Dimuat pertama kali di Harian Republika, Rabu, 10 Februari 2010
Perpustakaan jantung pendidikan. Namun, kita patut sangsi, andai semua sekolah di negeri ini memiliki bangunan perpustakaan seme-gah dan selengkap seperti yang ada di Amerika, Jepang, atau Jerman, apakah kita dapat memfungsikannya dengan semestinya?
Alih-alih, kita justru menjadikan perpustakaan itu tempat nampang, ngegosip, pacaran, atau bahkan dibiarkan lengang tanpa pengunjung. Bukankah mal dan televisi lebih diminati oleh sebagian besar penduduk negeri ini ketimbang perpustakaan?
Bagaimanapun kita mesti sadar, minat baca masyarakat negeri ini begitu memprihatinkan. Sekadar menguatkan asumsi itu, mungkin kita perlu mengingat data International Education Achievement (IAE), untuk kemampuan membaca, siswa-siswi SD di Indonesia menduduki urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi. Dengan dada yang sakit, kita mesti menerima kenyataan tersebut.
Benar, dengan adanya perpustakaan akan dapat memacu minat baca masyarakat, dalam konteks ini anak didik. Tapi, jika perpustakaan itu tak ada atau roboh, terus mau apa? Perpustakaan yang sudah ada saja tidak dimanfaatkan. Alasan yang tepat sesungguhnya bukan karena buku-buku tidak menarik atau usang, melainkan lebih karena tidak ada pengelola yang cakap mengurus perpustakaan dan memfungsikannya secara maksimal. Sebuah buku, serendah apa pun mutunya, pastilah menyimpan pengetahuan. Jangankan buku, sampah saja bisa diolah menjadi barang-barang yang lebih bernilai.
Lalu, bagaimana jika sekolah tak punya sarana perpustakaan? Dalam menyikapi dunia pendidikan yang luka ini, mungkin kita patut meneladani apa yang dilakukan Bahrudin dan kawan-kawan di Lembaga Qaryah Thayyibah, Salatiga, yang menerapkan model pembelajaran yang berjalan apa adanya.
Artinya, memfungsikan yang telah ada dan tidak mengada-ada, tidak kemudian terus-terusan berangan-angan dan bermimpi memiliki perpustakaan yang hebat. Mimpi selamanya hanya akan menjadi mimpi jika tidak diikuti usaha nyata, atau hanya menunggu gerak pemerintah.
Selain itu, belajar tidak boleh bergantung pada apa pun dan siapa pun. Kalaupun sekolah tidak memiliki fasilitas perpustakaan yang memadai atau bahkan tidak ada sama sekali, bukan berarti kita menjadi pesimis hingga proses pembelajaran menjadi berjalan di tempat.
Pembelajaran yang baik terjadi karena ada keinginan dan kemauan kuat, bukan tergantung pada sarana dan prasarana, bukan karena tidak adanya Winnetouw karya Karl May, Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, atau Burung-burung Manyar karya Mangunwijaya. Alam dan lingkungan sekitar bukankah merupakan buku paling agung yang tak pernah habis untuk dibaca?
Sayangnya, kita sukar menemukan guru yang kreatif untuk membangkitkan lesunya dunia pendidikan. Guru yang penuh inisiatif, mampu merumuskan pertanyaan dengan baik, dan memahami kalau pengetahuan itu bagian dari kekuasaan.
Padahal, sebenarnya guru merupakan sebuah perpustakaan alternatif bagi anak didik. Perpustakaan kecil yang siap didatangi anak didik kapan saja. Guru merupakan buku dan kamus berjalan, sekaligus pelayan yang sabar bagi anak didiknya. Sebagaimana asal kata guru itu sendiri, dari bahasa sansekerta, gur-u. yang berarti mulia, bermutu, memiliki kehebatan, dan orang yang sangat dihormati karena kewaskitaannya. Nah, kalau guru sendiri telah jauh dari buku, apa mau dikata, anak didiknya tentu akan menjauhi buku pula.
Butuh guru nekat Sudah sepatutnya kita menengok ke belakang, saat peran guru begitu besar dalam meraih cita-cita kemerdekaan negeri ini. Soekarno, misalnya, semasa ditahan di Bengkulu sempat mengajari anak-anak di sana sejumlah mata pelajaran, dari berhitung sampai bahasa Indonesia.
Begitupun Tan Malaka, yang pernah menjadi kepala sekolah. Dan, masih panjang lagi jika kita deretkan namanama guru yang berjuang dengan niat suci dan tulus, bukan berlomba mendapatkan sertifikasi. Kadang kita perlu mengkritik kampanye pengentasan buta aksara yang kini gencar dilakukan. Sebab, makna pengentasan buta aksara yang sebenarnya bukan sekadar tahu mengeja abjad, melainkan juga menuliskan huruf dan angka. Pengentasan buta aksara yang dicita-citakan Bung Karno dan 8ung Hatta, yakni rakyat mampu membaca segala bentuk tipu daya. Karena itu. barangkali kegiatan eks-trakurikuler di sekolah-sekolah sudah saatnya dikembangkan. Tidak melulu Pramuka, basket, atau cara praktis pemecahan soal matematika, tapi bisa dimulai dengan les membaca buku dan membaca realitas.
Untuk itu, kita butuh guru yang berani melakukan sesuatu yang nekat. Guru mesti sanggup membebaskan dirinya dari sandera negara berupa kurikulum formal yang memberatkan. Dengan demikian, guru dapat memiliki independensi dalam memilih, bukan hanya pengetahuan dan buku apa yang akan diajarkan, melainkan juga metode apa yang akan digunakan.
Sejalan dengan Gloria Steinem, jika setiap orang berani melakukan sesuatu yang nekat hari ini. dunia akan menjadi lebih baik. Sayangnya, mayoritas guru di negeri ini seringkali bersikap premisif. Elie Wiesel sejak jauh hari sudah mengingatkan, kejahatan terbesar di dunia ini bukanlah kemarahan atau kebencian, melainkan kemasabodohan.