Ramadhan di Tengah Wabah Covid-19


M. Yusuf Amin 

Ramadhan tahun ini (1441 H) tidak biasa. Memang tidak ada Ramadhan yang biasa. Ramadhan selalu luar biasa. Tapi puasa di tengah pandemi (covid-19) pastilah tidak pernah dialami sebelumnya.

Saya tidak membolehkan istri berbelanja ke pasar sehari sebelumnya. Ada sayur kan, ada telur, ada sambel? Beres. Tetap bangunkan saya pukul tiga. Prepegan, demikian orang Jawa menyebut saat-saat akhir menjelang Ramadhan dan Idul Fitri, selalu membuat pasar tumpah ruah dengan manusia. Pun di tengah pandemi begini? Ya. Jalanan kota yang dua hari atau seminggu sebelumnya sepi seperti mati, mendadak hidup kembali.

Ramadhan memang mestinya kita sambut dengan sambutan paling meriah di dada kita. Tentu saja tidak melulu dengan belanja, makanan yang lezat dan bahkan kurma. Cukup dengan dada yang gembira. Sebab paham akan bertemu dengan bulan yang menyimpan banyak keistimewaan. Mungkin itu sudah cukup.



Agaknya ketakutan masyarakat akan terjangkit virus korona lambat laut akan mengecil, mengecil, dan mungkin perlahan akan lenyap. Agaknya mulai muncul bersit pikiran yang ngeri-ngeri sedap; wabah ini hanya konspirasi global, saya tetap aman kalau pakai masker dan cuci tangan pakai sabun, imun saya kuat, dan lain sebagainya. Bisikan yang entah muncul dari mana itu kemudian meningkatkan keberanian orang-orang untuk berkerumun di pasar. Ya, situasinya memang ruwet, ruwet, ruwet. Sementara kita dituntut untuk memilih, memberikan keputusan sendiri, disebabkan tidak adanya aturan yang tegas dan jelas.

Termasuk soal ibadah berjamaah di Masjid dan Mushalla. Himbauan dari MUI dan Kementerian Agama agar umat beribadah di rumah saja tidak begitu diindahkan, khususnya oleh orang-orang kampung.

"Kampung kita (insyaAllah) aman, sudah diportal, jamaahnya kita kenal semua, shalat tarawih tetap jalan," kata Pak RT.

"Kalau pasar saja berjubel dengan  orang-orang yang tak dikenali riwayat mereka saja berani, apalagi ke mushala kampung sendiri?" tambah Mbah Senep.

Logika Pak RT dan Mbah Senep belum bisa dituntut untuk menerapkan kaidah, "Mencegah kemadharatan lebih diutamakan ketimbang mengundang kemaslahatan." Mereka hanya bisa disadarkan ketika sudah muncul kasus nyata, yang tentu saja tidak diharapkan.

Saya mendapat cerita dari Ibu saya, bahwa Kyai di kampung kelahiran saya menangis setelah terbitnya himbauan MUI yang dikuatkan oleh ketua NU dan Muhammadiyah tentang Shalat Jumat yang ditiadakan. Menangis karena menanggung beban dosa apabila tidak jumatan atau karena kesedihan yang mendalam tidak bisa menjalankan ibadah fardhu 'ain? Kita tidak bisa mendeteksinya. Tetapi toh kemudian jumatan pada minggu berikutnya digelar, dengan diam-diam, tanpa speaker toa, dan orang-orang berduyun-duyun menghadiri. Lagi-lagi aparat tidak bisa berbuat tegas dalam hal ini, tidak bisa. Menangkapi para imam tentu akan dianggap kriminal, membiarkan mereka tanpa himbauan apa-apa juga akan dianggap tidak bertanggung jawab. Sekali lagi ini ruwet, ruwet, ruwet.

Bagi orang kampung datang ke Masjid dan mushala bukan lantaran (semata) mencari lipat pahala. Di masjid dan mushala itulah biasanya mareka bertemu dengan sesama saudaranya, tahu kabar-kabar terbaru, dan itu bisa jadi sarana rekreasi dan rileksasi di tengah berbagai kesulitan dan kesumpekan hidup. Untuk hal-hal itu bagi kaum milenial mungkin cukup dilakukan dengan menengok dan membuat story WA.

Malam pertama Ramadhan ini, saya sebenarnya ingin tarawih di rumah saja. Tapi tanpa kehadiran saya pun, mushalla kampung saya tetap menyelenggarakan jamaah tarawih. Dan entah kenapa, saya ketonen, teringat mereka, dan ingin memastikan bahwa jamaah di mushala kampung saya tetap dengan menjaga jarak dan memakai masker. Jamaah meningkat, mungkin 4 kali lipat ketimbang biasanya. Tarawih jalan, saya deg-degan, rasanya seperti malam pertama. Dan benar, ini malam pertama Ramadhan. Dan karena tadarus al-Qur'an selepas tarawih di Mushalla ditiadakan, saya mendadak bergairan menulis catatan ringan ini.

Ramadhan waktu yang baik untuk bermunajat: Semoga kita tetap sehat dan segera lepas dari keruwetan ini. 

Share this

Related Posts

Latest
Previous
Next Post »