Oleh M. Yusuf Amin Nugroho
Sekadar mengingatkan bahwa 10 Desember lalu merupakan hari penting yang patut diperhatikan. Momentum tersebut biasa diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia.
Pada Desember 1994 Just Wrong Trust (JUST) mengadakan Konferensi Internasional di Kuala Lumpur bertajuk Rethinking Human Rights yang dihadiri oleh pemikir dan aktivis hak asasi manusia (HAM) dari 60 negara, dan agaknya konferensi tersebut menjadi konferensi HAM yang pertama di dunia. Konferensi tersebut berusaha menjawab pertanyaan, benarkah dominasi Barat telah menjadi ancaman terbesar bagi HAM dan martabat manusia?
Kita tidak bisa menutup mata terhadap rapor merah yang dilakukan Barat sepanjang sejarah. Dua tragedi HAM terbesar pada masa kolonial, yakni eliminasi penduduk pribumi Amerika dan Australia serta perbudakan atas berjuta-juta penduduk Afrika selama perdagangan budak di Eropa merupakan bukti nyata dimana HAM telah diinjak-injak. Begitu pula penindasan atas berjuta-juta penduduk Asia yang terjadi hampir di seluruh bagian benua selama berabad-abad kekuasaan penjajah kolonial. Jika kita jeli merunut sejarah, maka akan terlihat bahwa apa yang dilakukan Eropa, yang sekarang akrab kita sebut dengan istilah ‘Barat’, merupakan penindasan massal yang sistematis atas HAM.
Walau aturan ‘kolonial formal’ telah lama berakhir, tetapi kekuasaan dan kendali Barat sebenarnya masih terus mempengaruhi “penegakan” HAM di sebagian besar penduduk dunia non-Barat melalui cara yang lebih licik dan keji. Melalui Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB), Badan Moneter Dunia (IMF), dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Barat berhasil memainkan kontrol politik dan ekonomi global yang begitu dominan. (Candra Muzaffar, dkk:2007). Terlihat sekali kekuatan Barat begitu menonjol saat memaksa negara-negara lain agar tunduk pada kehendaknya dengan ditopang oleh kekuatan militer yang dimilikinya—khususnya Amerika Serikat (AS) yang mencitrakan dirinya sebagai Polisi Dunia
Penghancuran besar-besaran yang dilakukan tentara AS terhadap Irak merupakan fakta sejarah yang masih cukup hangat diperbincangkan. Dengan alasan Irak mempunyai hubungan resmi dengan gerakan terorisme dan tuduhan bahwa Irak menyimpan senjata pemusnah, AS dengan bangga menginjak-injak HAM rakyat Irak. AS juga terus menerus membekingi Israel dalam melawan perjuangan orang-orang Palestina untuk merdeka. Merasa tak punya hambatan telah ikut campur dalam pemerintahan dalam negeri Irak, dan Palestina, kali ini Amerika kembali membuat onar di Iran, dengan tuduhan yang tidak jauh berbeda dengan yang diberikannya pada Irak, yakni dugaan kalau Iran tengah mengembangkan senjata pemusnah masal.
Itu baru merupakan bukti kecil saja untuk mengatakan bahwa negara-negara Barat, khususnya AS sebenarnya tidak memiliki komitmen sedikit pun terhadap HAM. Retorika HAM, demokrasi, dan perdagangan, hanyalah instrumen bagi kelanggengan dominasi Barat terhadap non-Barat. Ironis memang. Bukankah pemerintahan di negara-negara Barat sangat percaya bahwa negeri merekalah yang telah melahirkan demokrasi dan HAM, dengan merunut pada akar religius sekuler dalam filsafat Yunani, hukum Romawi, dan tradisi Yudeo-Kritistiani? Bukankah selama ini Barat menganggap dirinya sebagai nabi HAM yang berniat mengangkat martabat manusia?
Konsep HAM
Dalam makalahnya berjudul Spiritualitas Asia dan Hak Asasi Manusia Mahmoed A. Ayoub, seorang guru besar dari Temple University (Amerika Serikat) menulis, konsep HAM Barat sebenarnya tidak berdasarkan pada pandangan dunia Yudeo-Kristian-Islami, tetapi berdasarkan kebudayaan sekuler pasca pencerahan yang telah berlangsung lebih dari satu setengah abad lamanya. Konsep Barat tentang HAM adalah sebuah konsep moral yang netral, dan bukan konsep spritiual dan religius melainkan konsep yang murni materialistik dan pertimbangan sosial yang profan.
Sejak Deklarasi Universal tentang HAM dikumandangkan tahun 1948, tulis Mahmoed A. Ayoub, filosofi dan penerapan hak asasi sebenarnya telah diperdebatkan dengan panas oleh para intelektual muslim, pemuka-pemuka keagamaan dan para politisi.
Meskipun konsep sekuler modern tentang HAM adalah asing bagi tradisi keagamaan dan ideologi moral Islam, tetapi hak-hak asasi itu sendiri tidaklah asing. Hak untuk bebas beragama atau memeluk kepercayaan, hak untuk bergerak bebas dan penentuan nasib sendiri, kesemuanya secara tegas dimandatkan oleh al-Qur’an.
Di sisi lain Barat melihat HAM sebagai bagian misinya yang beradab. Sayangnya Barat—yang mengaku telah menjadi nabi HAM dan merasa memiliki banyak sumber tentang HAM untuk diajarkan kepada negara lain—tidak pernah mau belajar apalagi bercermin dengan dirinya sendiri. Tanpa rasa malu sedikit pun, Barat telah menodai ajaran HAM yang justru telah mereka tebar dan dengung-dengungkan.
Melalui media dan sebagian pemerintahan besar di Barat, kita tahu, Barat dengan mudah dapat memutuskan apa saja pelanggaran HAM yang harus disoroti dan pelanggaran HAM yang tidak pernah terjadi sekalipun. Tanpa disadari, isu-isu tentang HAM telah masuk dalam kesadaran umat manusia di seluruh dunia dan semua itu berada penuh dalam kendali Barat.
Oleh sebab itu, benar apa yang dikatakan Anwar Ibrahim, bahwa perlindungan HAM merupakan perosalan moral mendasar yang harus menjadi komitmen bersama dan seyogyanya tidak untuk digunakan sebagai suatu alat kebijakan luar negeri dari suatu negara atau sebagai kuda Troyan untuk menyembunyikan kepentingan komersial.
Monitoring pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kekuatan Barat perlu terus dilakukan untuk kemudian mengambil langkah aksi perlawanan. Pembelaan atas HAM semestinya tidak hanya berhenti pada slogan.