Puisi: Hikayat Sri

kita adalah debu
yang terlempar dari
sunyi langit biru
tumbuh menjelma daun
menggantung dicakar angin
lalu kembali membeku:
sebiji debu di batang waktu

dan di waktu yang lain,
kita cakarmencakar
mempertahankan kehijauan,
            remang kebenaran.
seperti dongeng-dongeng masa silam



I

karena waktu pengap selalu
maka aku berguru pada batu
juga gunung, matahari dan bulan
yang kekar menjulang, merangkak,
dan takzim berputar

cuaca dan musim
bukanlah sesosok kelam
tetapi kawan paling hangat


“aku tak butuh nilai
dari tapaku bermalam-malam.
hanya kuharap sebiji benih
wujud perasan kesabaran.”

II

di atas batu berlumut
petapa itu tertunduk
mengucur mantra dari dadanya;
mengembang aromanya
hingga khayangan

lalu mendung menabungnya
dan hujan kemudian tiba.

“batara ramadi masih semedi.”
tetapi wiji widayat mesti
segera diserahkan kepada bumi
yang entah sudah berapa lama
menanam rindunya
dan selalu bercerita
setiap kali berciuman dengan hujan:
akan segera lahir anak-anak kita;
anak-anak yang gembira
menari bersama angin;
angin yang melahirkan cucu-cucu;
seterusnya begitu.

III.

“namaku sadana, lelaki yang lena
dengan wangi darah adik sendiri.
kelak mayatku menjelma hama
dan kau pun sibuk meramu racun
dari bunga yang tumbuh di gurun-gurun.”
kau tercipta dari kesialan
melengkapi keperihan kisah ini                     
sebagaimana kebanyakan yang lain              
kau laiknya mendung yang tak turun
tak sempurna namamu berdengung
            kini atau pun nanti

“akulah sri, perempuan yang
tercipta dari mantra si petapa
kelak mayatku akan ditanam di bumi
menumbuhkan benih kehidupan.”

lalu waktu
kembali mempertemukamu
dengan makhlukmakhluk
yang tercipta dari tulang belulang sadana.
sementara anantaboga, ular besar
yang menganggapmu sebagai putri
senantiasa menjagamu
dari kesepian dan ancaman

“aku akan menelusup
dalam mimpi-mimpimu
sepanjang malam
menghantui hari-harimu                                
yang lapar. dan ingatlah,                               
keteguhan adalah benihku yang baru.”

setelah kelaparan lancar dilafalkan
orangorang angankan kau datang
membenih di pelataran
mencairkan wajah-wajah gelisah
setelah melesatkan doa ke angkasa—
            dan hanya hujan sebagai jawabnya

 "tidak terlalu berarti
mencari musabab
penjelmaan segolek mayatku
menjadi padi
sebab kebenaran telah lama mati
tanpa sempat ada yang menziarahi.
bangunlah pagi-pagi,
dan lihatlah pucuk daunku
                        yang menari
menarilah bersamaku
di ladang dan pematang                                
di musim panen atau gersang
sampai keringat menjawab segala gundah:   
tak ada doa yang sia-sia
tak ada perkara tuntas terselesaikan.”

maka demikianlah
waktu akan selalu menggantikan cuaca
menuding dada siapa saja
yang keringatnya berkilauan cahaya.

Yogyakarta, 2007

Puisi ini terinspirasi atas dongeng “Dewi Sri” dari Banyumas, Jawa Tengah

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »