Bertahan Mengabdi atau Resign Sejak Dini


Menjadi guru tidak gampang, bahkan membayangkan saja sudah cukup ribet. Anda tahu, menjadi guru bukan sekadar menyampaikan materi di kelas, mengurus administrasi pembelajaran, membuat nilai, berkomunal dengan warga dan lingkungan sekolah, tetapi juga bagaimana anda menjalani rutinitas di lingkungan sekolah yang tidak sehari dua hari. 

Meski profesi guru memiliki sekian konsekuensi dan beban yang berat, toh minat orang yang tertarik menggeluti profesi ini tidak menurun, bahkan cenderung meningkat. Tentu dengan aneka motivasi. Mereka yang berminat menjadi guru mungkin mengira jadi guru itu enak seluruhnya, mulia tanpa cela, dan bisa mengakibatkan kaya. Yang terakhir itu yang paling menantang banyak orang.

Di sisi lain kita juga menemukan orang yang sudah menjadi guru, lalu memilih resign, beralih menjadi bakul bubur atau sales asuransi. Barangkali apa yang ia bayangkan dulu tidak semanis kenyataan. Atau ada faktor lain, tidak melulu soal gaji yang rendah, bisa saja. Ya, bertahan atau memilih hengkang hanya soal pilihan. Dan belum tentu juga yang memilih tetap bertahan sebagai guru otomatis masuk kategori guru super, sedang yang memilih resign adalah termasuk golongan orang-orang yang kalah.

Sesekali tanyakanlah kepada mereka yang sudah menjadi guru puluhan tahun, kenapa gigih benar, rela menghabiskan umur di sekolahan? Kalau mereka gigu menjawab, atau tak yakin dengan jawabannya sendiri, cari yang lain. Ada sebagian orang jujur, mengungkap bahwa tetap bertahan menjadi guru adalah pilihan yang paling tepat bagi mereka. “Jadi guru itu enak, Mas. Bisa sante, senang ketemu anak-anak tiap hari, dan alhamdulillah bisa nabung untuk naik haji.” Itu jenis jawaban yang kalem, tidak terlalu terbuka, remang-remang, dan jauh dari keinginan ingin disebuh guru super. Ia hanya merasa sudah telanjur nyaman. Dan bukankah yang paling dicari dan didambakan orang adalah faktor kenyamanan? Apa salah? Yang menunjang kenyamanan menjalani profesi guru sendiri macam-macam, mulai dari lingkungan sosial, gaji, jarak, sarana dan prasarana sekolah, juga kerja dan tanggung jawab yang barangkali dianggap masih mampu diemban.

Sebagian yang lain, yang saya yakini jumlahnya lebih sedikit, memilih tetap bertahan menjadi guru karena menganggap bahwa inilah sebenar-benar pengabdian dan perjuangan, di sinilah ruang bagi kita untuk ambil bagian mencerdaskan anak bangsa, atau bahkan jihad—walau hanya menyampaikan satu ayat. 

Kenapa saya yakin jumlah guru jenis ini lebih sedikit dan bahkan langka? Gampang saja, ambillah misal, Pemerintah memangkas 50 persen gaji guru, barangkali 50 persen guru memilih mengundurkan diri. Sementara 50 persen sisanya bertahan bukan karena hebat seluruhnya; sebagian masih menjalani tugasnya meski lesu, sebagian lagi berkumpul di Istana Merdeka untuk menurunkan Presiden.

Persis! Anda percaya sekarang: Logika, idealisme, istikomah, seringkali luluh lantak jika bergelut dengan urusan perut. Jihad tak harus mengajar, mencerdaskan bangsa tak harus menjadi guru, berjuang dan menjadi guru tidak melulu di sekolah, begitulah barangkali para guru yang dulu berpandangan idealis akan berkilah, jika sampai Pemerintah tidak lagi membayar mereka.

Syukurlah pemerintah tidak benar-benar menguji para guru dengan cara sadis itu, tetapi justru menaikkan gaji guru dan memberikan tambahan uang makan serta tunjangan profesi. Sampai di sini, guru terkesan dimanjakan. Tujuan utamanya sebenarnya bagus, yakni agar guru lebih fokus pada profesinya, dapat benar-benar memegang idealismenya, dan selalu memperbaiki niatnya. Sayangnya, tujuan tersebut tidak sepenuhnya berhasil, untuk tidak menyebutnya gagal total. Lihat saja pendidikan kita, dengan guru sebagai ujung tombaknya, sampai sekarang belum terlihat adanya perubahan, kecuali kulitnya.

Ketika Resign Menjadi Pilihan


Suatu ketika saya menulis begini: “Berhenti wae jadi guru, terus dadi penyair wae, apa nulis novel sambil ngadep bojo. Lha piye, timbang mulang setengah-setengah, gaji yo ra sepiro. Pahala nggak dapat, gaji yo ora impas karo rega beras.” 

Tulisan pendek yang saya sebar di media sosial itu menuai tanggapan yang beragam. Saya berterimakasih kepada mereka yang sudah memberi saran, menasehati kesabaran, dan menganjurkan saya untuk jualan cilok.

Bagaimana pun tulisan pendek semacam itu tidak cukup mewakili perasaan saya seluruhnya. Tetapi, Anda tahu, ada ribuan guru yang sebenarnya punya perasaan yang nyaris sama dengan saya, tetapi enggan, malu, atau takut mengungkapkannya.

Pikiran untuk berhenti menjadi guru muncul karena kadang-kadang saya merasa tidak pantas dan tidak bisa menjadi guru yang baik. Saya merasa memikul tanggung jawab yang berat, sementara di luar sana banyak orang yang lebih kompeten dan siap menggantikan saya kapan saja.

Anda tentu tidak asing lagi dengan fenomena guru honorer. Ya, gaji guru honorer memang tidak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan ini kerap membuat saya dan mereka yang senasib berpikir untuk berbalik arah. Tetapi bukan itu benar yang membuat saya gelisah dan berpikir untuk resign.

Soal rejeki, saya selalu meminta kepada Yang Maha Mencukupi, dan alhamdulillah Ia begitu baik. Tapi yang perlu dicatat, rejeki yang Tuhan berikan datang bukan langsung dalam bentuk uang atau makanan, melainkan dalam wujud kemudahan mendapatkan pekerjaan lain. Pekerjaan-pekerjaan sampingan (yang kadang menghasilkan pundi-pundi lebih besar) itulah kerap menggangu saya sehingga tidak maksimal dalam menjalankan profesi mulia ini.

Guru memang tidak dilarang memiliki kerja sampingan. Bahkan K.H Maimun Zubair pernah menyarankan agar guru, dosen, dan Kiai untuk memiliki usaha sampingan, sehingga tidak mengandalkan bayaran orang lain. Karena dengan begitu, guru akan lebih ikhlas menjalani profesinya.

Saya takdzim pada beliau, tanpa tapi. Hanya saja ikhlas di sini mesti kita maknai sebagai totalitas, bukan sekadarnya. Kalau kemudian dengan dobel atau tripel pekerjaan tugas pokok seorang guru jadi terbengkelai, bagaimana? Anda sendiri yang bisa menjawabnya.

Apapun pilihan kita, berhenti atau bertahan menjadi guru, sudah semestinya guru menggelisahkan kualitas pribadinya sekaligus mereview amanah yang hinggap di punggungnya. Menjadi guru itu sesuatu yang menyenangkan, saya menjadi saksi atasnya. Semoga Tuhan menunjukkan jalan yang terbaik, bukan jalan kesesatan yang jauh dari Ridho-Nya. Salam

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »