Tak seorang pun bisa menebak masa depan dirinya maupun orang lain. Walau ia seorang peramal sakti sekalipun, tak akan pernah bisa. Maka, sejak sekitar tiga tahun terakhir saya tidak pernah lagi membaca zodiak. Zodiak yang biasanya muncul di majalah dan koran minggu hanyalah gambaran-gambaran yang bersifat umum, sekilas benar, tetapi sesungguhnya ia menipu. Bahkan ada anggapan, membacanya adalah sama saja mendatangi seorang dukun. Ampun!
Saya hanya percaya bahwa nasib seseorang ada dalam genggaman-Nya. Tugas kita sebagai makhluk adalah berusaha untuk berbuat yang terbaik. Apa yang kita lakukan pada detik ini akan mempengaruhi masa depan, itulah hukum alam (sunnatullah).
Siapa sangka, bahkan saya sekalipun tak pernah menyangka, kalau sekarang saya adalah seorang guru. Guru yang masih harus terus belajar (pembelajar). Belajar pada apa saja, siapa saja, termasuk kepada siswa, dan tentu, kepada masa lalu.
Ah, jika terkenang dengan masa lalu, sungguh saya seringkali merasa malu. Betapa dulu saya adalah seorang anak yang bengal. Sering membantah, berdusta, dan kurang ajar kepada orangtua. Kerap membuat onar di sekolah, baik ketika SD, MTs, atau pun saat Aliah.
Saya memang pernah ranking 1 ketika SD kelas I caturwulan III. Tetapi dibanding 4 kakak saya dan dua adik saya, saya terbilang lebih rendah IQ-nya. Terlebih lagi, saya juga pernah berusaha merubah nilai raport dengan Tip-ex saat kelas III Esde. Waktu itu saya takut dimarahi ayah karena ada nilai (Mapel Bahasa Jawa) yang buruk di raport. Ternyata, nilai itu adalah nilai rata-rata kelas, bukan nilai saya. Gara-gara itu, ayah tak mau menandatangi raport saya, dan oleh wali kelas raport saya diberi tanda tanya (?). Hem, kenangan lucu dan bikin malu.
Kenakalan saya semakin menjadi ketika duduk di bangku Tsanawiyah. Saya tinggal di pondok pesantren, seminggu atau dua minggu sekali pulang ke rumah. Umur saya baru beranjak 13 dan saya harus dipaksa hidup mandiri; mengatur keperluan hidup sehari-hari, membagi waktu untuk sekolah dan pesantren. Di Tsanawiyah inilah saya mulai sering membolos sekolah, menipu orangtua untuk mencari tambahan sangu, pulang malam hari untuk main video game di kota. Beberapa kali saya membuat gaduh di sekolah, berantem, memprovokasi teman-teman untuk iuran taruhan sepakbola, merokok di WC, dan banyak lagi. Pernah satu kali ayah saya dipanggil ke sekolah, membuatnya tertunduk sangat malu. Beruntung saya selalu naik kelas, meskipun tidak pernah dapat ranking 10 besar.
Naik ke jenjang Aliah, saya memilih sekolah di luar kota, tepatnya di Banjarnegara, dan saya memutuskan untuk kos. Pisah tempat tinggal dari orangtua, sungguh terasa nyaman; betapa saya menemukan kebebasan. Tetapi kebebasan yang diberikan orangtua saya kembali saya salah gunakan. Kenakalan-kenakalan saya di Tsanawiyah tidak juga berubah, justru kian bertambah-tambah.
Membolos, memanjat pagar sekolah yang dikelilingi kawat berduri, merokok di WC, adu mulut dengan guru, dan sekian kebengalan saya selama Aliah masih lekat di ingatan.
Teman-teman saya di Aliah banyak yang mengonsumsi obat-obatan terlarang, ganja, dan minuman keras. Saya bergaul akrab dengan mereka, tapi alhamdulillah, saya bisa menghindarinya. Saya selalu berusaha menjaga shalat, sesuatu yang telah tertanam sejak saya di pesantren. Meski bangun tidur pukul sembilan, saya tetap shalat subuh—ya Ghafur, ampuni hambamu ini.
Bekal yang saya dapatkan di pondok pesantren selama tiga tahun benar-benar bermanfaat, menjadi pondasi yang kuat, menjadi benteng dari pengaruh-pengaruh negatif pergaulan. Sampai akhirnya saya lulus, dan Tuhan Yang Maha Mengatur, menakdirkan saya untuk hijrah ke Jogja.
Di kampus IAIN Sunan Kalijaga (Suka), Kampus Perjuangan, yang sekarang telah dikonversi menjadi UIN dan jika malam suasananya mirip kuburan, saya bertemu dengan orang-orang dari seluruh Indonesia. Saya memilih fakutlas Syariah, jurusan al-Akhwal as-Sakhsiyah, salah satu jurusan yang banyak peminatnya, entah kenapa. Saya berada di kota yang jaraknya sekitar 100 km dari rumah orangtua, pulang ke rumah sebulan sekali. Saya bisa melakukan apa saja tanpa orangtua saya tahu, tetapi lagi-lagi saya beruntung karena teman-teman baru saya di kota yang eksotis ini adalah teman-teman yang baik; mereka rata-rata alumni pesantren, pintar-pintar, senang dengan buku, teater, sastra, dan berdiskusi.
Hampir setiap kamar mahasiswa IAIN Suka dipastikan ada rak yang berjajar buku-buku. Diskusi-diskusi kecil dihidupkan di sudut-sudut kampus, di serambi masjid, malam atau pun siang (tradisi ini sudah mulai mengikis sekarang). Menarik sekali. Dan saya pun terpengaruh. Mencoba menggandrungi buku, sastra, dan jatuh cinta pula pada perempuan yang kini sudah jadi istri.
Sebenarnya saya masih ingin lebih lama di Jogja, tetapi saya sadar, orang tua terus mendesak saya untuk segera wisuda, dan saya teringat dua adik saya yang juga harus sekolah dan kuliah. Maka, setelah berjuang melawan malas, bergelut dengan data-data skripsi, akhirnya saya bisa menyelesaikan kewajiban saya sebagai mahasiswa, tepatnya pada Januari 2007, beberapa bulan setelah 5,9 SC mengguncang Jogja.
Saya pulang kandang, sesuatu yang menjengkelkan. Seakan ada bagian tubuh saya yang tersangkut di kota itu; Jogja seakan sudah jadi istri kedua saya.
Tersesat di Jalan Mulia?
Mestinya, lebih normal, saya melirik ruang di instansi bernama Pengadilan Agama, KUA, atau Kantor Kementerian Agama sesuai dengan studi yang saya tempuh; menjadi Hakim, Pengacara, Juru Sita, atau minimal bergabung bersama kawan-kawan Advokat. Tetapi entah, kenapa kemudian saya mendadak tertarik menjadi guru.
Mulanya saya diminta membantu sebuah sekolah yang baru berdiri di desa saya. Seminggu, dua minggu, sebulan, lalu-lalu, lama-lama saya merasakan ada dorongan kuat yang menuntun saya untuk meneruskannya. Lebih-lebih setelah saya mengikuti program akta IV di UNSIQ Jateng yang berkampus di Wonosobo.
Sebenarnya, saya pernah berminat untuk tidak bekerja di instansi manapun. Pernah tebersit pikiran saya untuk total menulis; hidup untuk menulis, hidup dari tulisan. Tetapi jalan itu tidak diridhai orangtua, dan terus terang saya tidak berani berontak, takut kualat.
Apa salahnya menjadi guru? Kenapa harus malu? Bukankah itu pekerjaan yang mulia? Soekarno, semasa ditahan di Bengkulu, sempat mengajari anak-anak di sana sejumlah mata pelajaran, dari berhitung sampai bahasa Indonesia. Jenderal Soedirman selama kurang lebih lima tahun menjadi kepala sekolah di Sekolah Dasar Muhammadiyah di Cilacap sebelum bergabung dengan Peta. Nasution juga menjadi guru di Bengkulu. Begitu pun Tan Malaka yang pernah menjadi Kepala Sekolah.
Maka, saya terus mencoba menikmati menjadi guru. Terus. Terus. Dan akhirnya bisa. Saya benar-benar bisa menikmati menjadi guru. Sambil tetap menulis. Tanpa menganggu keduanya. Jalan saya menjadi guru adalah kecelakaan yang nikmat. Saya telah tersesat ke jalan yang mulia. Wow!
Guru-guru saya dulu kini rekan kerja
Ya, saya kini guru, GTT tepatnya, di sebuah sekolah tempat dulu saya pernah bersekolah. MTs Negeri Wonosobo. Beberapa guru yang mengajar saya dulu sudah wafat, sebagian sudah pensiun, sebagian lagi masih belum pindah tugas.
“Wah, kamu, dulu, ingat? Bengalnya minta ampun!”
Waduh! Antara menunduk dan kikuk; meringis saya setiap kali diingatkan kalau saya pernah jadi siswa yang bengal di sekolah ini. Ooo, siswa bengal ini, telah jadi guru. Kadang saya cengangas-cengingis sendiri tanpa seorang pun tahu. Ah, masa lalu, bukankah ia adalah pelajaran paling berharga.
Memang berat menjadi guru. Lebih-lebih ketika kita ingat arti guru secara etimologis. Guru berasal dari bahasa sansekerta, "gur-u," yang berarti mulia, bermutu, memiliki kehebatan, dan orang yang sangat dihormati karena kewaskitaaannya. Bahkan Guru pernah diposisikan sebagai "manusia suci", semacam resi yang pintar dan tulus berbudi. Saya merasa masih sangat kotor, tidak bermutu, tidak hebat, tidak punya kewaskitaan apa-apa. Resi? Ah, tidak, tidak.
Tapi saya guru, satu kenyataan yang tidak bisa dibantah. Dan karenanya, harus ada perjuangan keras untuk bisa menjadi guru yang baik.
Niat. Ya. Saya telah berniat untuk itu. Tetapi niat bukanlah sesuatu yang statis. Niat 'baik' yang telah kita tamankan, terkadang di tengah jalan niat akan memudar, tercemar oleh banyak hal, yang kadang fana dan menipu.
1 comments:
commentsSemoga tetap semangat !
Reply