1936 di Banjarmasin; Para ulama ketika itu berkumpul, lalu menyatakan, kira-kira format kebernegaraan bagi nusantara ini seperti apa? Karena ketika itu kita belum menjadi negara yang merdeka. Maka, dalam forum atau pun majlis Mahtsul Masail, dilontarakanlah tiga gagasan bentuk negara. Yang pertama, diajukan apa yang disebut sebagai Darul Islah, negara agama. Yang kedua diajukan apa yang disebut sebagai Darul Harb, negara dalam keadaan darurat. Dan yang ketiga adalah konsep yang pada akhirnya dipilih oleh kita semua, yaitu konsep Darus Salam, negara keselamatan, negara perdamaian, yang pada hari ini kita sebut sebagai nation state atau pun negara bangsa dengan negara kesatuan repuplik indonesia.
Ketika itu, tidak sedikit, Bapak-Ibu dan saudara sekalian, yang mengusulkan bahwa Indonesia dijadikan sebagai negara agama, mengingat Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar. Tetapi para ulama kita, yang arif dan bijaksana, menyatkan bahwa Indonesia adalah negara yang plural, Indonesia adalah negara yang dihidupi oleh berbagai macam agama, suku, etnis, ras, golongan. Maka kita yang besar harus melindungi yang kecil, karena ini adalah bagian dari dakwah, apa yang dikembangkan dan diajarkan Nabi Besar Muhammad SAW dalam piagam Madinah yang meletakkan hak-hak kewarganegaraan bagi siapapun, agama apapun, suku apapun, berdiri sama tegak dan duduk sama rendah.
Maka untuk itu, Bapak Ibu dan saudara sekalian, jaga perjuangan dari para alim ulama kita di dalam meletakkan dasar-dasar pendirian negara Indonesia; ini luar biasa. Maka kalau ada hari ini kelompok yang menyatakan dan akan mengganti indeologi pancasila dengan ideologi yang lain,maka kami semuanya keluarga besar Nahdhatul Ulama akan berada di barisan terdepan, untuk mempertahankan Pancasila dan NKRI. Setuju?
Bapak-Ibu-Saudara sekalian. Semuanya tertutup dengan satu realitas negara yang luar biasa besar dan agung. Bahwa ternyata dengan Islam yang ramah bukan Islam yang marah; ternyata dengan Islam yang merangkul bukan Islam yang memukul; ternyata dengan Islam yang mengajak bukan Islam yang mengejek, Indonesia kini menjadi satu-satunya negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Ini adalah arya dan arsitek yang maha dahsyat dari para alim ulama kita.
Maka, Bapak-Ibu dan saudara sekalian. Kita melihat, hari-hari ini, terjadi pergolakan, terjadi suatu peristiwa yang tentu menyedihkan bagi kita semua. Hari-hari ini ekspresi kebebasan yang kebablasan terjadi di berbagai macam tempat. Di Kalbar baru-baru ini kita melihat, di Minahasa baru-baru ini kita melihat, di Aceh dan Papua terlebih dahulu kita sudah melihat. Di Jakarta, yang sebetulnya kita harapkan masyarakat Jakarta yang lebih edukatif, ternyata juga tidak bisa memberikan contoh yang baik bagi warga-warga di perkampungan. Apa itu? Ternyata perbedaan tidak lagi dijadikan sebagai khasanah yang positif. Tetapi sekarang ini, Bapak-Ibu saudara sekalian, budaya mencaci, budaya menghina, budaya menyebar kebencian melalui media sosial, budaya menghujat antara satu dengan yang lain ini sekarang sudah menjadi sebuah peristiwa yang marak dan kita temukan di berbagai macam tempat. Nah, maka kalau begitu, kita semuanya keluarga besar NU, mari kita kembali, ke.... apa yang disebut sebagai nilai luhur bangsa, yaitu kita saling hormat menghormati antara satu dengan yang lain, dan inti di dalam keberagamaan; Saya menyitir apa yang disebutkan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 114 yang menyebutkan bahwa:
Ketika itu, tidak sedikit, Bapak-Ibu dan saudara sekalian, yang mengusulkan bahwa Indonesia dijadikan sebagai negara agama, mengingat Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar. Tetapi para ulama kita, yang arif dan bijaksana, menyatkan bahwa Indonesia adalah negara yang plural, Indonesia adalah negara yang dihidupi oleh berbagai macam agama, suku, etnis, ras, golongan. Maka kita yang besar harus melindungi yang kecil, karena ini adalah bagian dari dakwah, apa yang dikembangkan dan diajarkan Nabi Besar Muhammad SAW dalam piagam Madinah yang meletakkan hak-hak kewarganegaraan bagi siapapun, agama apapun, suku apapun, berdiri sama tegak dan duduk sama rendah.
Maka untuk itu, Bapak Ibu dan saudara sekalian, jaga perjuangan dari para alim ulama kita di dalam meletakkan dasar-dasar pendirian negara Indonesia; ini luar biasa. Maka kalau ada hari ini kelompok yang menyatakan dan akan mengganti indeologi pancasila dengan ideologi yang lain,maka kami semuanya keluarga besar Nahdhatul Ulama akan berada di barisan terdepan, untuk mempertahankan Pancasila dan NKRI. Setuju?
Bapak-Ibu-Saudara sekalian. Semuanya tertutup dengan satu realitas negara yang luar biasa besar dan agung. Bahwa ternyata dengan Islam yang ramah bukan Islam yang marah; ternyata dengan Islam yang merangkul bukan Islam yang memukul; ternyata dengan Islam yang mengajak bukan Islam yang mengejek, Indonesia kini menjadi satu-satunya negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Ini adalah arya dan arsitek yang maha dahsyat dari para alim ulama kita.
Maka, Bapak-Ibu dan saudara sekalian. Kita melihat, hari-hari ini, terjadi pergolakan, terjadi suatu peristiwa yang tentu menyedihkan bagi kita semua. Hari-hari ini ekspresi kebebasan yang kebablasan terjadi di berbagai macam tempat. Di Kalbar baru-baru ini kita melihat, di Minahasa baru-baru ini kita melihat, di Aceh dan Papua terlebih dahulu kita sudah melihat. Di Jakarta, yang sebetulnya kita harapkan masyarakat Jakarta yang lebih edukatif, ternyata juga tidak bisa memberikan contoh yang baik bagi warga-warga di perkampungan. Apa itu? Ternyata perbedaan tidak lagi dijadikan sebagai khasanah yang positif. Tetapi sekarang ini, Bapak-Ibu saudara sekalian, budaya mencaci, budaya menghina, budaya menyebar kebencian melalui media sosial, budaya menghujat antara satu dengan yang lain ini sekarang sudah menjadi sebuah peristiwa yang marak dan kita temukan di berbagai macam tempat. Nah, maka kalau begitu, kita semuanya keluarga besar NU, mari kita kembali, ke.... apa yang disebut sebagai nilai luhur bangsa, yaitu kita saling hormat menghormati antara satu dengan yang lain, dan inti di dalam keberagamaan; Saya menyitir apa yang disebutkan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 114 yang menyebutkan bahwa:
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ
Itu sebuah ayat yang sangat dahsyat sekali. Kira-kira terjemahan bebasnya adalah, tidak ada gunanya kita berbangsa-bernegara, berserikat, berkumpul, berormas, berpartai politik, berorganisasi, melakukan apapun, kalau tidak meletakkan prinsip-prinsip dalam tiga hal. Apa itu?
Yang pertama adalah, hendaknya kita membantu kaum yang lemah, kaum yang miskin, bi shadaqatin, dengan shadaqah kita. Yang kedua adalah dengan mengerjakan hal-hal yang baik, amar makruf nahi munkar. Dan yang ketiga ini adalah suatu peletakkan dasar yang paling dalam kehidupan kita, yang disebut sebagai melakukan upaya-upaya perbaikan bagi peningkatan harkat martabat manusia sebagai sebuah transformasi bagi peningkatan kualitas hidup manusia di masa-masa yang akan datang...
(Ditranskrip oleh Jusuf AN dari Orasi Sekjen PBNU, Dr.Helmy Faishal Zaini dalam Apel Kebangsaan Kebangkitan Nasional Keluarga Besar NU Kab. Wonosobo, 21 Mei 2017 di alun-alun Wonosobo).