Guru, Pecinta Buku asal Wonosobo
SEJARAH bonfire of liberties atau sering juga disebut penghangusan kebebasan adalah sejarah pahit dunia perbukuan. Masih kuat dalam ingatan kita tentang apa yang dilakukan dinasti Qin di Cina daratan dalam mencegah masuknya pengaruh sebuah ajaran hingga mengakibatkan buku-buku Konfusian dibakar tahun 213 SM. Perpustakaan Besar Iskandariah (The Great Library of Alexandria) juga terbakar pada 47 SM ketika Julius Caesar membakar kapalnya yang sandar di pelabuhan agar tak dirampas Mesir. Api dari kapal yang dibakar itu merembet memusnahkan berbagai bangunan di pelabuhan, termasuk perpustakaan yang disebutkan berisi 400.000 gulung manuskrip di atas kertas papirus itu. Bonfire of liberties masih berlanjut, Kaisar Romawi Theodosius (378-396 M) memerintahkan anak buahnya untuk menghancurkan Pustaka Besar Iskandariah, yang dibangun kembali oleh Antonius pada 41 SM. Perulangan sejarah bonfire of liberties juga terjadi di berbagai kota di Amerika dan Eropa pada abad ke-20, yang paling menonjol adalah pembakaran buku-buku subversif dan bertentangan dengan ideologi Partai Nazi pimpinan Adolf Hitler. Buku-buku dimusnahkan dalam api unggun yang panasnya mencapai 451 derajat Fahrenheit, bulan Mei 1943.
Setelah dua dasawarsa lebih bonfire of liberties terjadi di Jerman, musibah itu menular ke Indonesia. Hampir semua buku Pramudya Ananta Toer dan para penulis ‘kiri’ lainnya dilarang terbit dan ditarik dari peredarannya pada saat Soeharto berkuasa. Setelah Soeharto lengser pun sejarah bonfire of liberties masih berlanjut, pembakaran buku karya Frans Magnis Soeseno berjudul Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (2001) yang dilakukan sekelompok orang hanyalah salah satu contoh dari sekian tregedi bonfire of liberties di negeri yang mengaku berdemokrasi ini.
Bonfire of liberties sungguhlah merisaukan para penulis sekaligus dunia penerbitan. Meskipun sebagian penulis, termasuk Pram, yang bukunya paling banyak dilarang terbit dan dilarang edar, ada yang tidak bergeming dan mengaku diuntungkan dengan pelarangan itu, karena hal itu akan menjadi promosi gratis. Tetapi pihak penerbit dipastikan mengalami kerugian yang tidak sedikit akibat bukunya ditarik dari pasar, apalagi dibakar.
Tapi beginilah potret sebuah negeri yang masih ragu-ragu dengan ungkapan, bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai buku, bukan membredelnya. Bukankah buku yang paling kontroversi sekalipun tidak akan membuat sebuah negara hancur, melainkan justru akan semakin mencerdaskan bangsa itu? Bukankah lebih arif sekaligus menarik dan menggairahkan semangat intelektual jika sebuah buku dibalas dengan buku, bukan api, tinju, atau surat larangan dari pihak berkuasa? Tentu.
Perang Wacana
Buku terjemahan Da Vinci Code karya Dan Brown yang telah terjual di atas 100.000 copy hanya di Indonesia saja merupakan salah satu buku yang telah melahirkan fenomena "buku berbalas buku". Dan Brown, yang mengklaim bahwa novelnya tersebut bukan sekadar fiksi melainkan didasari atas penetian ilmiah mencuatkan beberapa kontroversi. Apakah Yesus benar-benar pernah menikah dengan Maria Magdalena? Apa benar, Maria pergi ke Perancis lalu beranak cucu di sana, dan keturunannya sekarang masih ada? Benarkah pihak gereja menutup-nutupi skandal tersebut selama ribuan tahun lamanya? Maka lahirlah beberapa buku sanggahan Da Vinci Code antara lain Cracking Da Vinci Code: Mematahkan Teori-teori Spekulatif dalan The Da Vinci Code (2005) karya James L. Garlow & Peter Jones, Da Vinci Code Decoded: Menguak Kebenaran di Balik The Da Vinci Code (2005) karya Martin Lunn, Menjawab The Da Vinci Code, dan Pengakuan Maria Magdalena: Saat-saat Intim Bersama Sang Guru (2005) karya Lie Chung Yen.
Beberapa bulan setelah Andre Comte-Spionville menulis Spititualitas Tanpa Tuhan (2008) Abu Sangkan meluncurkan bukunya Spititualitas Salah Kaprah (2008). Ketika penerbit Kompas dulu masih rutin menerbitkan kumpulan cerpen terbaik yang dimuat di Kompas edisi Minggu, Rudi Gunawan kemudian menerbitkan buku Zarima: Kumpulan Cerpen (bukan) Pilihan Kompas (2001). Setelah beberapa bulan Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman el Shirazy terbit, Taufiqurrahman al Azizi menerbitkan trilogi Syahadat Cinta (2007), Musafir Cinta (2007), Makrifat Cinta (2008), . Dalam sebuah work shop penulisan buku di Wonosobo belum lama ini Taufik menuturkan bahwa novel trilogi tersebut merupakan usaha untuk meng-counter kandungan Ayat-Ayat Cinta yang hitam putih dalam memandang agama.
Berbalas buku, adalah berbalas wacana, kalaupun terjadi perseteruan dan bahkan perang antara penulis yang bukunya dibalas dan yang membalas, itu hanya berlangsung di atas kertas sehingga tidak merugikan publik yang memiliki hak untuk membaca, tidak merugikan penulis yang memiliki hak mengeluarkan pendapat, tidak merugikan penerbit yang kini sedang dicekik harga kertas.
Buku berbalas buku kadang-kadang memang tidak saling melengkapi, tetapi cenderung saling berbantah, hal ini begitu kentara dalam buku pemikiran dan sejarah. Buku Bersaksi di Tengah Badai (2003) debutan Wiranto, Panglima TNI saat terjadinya peristiwa Mei 1998 misalnya, setidaknya telah memunculkan dua buku balasan, yakni Konflik dan Integrasi TNI-AD karangan Mayor Jenderal Kivlan Zen (2004) dan Politik Huru-hara Mei 1998 (2003) karya Fadli Zon atau yang lebih dikenal dengan Prabowo Subianto. Saling bantah antara buku-buku tersebut, bukan hanya berkutat pada dalang peristiwa 14 Mei 1998, tetapi juga pada soal pembentukan Sidang Istimewa yang kemudian dikenal sebagai Pamswakarsa.
Keterbukaan
Belakangan ini kita sedang merindukan sebuah buku balasan atas terbitnya buku Membongkar Kegagalan CIA karya Tim Winer. Sayang rasanya kalau buku setebal 832 halaman itu teracam ditarik peredarannya hanya karena dianggap telah merusak citra Adam Malik di mata publik. Menarik buku dari pasar tidak segampang menarik makanan kada luarsa. Tidak cukup hanya dengan alasan untuk ketertiban dan kententraman masyarakat. Masyarakat kita memang mudah terprovokasi, tetapi bagaimana pun sebuah keterbukaan tetaplah lebih menarik dari pada keterutupan. Penarikan buku Memongkar Kegagalan CIA boleh saja dilakukan setelah pengadilan membuktikan bahwa buku tersebut nyata tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Agar bonfire of liberties tidak terulang lagi, mungkin kita patut untuk merenungkan kata-kata Alfred Whitney (1906-1963), seorang pendidik yang juga sejarawan asal Amerika Serikat. Menurutnya, sebuah buku tidak akan pernah bisa dibakar. Ide-ide tidak akan mungkin dipenjarakan. Satu-satunya senjata yang ampuh melawan ide-ide buruk adalah dengan ide-ide yang baik. Dan sumber ide-ide yang baik adalah kebijaksanaan.