sumber gambar: matatelinga.com |
Ini adalah catatan ringan kedua saya tentang pemilu. Catatan pertama saya, tentang pemilu legis latif bisa anda baca di sini.
Ya, kita semua mengakui tahun 2014 menjadi tahun yang istimewa bagi warga Indonesia. Di tahun inilah sebuah pesta rakyat bernama Pemilu di gelar untuk ke sekian kalinya. Dan pemilihan presiden (pilpres) sudah dilangsungkan, tinggal dua hari lagi (kalau tidak ada halangan) KPU akan mengumumkan hasil pesta rakyat yang menghabiskan dana triliunan rupiah itu.
Entah benar atau hanya perasaan saya saja, Pilpres tahun ini lebih seru dan semarak dibanding tahun-tahun sebelumnya. Saya tidak punya survey soal itu, dan hanya menduga saja. Mungkin pilpres sebelumnya juga seru hanya saya saja yang tidak mengikuti perkembangan beritanya. Mungkin pilpres sebelum-sebelumnya memang tidak sesemarak sekarang di karenakan kondisi dan situasi yang berbeda.
Jika sebelumnya hanya ada 3 pasangan, yaitu SBY-Boediono, Mega-Prabowo dan JK-Wiranto, sekarang hanya 2 pasang capres-cawapres, yang tidak perlu saya sebutkan, karena anda toh sudah tahu. Pengaruh media agaknya juga menjadikan pilpres kali ini lebih menagangkan, kalau kita menggunakan bahasa Word Cup. Pengaruh media dalam menggaet massa memang sangat besar, dan ini disadari benar oleh para tim sukses kedua pasang capres-cawapres.
Kita tahu, kini pemakai internet di Indonesia sudah jauh lebih besar ketimbang tahun 2009, maka semarak pilpres juga kita terasa gaungnya. Blog, website, media sosial, dijadikan sarana untuk kampanye, tidak sedikit pula yang menghujat, bahkan saling fitnah. Lebih-lebih kalau kita secara kritis melihat tayangan berita-berita di TV-One dan Metro TV, makinlah kita yakin bahwa media bukanlan sesuatu yang netral. Fenomena ini sebenarnya cukup mengkhawatirkan, terlebih lagi bagi orang awam. Mereka dibuat bingung dengan isu-isu yang mereka dengar dan tonton di televisi. Televisi adalah milik publik, yang semestinya bisa bersikap baik dalam menjaga iklim demokrasi. Jika tidak ingin netral, mungkin memang lebih baik bersikap ksatria seperti yang dilakukan oleh The Djakarta Post, misalnya.
Ketidaknetralan media dalam mengawal pilpres tahun ini ditakutkan akan terbawa pasca pilpres, setelah presiden baru dilantik. Kalau ini sampai terjadi, maka media akan kehilangan daya kritisnya. Dan ini sungguh menakutkan. Kita sebagai rakyat akan kehilangan suatu agen kontrol yang hebat bernama media. Tentu, kita tidak berharap demikian. Sebaliknya, yang kita harapkan adalah pasca pilpres media-media yang dulu condong ke salah satu pasangan, dapat kembali seperti semula: merdeka, bebas dari tekanan dan kepentingan politik apapun.
Lalu soal guru dan kaitannya dengan pilpres, saya menyimpan beberapa catatan menarik soal itu. Guru, kita tahu, jumlahnya jutaan. Tidak heran jika guru menjadi rebutan capres dan cawapres. Masing-masing capres melembar janji-janji, bahkan surat khusus yang dialamatkan ke sekolah. Ini tidak pernah terjadi sebelum-sebelumnya dan karenanya menjadi menarik. Fenomena itu pula yang membuat saya bertanya-tanya: Kenapa para capres begitu menggadang-gadang suara guru? Dan apakah guru dianggap sebagai kaum yang mudah percaya pada janji-janji calon penguasa?
Guru adalah makhluk yang punya banyak masa. Di masyarakat seorang guru kerap kali menjadi orang orang yang berpengaruh, apalagi di lingkungan sekolah. Mungkin mereka (timses capres) menganggap bahwa dengan merebut suara guru maka mereka juga dapat dapat merebut suara para pelajar SLTA, juga suami/istri, dan anak-anak mereka. Ini hanya asumsi saya saja.
Dan apakah guru mudah dikibuli dengan janji-janji, saya kira itu anggapan yang keliru. Guru adalah kaum terpelajar. Secara umum guru tidak mudah percaya dengan isu-isu dan janji-janji yang manis. Tapi memang, diakui atau tidak, kampanye, janji-janji, dan isu-isu yang belum jelas kebenarannya pastilah berpengaruh bagi guru dalam menentukan pilihannya 9 Juli 2014 lalu.
Saya sendiri adalah seorang guru. Dan saya termasuk orang yang tidak mudah percaya pada janji-janji yang ditebar sebagai jala oleh dua capres. Meski begitu, saya harus memilih, memilih pasangan yang menurut saya terbaik. Meski itu sulit, toh saya sudah memilih. Dan saya berharap, pasangan yang terpilih nanti, tidak hanya memikirkan nasib dan kesejahteraan guru, tetapi seluruh rakyat Indonesia. Salam