hingga kini, pria tiga anak yang pernah memburu ilmu di Pondok Pesantren selama 12 tahun ini telah menerbitkan banyak tulisan, 75 di antaranya diterbitkan di Malaysia. Pak Asmaji, demikian beliau biasa disapa, telah mengarang sebuah tafsir setelah lebih 2000 halaman. Dengan modal karya tersebut sebenarnya ia pernah ditawari untuk menjadi profesor di Malaysia. “Dalam waktu dua bulan bisa Profesor, karena karya Anda sudah mencukupi.” Demikian Asmaji menirupkan profesornya, ketika tahun 2010 beliau berkunjung ke UM.
Peradaban Dibangun dengan Ilmu
“Tidak ada peradaban yang tidak dibangun tanpa ilmu,” kata Asmaji. Lalu ilmu macam apa yang bisa membangun peradaban?
Yunani kuno menjadi pusat peradaban dunia yang pertama kali, itu karena ilmu. Ilmu diperoleh oleh orang Yunani Kuno melalui pengamatan. Pengamatan tidak bisa dilepaskan dari indera. Pengamatan inilah yang kemudian memunculkan pemikiran. Maka di dalam al-Qur’an sering Allah memingatkan, “Tidakkah kamu lihat?” Juga pertanyaan: “Tidakkah kamu berpikir?”