Seragam

Kadang saya iri melihat guru olah raga. Setiap hari selalu pakai kaos, celana trining, dan sepatu olah raga. Mereka tidak pernah masuk kelas, dan tidak pernah mengajar jam terakhir. Kadang, kepikiran juga, bagaimana jika saya kuliah lagi di fakultas keguruan jurusan olah raga. Ah, tidak mungkin.

Hem, teman saya yang guru olah raga ternyata juga iri dengan saya yang mengajar mapel Non-Ujian Nasional Kelas IX. Kenapa? Sebab, sebentar lagi, tepatnya setelah Ujian Akhir Madrasah Berstandar Nasional, guru-guru mapel Non-UN tidak lagi mengajar, tapi tetap dibayar.

“Gimana kalau kita tukeran?” tanya saya. “Saya ngajar olah raga, situ ngajar BTQ atua Fiqih?”
“Hahaha…” teman saya yang tidak bernama itu cuma tertawa.
“Atau tukeran seragamnya saja?”
“Hahaha…” teman saya itu kembali tertawa.

Mungkin seragam sang guru nyaris sama fungsinya dengan baju kebesaran, sebagaimana baju Hakim dan Jaksa atau baju wisuda. Dengan seragam, PSH (entah kepanjangannya apa) misalnya, guru dapat tampil lebih wibawa. Atau mungkin dengan mengenakan seragam, sebagaimana siswa, timbul kesan kekompakan dan kesederajatan. Betul juga sih, meski tidak selalu.

Dan yang pasti, saya tidak setuju ketika ada sekolah negeri mewajibkan guru-gurunya mengenakan seragam organisasi tertentu, meski itu organisasi guru. Untuk sekolah swasta okelah, itu tidak masalah. Tapi untuk institusi negeri, tidak! Apa ada? Di daerah saya banyak. Jadi, setiap tanggal sekian seragam guru adalah seragam organisasi itu. Padahal belum tentu semua guru di sekolah tersebut adalah anggota organisasi tersebut.

Bagimana menurut anda?

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »