Hujan Bulan Ramadhan


Cerpen Jusuf AN


Selain petasan dan harga kebutuhan pokok yang mendadak melonjak, ada satu hal lagi yang menjadi tanda kalau bulan puasa telah tiba. Hujan! Begitulah Yetti menyimpulkan setelah lima tahun terakhir, Ramadhan selalu berdampingan dengan hujan.
Baginya harga-harga yang melambung tinggi lebih menjengkelkan ketimbang dentuman petasan yang sering dibunyikan anak-anak menjelang adzan isya di depan rumahnya. Ia masih dapat menutup telinganya rapat-rapat dengan dua tangan sehingga bunyi gelegar petasan hanya terdengar seperti bunyi ketukan pintu. Tetapi harga-harga yang naik, sungguh, telah membuat hidupnya pahit.
Dan hujan?
Hujan bulan Ramadhan memang dapat sedikit menyejukkan gerah cuaca, tetapi tidak untuk perasaannya. Hujan Ramadhan justru selalu mengingatkannya pada masa dimana Khamid, suaminya, berangkat ke perantauan. Aneh. Bukankah Ramadhan adalah bulan suci dimana orang-orang berebut tiket kereta api menuju pulang ke kampung halaman.
Bagi Yetti, Ramadhan adalah masa ia harus menahan malu setiap kali melintas di depan warung-warung yang ada di kampungnya karena hutang-hutangnya yang menumpuk. Ramadhan adalah bulan dimana ia akan tersenyum haru saat mengantarkan kepergian Khamid sampai depan pintu.
Sudah lima tahun berturut-turut, pada minggu-minggu terakhir bulan puasa, Khamid akan pamitan pergi. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya pula, Khamid berangkat saat garis-garis hujan begitu rapat, seperti sekarang.
***
Sandi tak terlihat bersama Yetti ketika Khamid telah siap dengan tas rangsel penuh sesak pakaian. Yetti menduga kalau Sandi, anak semata wayangnya sedang memancing di sungai tak jauh dari rumah, kebiasaannya pada bulan puasa.
“Tunggulah Sandi sebentar. Si Usup, kawan Sandi, sedang memanggilnya untuk cepat pulang,” kataYetti, berusaha menahan Khamid.
“Ini sudah jam berapa? Betapa celaka kalau aku ketinggalan bis,” balas Khamid, lelaki ceking berambut keriting itu.
“Baru pukul empat. Bukankah bis akan berangkat pukul lima. Hanya butuh setengah jam ojeg akan mengantarkanmu sampai terminal.”
“Itu kalau perjalanan lancar. Kalau kebetulan ban motor ojeg yang kutumpangi bocor atau mendadak mesinnya mogok di tengah jalan. Terpaksa aku harus naik angkot. Kau tentu tahu bagaimana angkot di kota ini berjalan?”
“Pastilah Sandi tidak mau dibangunkan untuk sahur dan akan menolak berpuasa jika kamu pamit padanya, seperti tahun-tahun lalu.”
“Anak itu belum baligh, belum wajib berpuasa. Jadi, kalau toh ia tak mau sahur tak usahlah dipaksa.”
Yetti terdiam. Busur matanya menerobosi garis-garis hujan, mengharap dapat menangkap Sandi di kejauhan. Dengan datangnya Sandi ia menduga Khamid kemungkinan dapat membatalkan rencanya pergi ke Jakarta. Ia tahu, pastilah Sandi tak akan setuju kalau ayahnya pergi merantau dan tidak lebaran bersamanya di rumah seperti tahun-tahun silam. Sandi pasti akan menangis sejadi-jadinya. Tangisan Sandi, disadari oleh Yetti akan membuat suaminya luluh sehingga rela mengorbankan tiket bis ekonomi yang sudah dibeli.  
Betapa Yetti tidak juga mengerti kenapa suaminya pergi merantau justru saat bulan puasa. Pengeluaran memang selalu membengkak saban bulan puasa tiba, sedangkan penghasilan suaminya sebagai penjual roti keliling akan nenurun tajam. Tetapi kenapa Khamid tidak mencari pekerjaan lain di dalam kota saja, berjualan kembang api, kurma, atau kolak dan es kelapa muda, misalnya? Yetti merasa siap jika disuruh membantunya.
Sungguh, Yetti tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk membuat Khamid mengurungkan niatnya pergi ke Jakarta. Khamid pernah mengatakan, bahwa sebagian besar pemilik rumah di Jakarta akan pulang ke tanah kelahiran menjelang Lebaran. Sebagian besar pembantu rumah tangga juga akan ngotot diijinkan barang beberapa hari untuk Idul Fitri bersama keluarga. Saat itulah, rumah-rumah megah di Jakarta membutuhkan seorang penjaga yang dapat dipercaya; penjaga rumah yang hanya bekerja kurang lebih sebulan dengan gaji yang lumayan, yang tentu lebih besar dari penghasilan seorang penjual roti. “Untuk melunasi hutang-hutang kita,” kata Khamid.
Setiap kali Khamid pulang dari Jakarta, Yetti memang dapat segera melunasi hutang-hutangnya dan sisanya masih sedikit untuk makan sehari-hari. Tapi, Yetti sering gelisah oleh tanya, kenapa orang Jakarta jauh-jauh mencari seorang penjaga rumah dari desa? Apakah orang desa dapat lebih dipercaya ketimbang orang kota? Bukankah ada banyak pengangguran di Jakarta yang juga butuh kerja? Rentetan tanya itu, seakan membenarkan rasa kurang percaya Yetti terhadap suaminya.
Yetti sering berpikir kalau keterangan Khamid tersebut hanya mengada-ada. Kadang ia menduga bahwa suaminya telah mencari uang dengan cara haram. Sebagai istri, tentu ia telah tahu dengan masa lalu suaminya. Semasa muda Khamid pernah menjadi pengedar ganja dan sempat mendekam beberapa bulan di penjara. Ia takut, kalau-kalau Khamid bergabung lagi dengan kawan-kawannya yang kabarnya banyak yang sudah tinggal di Jakarta. Hanya sebatas itu ia berani menduga-duga. Ia tak berani berpikiran macam-macam: Khamid memiliki perempuan lain, misalnya. “Ah, mana mungkin Khamid memiliki perempuan lain, menghidupi satu istri dan satu anak saja sudah pontang-panting,” begitu ia sering membatin. Ia tahu, perasaan curiga hanya akan membuat batinnya sengsara, dan karenanya ia berusaha sekuat mungkin untuk menepisnya. Meski ia tahu benar, semasa muda Khamid memang sering pula berganti-ganti perempuan.
Hujan kian deras, bercampur angin, membuat pipi Yetti dijilati tempias. Lantunan al-Qur’an terdengar sayup-sayup di kejauhan. Yetti dan Khamid sama terdiam, seakan tidak ada lagi yang perlu dipercakapkan. Sementara hujan, yang selalu mengantarkan kepergian Khamid pada minggu-minggu terakhir bulan Ramadhan, seakan menambah rasa curiga bercampur kecut di hatiYetti.
Lihatlah, Khamid nampak begitu terburu-buru ketika seorang pemuda mengenakan jas hujan berhenti dengan motornya yang penuh lumpur di depan teras rumah. Melihat ojeg sudah di depan mata Yetti menahan getir, keras-keras ia menggigit bibir. “Kenapa si Usup begitu lambat membawa pulang Sandi?” Ia hanya dapat menggerutu dalam hati, tanpa tahu untuk apa.
“Sudah waktunya aku berangkat, Yetti,” kata Khamid setelah menenteng tas ranselnya. “Kumohon, jaga Sandi baik-baik, kalau ia tak mau berpuasa tak usahlah kamu paksa.”
“Hujan masih deras. Tunggulah Sandi sebentar lagi. Mungkin ia sedang berjalan menuju kemari.”
“Tapi sekarang sudah jam berapa, Yetti?”
Mendengar itu, Yetti merasa tak sanggup lagi menahan keinginan suaminya. Setelah saling pandang sejenak, mereka pun berpelukan. Yetti memaksa tersenyum, lalu doa-doa keluar dari bibirnya, seperti tahun-tahun lalu, meski matanya berkaca-kaca, meski kepalanya dipenuhi kabut tanya, meski ia tidak sepenuhnya setuju dengan keberangkat Khamid ke Jakarta.
Meski punggung Khamid sudah hilang dan suara deru motor yang membawanya sudah ditingkap gemuruh hujan Yetti belum juga beringsut dari teras rumah. Lama ia duduk ngungun di kursi teras memandang hujan yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan reda. Ia baru berdiri setelah melihat Sandi pulang dengan pakaian dan tubuh kuyup. Sandi menangis tersedu di tuntun oleh Usup. Belum sempat Yetti mengabarkan pada anaknya tentang keberangkatan Khamid ke Jakarta, Usup terlebih dulu menerangkan bahwa Sandi hampir-hampir tenggelam terbawa derasnya arus sungai.
Sungguhlah Yetti bersyukur, Sandi masih selamat. Tapi benar dugaannya, malamnya Sandi menangis menjadi-jadi saat Yetti katakan bahwa ayahnya telah berangkat ke Jakarta. Benar dugaan Yetti kalau Sandi menolak dibangunkan untuk menemaninya makan sahur.  
****
Demikianlah, sendirian saja Yetti makan sahur kini. Sementara hujan yang mencipta musik ritmis di atap seng rumahnya membuat ia teringat dengan Khamid yang mungkin sudah tiba di Jakarta. Ya, Khamid memang telah tiba, dan Yetti tak pernah tahu kalau seorang perempuan dengan bocah mungil dalam gendongan menyambut kedatangannya.

Wonosobo, 2008

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

6 comments

comments
10 Agustus 2011 pukul 14.45 delete

Blog yang bagus, salam kenal dan kunjung balik ya di www.blog.ardansirodjuddin.com

Reply
avatar
10 Agustus 2011 pukul 21.46 delete

terimakasih atas kunjungannya Mas
tentu saya juga telah bertamu ke blog Anda
salam erat

Reply
avatar
13 Agustus 2011 pukul 01.45 delete

ih penutupnya sangat menakutkan pak Ju. tak kusangka akan begitu. klimaks betul dia. saya berpikir cukup dengan dia bersahur sendirian pun cukuplah.. hehe

Reply
avatar
13 Agustus 2011 pukul 07.53 delete

terimakasih mas indrian koto.. seram juga ya. kenapa mesti merantai di saat banyak orang mudik?
tengkyu ya...

Reply
avatar
17 Agustus 2011 pukul 12.53 delete

apik mas, tapi tampilan blogx di percanti lagi..di kasih gadget yg warna-warna, dksh ruang chat, dll..see www.flpracasora.co.cc
nah..nanti alamat blogx bisa di jadikan/di domainkan kayak punya kita..

Reply
avatar
17 Agustus 2011 pukul 21.59 delete

terimakasih FLP ROCASORA atas masukannya..
wah, saya sudah sangat lelah mengotak-atik blog. Tapi akan saya pertimbangkan lagi masukkanya.
salam erat

Reply
avatar