Ada satu hal yang patut disyukuri dari gelombang sertifikasi bagi para guru, yakni menggeliatnya apresiasi guru di bidang tulis menulis. Hal ini dibuktikan dengan merebaknya berbagai seminar dan pelatihan penulisan, lomba menulis, dan media massa yang menyediakan kolom khusus guru. Namun demikian, kesadaran menulis di kalangan guru belum sepenuhnya terwujud.
Padahal, semua guru tentu tahu ini: menulis akan sangat membantu tugasnya. Kebiasaan menulis akan membuat guru berpikir sistematis, lancar dalam mengajar, dan menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. Menulis akan membuat guru menjadi insan pembelajar, karena dengan menulis ia tidak dapat lari dari aktifitas membaca, baik teks ataupun lingkungan. Selain itu, melalui menulis seorang guru sebenarnya telah menyebar bibir-bibit spiritual, bukan hanya kepada peserta didiknya, tetap juga kepada pembaca tulisannya.
Tapi sayangnya, banyak guru beranggapan bahwa menulis merupakan kegiatan yang mendera dan sulit, sebagian lagi merasa tidak punya waktu karena kelelahan berceramah di depan kelas. Ada memang yang begitu semangat menghasilkan karya, sebagian lagi memesannya, dengan tujuan untuk memenuhi standar kelulusan sertifikasi atau angka kredit kenaikan pangkat.
Geliat guru untuk menulis yang kini sudah mulai terlihat belum dapat dimaknai bahwa kesadaran menulis di kalangan guru sudah tumbuh. Minat para guru untuk menulis memang telah terpancing, dengan sekian iming-iming yang ditawarkan banyak pihak, dari mulai hadiah, pangkat, sampai sebuah sertifikat yang menawarkan tunjangan. Kalau ini yang terjadi, maka kita perlu bekerja lebih keras lagi untuk menumbuhkan apa yang disebut sebagai kesadaran. Betapa memprihatinkan jika kebaikan (baca: menulis) diorientasikan sekadar untuk menggaet sertifikat, gaji yang berlipat, atau honor dari penerbit.
Menulis, kemudian diterbitkan, dipublikasikan di media massa, atau memenangi sayembara tingkat nasional, tidak hanya akan menambah angka kredit yang membuatnya lulus sertifikasi atau naik pangkat dengan cepat. Tetapi lebih dari itu, menulis merupakan aktivitas untuk membangun diri dan memberikan manfaat pada yang lain. Karena itu, semestinya minat dan gairah untuk menulis tidak perlu menunggu dipancing dengan iming-iming, melainkan jadikanlah menulis sebagai bagian dari hidup, dan inilah yang saya maknai sebagai kesadaran untuk menulis.
Meski upaya untuk membudayakan menulis dikalangan guru baru dapat menumbuhkan minat, namun kita patut lega dan mesti merawat sungguh-sungguh minat yang mulai bersemi itu. Namun, upaya menumbuhkan kesadaran—bukan cuma minat—para guru untuk menulis mesti terus digalakkan, tidak hanya dengan menyelenggarakan seminar, pelatihan, dan sayembara tingkat nasional, tetapi bisa juga ditumbuhkan dari lingkungan sekolah masing-masing, misanya Kepala Sekolah mewajibkan guru membuat Lembar Kerja Siswa (LKS), modul mengajar dan lain sebagainya. Sehingga, sebagaimana impian Hernowo, guru sekaligus editor senior sebuah penerbitan, yang berandai para pengajar di seluruh Indonesia dapat menulis buku sendiri untuk para muridnya pada waktunya nanti dapat benar-benar terwujud.