Oleh: M. Yusuf Amin Nugroho *)
Judul : Belajar Heran dari Negeri Jiran
Pengarang : Bambang Sumintono
Tebal : viii + 200 halaman
Cetakan : I, 2012
Penerbit : Metagraf, Solo
ISBN : 978-602-9212-47-1
Begitu melihat judul buku ini, ada satu pertanyaan besar yang mengusik pikiran saya. Apa yang patut diherankan dari Malaysia? Bukankah Negeri Jiran usianya masih lebih muda dibanding Indonesia dan masih tergolong sebagai negara berkembang pula? Lembar demi lembar saya buka. Namun, hingga satu bab habis, alih-alih ada bahasan soal Malaysia, saya justru terperangah dengan memoar Bambang Sumintono sebagai pemburu beasiswa.
Setelah menjalani studi master di Frinders University, Australia, dilanjutkan di New Zealand Development Scolarship untuk studi Doktoral di Victoria University of Wellington, Selandia Baru, Bambang berusaha melamar untuk menjadi dosen di Indonesia, tetapi tidak ada satu pun perguruan tinggi yang mau menerimanya. Lalu, atas saran salah seorang temannya, dia mengajukan lamaran ke beberapa perguruan tinggi di Malaysia. Heran, lamarannya direspon dengan cepat, dan kemudian membawanya terbang ke Negeri Jiran sebagai pensyarah (dosen) di Fakulti Pendidikan Universitas Teknik Malaysia (UTM).
Ambisi Malaysia
Realitas dan aktivitas dunia pendidikan dan perguruan tinggi di Malaysia yang dikemukakan dalam buku ini memang pantas membuat kita heran, bahkan kagum. Ambisi Malaysia menjadi negara maju pada tahun 2020 terus digembor-gemborkan dan mencoba dibumikan, salah satunya adalah dengan memajukan dunia pendidikan.
Perkembangan mutakhir dunia perguruan tinggi di Malaysia memberikan gambaran makin kompetitifnya mereka mengejar prestasi riset kelas dunia dalam skala yang lebih besar. (hlm. 149) Di negeri kita memang sempat terdengar wacana tentang universitas riset, tetapi kejelasan dan seperti apa bentunya tidak pasti alias label saja. Tetapi Malaysia sudah selangkah lebih berbeda dalam urusan ini. Pemerintah Malaysia berusaha mewujudkan mimpi itu dengan memberikan dukungan penuh, antara lain dengan meningkatkan dana riset dan memberikan enam ribu beasiswa doktoral bagi para dosen.
Pemerintah Malaysia juga tengah berjuang keras untuk mengubah model perekonomian negaranya dari berbasis produksi menjadi berbasis inovasi. Dan karenanya mereka tidak canggung dalam mengeluarkan uang untuk memacu inovasi. Kita pun akan kaget ketika mengetahui bahwa program-program yang unik dan menantang ditemukan di beberapa perguruan tinggi di Malaysia.
Malaysia menyadari bahwa negara tetangga lain pun sedang melakukan berbagai perbaikan dalam sistem pendidikan mereka. Indonesia bagaimana? Tentu saja kita juga demikian, meski soal komitmen dan kedisiplinan masih kalah jauh dengan Malaysia. Tak heran, jika 30-an tahun yang lalu Malaysia banyak mengirimkan mahasiswa untuk belajar di Indonesia, kini posisinya menjadi terbalik. Hingga saat ini, jumlah pelajar Indonesia di luar negeri mencapai lebih dari 50 ribu orang, 14 ribu orang di antaranya terdapat di Malaysia. Bambang Sumintono yang merupakan praktisi pendidikan Indonesia yang mengajar di Malaysia punya cerita ironis soal ini: “Ada mahasiswa dari Indonesia, dengan beasiswa dari Indonesia, dan belajar ke luar Indonesia, dan ternyata dibimbing oleh orang dari Indonesia; tapi yang untung malah Malaysia?” Untung di sini dalam arti mendapat hak cipta intelektual dari risetnya. (hlm. 74)
Buku setebal 200 halaman ini secara tidak langsung mengkritisi pendidikan di Indonesia dengan cara mengkorelasikannya dengan realitas pendididikan Malaysia. Kehadiran buku ini patut diapresiasi, khususnya oleh praktisi dan para pembuat kebijakan pendidikan. Membaca buku ini, kita akan semakin menyaadari bahwa di luar berbagai persoalan yang menyangkut hubungan Indonesia-Malaysia, barangkali kita tidak perlu malu untuk belajar dari Malaysia, khususnya dalam bidang pendidikan.
Judul : Belajar Heran dari Negeri Jiran
Pengarang : Bambang Sumintono
Tebal : viii + 200 halaman
Cetakan : I, 2012
Penerbit : Metagraf, Solo
ISBN : 978-602-9212-47-1
Begitu melihat judul buku ini, ada satu pertanyaan besar yang mengusik pikiran saya. Apa yang patut diherankan dari Malaysia? Bukankah Negeri Jiran usianya masih lebih muda dibanding Indonesia dan masih tergolong sebagai negara berkembang pula? Lembar demi lembar saya buka. Namun, hingga satu bab habis, alih-alih ada bahasan soal Malaysia, saya justru terperangah dengan memoar Bambang Sumintono sebagai pemburu beasiswa.
Setelah menjalani studi master di Frinders University, Australia, dilanjutkan di New Zealand Development Scolarship untuk studi Doktoral di Victoria University of Wellington, Selandia Baru, Bambang berusaha melamar untuk menjadi dosen di Indonesia, tetapi tidak ada satu pun perguruan tinggi yang mau menerimanya. Lalu, atas saran salah seorang temannya, dia mengajukan lamaran ke beberapa perguruan tinggi di Malaysia. Heran, lamarannya direspon dengan cepat, dan kemudian membawanya terbang ke Negeri Jiran sebagai pensyarah (dosen) di Fakulti Pendidikan Universitas Teknik Malaysia (UTM).
Ambisi Malaysia
Realitas dan aktivitas dunia pendidikan dan perguruan tinggi di Malaysia yang dikemukakan dalam buku ini memang pantas membuat kita heran, bahkan kagum. Ambisi Malaysia menjadi negara maju pada tahun 2020 terus digembor-gemborkan dan mencoba dibumikan, salah satunya adalah dengan memajukan dunia pendidikan.
Perkembangan mutakhir dunia perguruan tinggi di Malaysia memberikan gambaran makin kompetitifnya mereka mengejar prestasi riset kelas dunia dalam skala yang lebih besar. (hlm. 149) Di negeri kita memang sempat terdengar wacana tentang universitas riset, tetapi kejelasan dan seperti apa bentunya tidak pasti alias label saja. Tetapi Malaysia sudah selangkah lebih berbeda dalam urusan ini. Pemerintah Malaysia berusaha mewujudkan mimpi itu dengan memberikan dukungan penuh, antara lain dengan meningkatkan dana riset dan memberikan enam ribu beasiswa doktoral bagi para dosen.
Pemerintah Malaysia juga tengah berjuang keras untuk mengubah model perekonomian negaranya dari berbasis produksi menjadi berbasis inovasi. Dan karenanya mereka tidak canggung dalam mengeluarkan uang untuk memacu inovasi. Kita pun akan kaget ketika mengetahui bahwa program-program yang unik dan menantang ditemukan di beberapa perguruan tinggi di Malaysia.
Malaysia menyadari bahwa negara tetangga lain pun sedang melakukan berbagai perbaikan dalam sistem pendidikan mereka. Indonesia bagaimana? Tentu saja kita juga demikian, meski soal komitmen dan kedisiplinan masih kalah jauh dengan Malaysia. Tak heran, jika 30-an tahun yang lalu Malaysia banyak mengirimkan mahasiswa untuk belajar di Indonesia, kini posisinya menjadi terbalik. Hingga saat ini, jumlah pelajar Indonesia di luar negeri mencapai lebih dari 50 ribu orang, 14 ribu orang di antaranya terdapat di Malaysia. Bambang Sumintono yang merupakan praktisi pendidikan Indonesia yang mengajar di Malaysia punya cerita ironis soal ini: “Ada mahasiswa dari Indonesia, dengan beasiswa dari Indonesia, dan belajar ke luar Indonesia, dan ternyata dibimbing oleh orang dari Indonesia; tapi yang untung malah Malaysia?” Untung di sini dalam arti mendapat hak cipta intelektual dari risetnya. (hlm. 74)
Buku setebal 200 halaman ini secara tidak langsung mengkritisi pendidikan di Indonesia dengan cara mengkorelasikannya dengan realitas pendididikan Malaysia. Kehadiran buku ini patut diapresiasi, khususnya oleh praktisi dan para pembuat kebijakan pendidikan. Membaca buku ini, kita akan semakin menyaadari bahwa di luar berbagai persoalan yang menyangkut hubungan Indonesia-Malaysia, barangkali kita tidak perlu malu untuk belajar dari Malaysia, khususnya dalam bidang pendidikan.
