Sebelum Kupu-kupu



Cerpen Jusuf AN

“Lihatlah kupu-kupu itu! Ia dapat terbang, memiliki pakain yang indah, dan dapat makan madu lezat, tidak lain karena ketabahan dan kesabarannya selama menjadi kepompong. Kita ini kepompong, Sayang. Kepompong yang tengah bertapa pada malam pagi siang. Kepompong yang pada waktunya nanti akan menjadi kupu-kupu juga. Apa kau masih ingat sehari sebelum aku dan orangtuaku datang melamarmu? Kau bilang dengan suara yang mantap waktu itu, aku siap bertapa denganmu meski mungkin perih.”
“Ah, waktu itu. Bicaralah keadaan kita sekarang. Semua pemilik warung di komplek ini tak sudi melayaniku lagi sebagai penghutang sejati. Tak ada beras lagi, tak ada pula orang yang mau kita hutangi. Kau tentu dapat memahami bagaimana perasaan seorang perempuan dalam keadaan yang demikian perih seperti sekarang ini.”
Seekor kupu-kupu yang tadinya hinggap di pigura foto pernikahan kami mendadak terbang, berkitar-kitar sebentar di kamar ini lalu keluar melalui pintu yang terbuka lebar, seakan tidak menyukai percakapan kami.  
“Yakinlah, Sayang, Tuhan akan peduli pada orang-orang yang mengharap bantuan-Nya, bukan mengharap bantuan orang lain.” Pelan dan dengan suara serak ia berkata. Matanya menerawang ke langit-langit kamar, seakan sedang membaca masa depan kami: aku, ia, dan janin dalam rahimku.
***
Ia akan menceraikanku jika aku sampai meminta bantuan orang lain. Rambu-rambu yang ia pasang dengan sepihak itu sangat kuat aku ingat dan selalu membuatku menangis pada saat-saat kami kehabisan minyak atau beras.
Sungguh, aku tidak paham dengan cara hidupnya yang keras. Ia seorang penulis, lebih tepatnya penyair, sedang aku seorang Sarjana Hukum yang nganggur. Hujan mempertemukan kami di sebuah halte bis. Waktu itu, ia duduk di atas bangku besi dengan buku kecil dan sebuah bolpoin yang digoyang-goyangkan sembari sesekali menatap jarum-jarum hujan yang rapat berjatuhan. Caranya menyapaku, seorang perempuan yang terperangkap dalam jeruji air ini, berbeda dengan laki-laki pada umumnya. Ia tidak mengajakku jabat tangan, lalu menanyakan nama, tempat tinggal atau nomor telepon, tetapi hanya membacakan kata-kata yang baru ditulis di buku kecilnya. Aku tidak begitu paham makna kata-kata yang diucapkannya, tetapi aku menyukai kata-kata yang disusun indah itu. Aku sudah lupa kata-kata indah yang ia bacakan keras-keras tanpa memandangku, tetapi kata-kata itu begitu menggetarkan hatiku, meyirap dan membius kesadaranku. Membuatku terpaku lama memandanginya. Sampai ia selesai membacakan catatan yang baru ditulisnya itu, barulah ia menoleh kearahku. Cukup lama kami saling pandang, lalu sama-sama tersenyum, dan entah bagaimana selanjutnya kami kemudian saling kenal.
Aku dan dia kemudian sering membuat janji pertemuan, lebih sering ia mengajakku ke kedai kopi tempat ia bertemu dengan kawan-kawan sesama penyair. Lebih dari setahun kami bersama, tetapi kepada siapa pun yang kami temui, ia tidak pernah mengatakan bahwa aku adalah pacarnya. Hanya saja, ketika di sela-sela kami sedang menonton pertunjukkan teater ada kawan lamanya menanyakan tentangku, tegas ia jawab bahwa aku adalah calon istrinya. Aku kira ia hanya bercanda, tetapi setelah pertunjukkan teater usai dan tiada aku pahami sesuatu pun dari pertunjukkan yang baru aku tonton itu, ia mengatakan akan melamarku seminggu lagi.
Dan benarlah. Ia bersama keluarganya datang ke rumahku dengan membawakanku seperangkat perhiasan, sekarung kentang, sekeranjang salak, dan bermacam-macam jenis roti.
Kami menikah. Begitu saja kami menikah seolah-olah tanpa rencana. Menikah adalah perintah agama, kata dia, dan tiada sesuatu pun yang diperintahkan agama kecuali Tuhan akan melindungi orang-orang yang menjalankannya. Ia lelaki yang sering bangun kesiangan tetapi begitu percaya pada Tuhan serta segala misteri dan kekuatan yang dimiliki-Nya. Sehingga aku pun tidak terlalu cemas kelak akan hidup seperti apa ketika seminggu setelah perkawinan kami, ia membawaku tinggal di sebuah rumah kontrakan di luar kota yang jatuh dari tanah kelahiranku.
Minggu-minggu pertama setelah kami berdua berpisah dengan orang tua, hanya yang indah-indah saja aku rasakan. Orang tua kami membawakan kami sekarung beras, bumbu-bumbu masakan yang banyak, mie instan, kecap, dan perabot rumah yang lengkap. Sebuah televisi kemudian kami beli dengan uang yang kami terima dari kawan-kawan yang datang di hari pernikahan. Televisi itulah yang kemudian setia menemaniku jika ia sedang sibuk dengan komputer dan buku-bukunya. Televisi yang mungkin tepat jika aku ibaratkan suami keduaku, meski tidak melulu menghiburku, apalagi ketika dari televisi itu aku mendengar harga listrik dan kebutuhan pokok mulai naik. Televisi yang beberapa bulan kemudian terpaksa harus dijual, setelah terlebih dulu semua perhiasan milikku habis.
Aku tidak pernah menyalahkannya karena barang-barang yang begitu berharga bagiku itu tak lagi aku miliki. Toh, semua uang dari hasil penjualan barang-barang itu aku sendiri yang pegang dan membelanjakannya. Aku sepenuhnya sadar bahwa honor puisi-puisinya dari koran-koran dan majalah tidak seberapa dan tidak pasti pula. Dan karenanya, tanpa rasa malu sedikit pun ia yang kurus dan tak bertenaga itu sering pula menjadi kuli bangunan, menandakan bahwa ia bukan lelaki pemalas.
Aku sendiri sudah lebih dari lima kali berpindah-pindah kerja, dari menjadi pramuria di sebuah swalayan ke pelayan restoran, kemudian menjadi seles obat-obatan, dan apalagi dan apalagi. Tiada satu pun pengalaman kerjaku ada yang sesuai dengan ijazah Sarjana Hukum yang aku pegang. Sampai kemudian aku hamil, dan ia melarangku untuk kerja, sekaligus melarangku untuk meminta belas kasihan pada orang lain, termasuk orang tuaku sendiri.
Pahit rasanya. Tapi katanya, beginilah hidup yang sesungguhnya. “Madu tidak akan terasa manis sebelum kau pernah merasakan pahit.” Itulah kalimat yang sangat aku hafal, karena saking seringnya ia katakan padaku saat kami bangun tidur pagi hari dan menyadari tidak lagi memiliki minyak tanah, beras, dan telah kehilangan kepercayaan orang-orang yang kami mintai hutang.
Aku ingin pulang ke rumah orang tuaku sebentar saja. Aku yakin, mereka akan membawakanku macam-macam makanan, membelikanku buah-buahan dan memberiku uang. Mereka sangat paham dengan ekonomi keluargaku, dan pastilah sangat mencemaskan kesehatan janin dalam rahimku. Aku akan menerima apa-apa yang diberikan oleh orang tua kandungku itu, tidak seperti suamiku yang selalu menolaknya dengan berkata: “Biarlah kami belajar mandiri. Kalau tidak sekarang, kapan lagi. Ayah dan ibu tenang saja, setiap orang ada rezekinya sendiri-sendiri.”
Memang benar. Meski kami hidup serba kekurangan, tapi kami tak pernah tidak makan dalam sehari. Ada saja jalannya. Kadang-kadang ada kawan atau tetangga datang bawa gula, kopi, mie, dan beras. Kami memang sudah membuat lubang hutang di mana-mana, tetapi kami tidak lupa membayarnya jika kebetulan ada rezeki, meski dalam waktu bersamaan kami membuat lubang-lubang baru yang kadang-kadang lebih parah.
Aku sering membayangkan, indahnya hidup tanpa beban hutang. Bangun pagi, pergi ke pasar, berbelanja, memasak, nonton televisi, membaca majalah perempuan, dan tidur siang dan malam yang nyenyak. Angan-angan itu tidak akan omong kosong jika suamiku bersedia menerima bantuan dari orangtua kami berdua yang bisa dibilang cukup kaya. Tapi sebabnya adalah yang itu-itu juga: ia begitu keras memegang prinsipnya. Sedang aku seperti tidak kuat lagi menjalani pertapaan pahit ini.  
“Orang-orang yang berhasil adalah mereka yang kuat menahan coba dan derita seperti yang dilakukan ulat sebelum menjadi kupu-kupu,” katanya dengan mata memandang kupu-kupu yang baru saja terbang keluar kamar.
“Apa kau kira aku tidak kuat selama ini? Lebih dari lima tahun aku hidup bersamamu, seribu coba dan derita aku hadapi dengan sabar.” Tapi bukankah kesabaran ada batasnya? Aku ingin pulang ke rumah orang tua dan menangis dipelukan ibuku.   
“Kesabaran tidak ada batasnya. Camkan itu!”
Di luar, perut mendung yang telah lama membusung pecah. Mendadak aku membayangkan sakitnya orang melahirkan dan nasib bayiku nanti. Sementara ia segera keluar kamar, menyiapkan ember untuk menadahi air yang masuk melalui seng yang berlubang.
Kupu-kupu yang barusan keluar kembali masuk kamar yang remang siang-siang ini. Aku masih rebah telentang di ranjang memandang kupu-kupu itu. Ia kembali hinggap pada pigura foto pernikahan kami. Ia seakan mengajakku mengingat janji-janji yang pernah aku ucapkan, juga pada hari-hari indah awal-awal perkawinan kami. Kapankah kami dapat mengulang masa-masa indah itu? Sebutir air yang terpelanting dari langit-langit kamar yang menimpa jidadku seperti menjawab pertanyaan itu. Seperti ada suatu gaib yang entah datang dari arah mana. “Kelak,” katanya. Tapi kapan?
Ia tidak masuk lagi ke dalam kamar. Aku yakin ia sedang duduk di kursi beranda, memandang hujan sembari membawa buku kecil dan bolpoin. Bunyi air yang jatuh di lantai ubin rumah ini menciptakan irama kesedihan, mengiringi perasaan yang begelayut dalam batinku. Hanya ada sebuah ember dan satu tempayan di rumah ini sementara air hujan masuk melalui lebih dari sepuluh lubang seng yang terpisah. Aku membiarkan saja, karena hal serupa dipastikan akan terjadi setiap turun hujan. Tetapi hujan kali ini seperti berbeda dengan hujan-hujan sebelumnya. Lebat bercampur angin. Berkali-kali kilat menjilat kamar yang nyaris gelap ini.
Aku ingin bangkit menghidupkan lampu, tetapi kemudian ingat kalau sudah dua minggu listrik di rumah ini disegel. Tetapi dengan susah payah aku tetap bangkit juga, memandang menembus jendela kaca. Hujan lebat luar biasa, menimpa-nimpa seng, membuat gaduh rumah ini. Ketika kunyalangkan mata menembus kaca jendela suamiku tidak ada di beranda.
Aku turun dari ranjang, dan kaget ketika kakiku dingin menyentuh air. Mata kepalaku masih basah, dan kini mata kakiku juga basah. Aku segera meloncat ke pintu dan terhenyak ketika kepalaku beredar menyaksikan seluruh lantai rumah ini sudah terendam air bah. Entah di mana suamiku. Hanya kulihat dua ember mengapung di salah satu sudut ruang tengah ini. Betapa mirip rumah ini dengan perahu hampir karam!

Wonosobo, 2008

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

1 comments:

comments
Anonim
13 April 2013 pukul 00.47 delete

Subhanalloh.. Mengikuti saja, saya suka cerpen dan cerita apalagi kisah nyata..

Reply
avatar