Jika sebagian orang menganggap bahwa angka 13 adalah angka sial, maka Kemendikbud justru ingin melawan mitos itu dengan menggunakan angka tersebut untuk kurikulumnya yang baru: 2013. Sebagaimana perencanaan pembangunan gedung pencakar langit atau jembatan penghubung antar pulau, Kurikulum 2013 (Kurtilas) tentunya telah pula digodog sedemikian rupa sebelum ditetapkan, meski banyak kalangan menilai Kurtilas lahir prematur alias terburu-buru. Kenapa terburu-buru? Penilaian tersebut bukannya tanpa dasar. Hingga kini, kita tahu, masih banyak guru yang belum mendapatkan pelatihan menyangkut Kurtilas, masih banyak pula sekolah yang belum menerima buku Kurtilas, khususnya sekolah-sekolah di bawah naungan Kementerian Agama.
Meski begitu, kita tentu tidak berharap Kurtilas akan mengalami kesialan yang pada akhirnya mengundang kesialan kita semua. Kompor sudah dinyalakan, dan nasi sudah menjadi bubur; ratusan atau bahkan ribuan pelatihan, jutaan cetakan buku ajar, dan seabrek hal lain sudah menghabiskan banyak biaya. Belum lagi biaya sosial dan psikologis yang tak ternilai. Bagaimana pun, kita mesti SIAP, melangkah dan menjalankan Kurtilas dengan lapang dada.
Maka, mari kita sambut Kurtilas dengan ungkapan Marhaban Ya Kurtilas. Selanjutnya menjadi tanggung jawab kita, khususnya guru, untuk menjalankan Kurtilas ini dengan baik. Tapi, bagaimana mau menjalankan Kurtilas kalau guru sendiri tidak tahu apa dan bagaimana konsep kurtilas? Kalau harus menunggu pelatihan, kalau harus menunggu kiriman buku datang, duh, kasihan benar siswa. Bukankah di Internet banyak betebaran dokumen-dokumen tentang Kurtilas yang bisa kita sedot (download) untuk dibaca, dipahami dan dilaksanakan. Hem, mungkin hasilnya memang tidak akan maksimal. Tapi setidaknya itulah konsekuensi kita yang telah mengatakan Marhaban Ya Kurtilas.
Meski begitu, kita tentu tidak berharap Kurtilas akan mengalami kesialan yang pada akhirnya mengundang kesialan kita semua. Kompor sudah dinyalakan, dan nasi sudah menjadi bubur; ratusan atau bahkan ribuan pelatihan, jutaan cetakan buku ajar, dan seabrek hal lain sudah menghabiskan banyak biaya. Belum lagi biaya sosial dan psikologis yang tak ternilai. Bagaimana pun, kita mesti SIAP, melangkah dan menjalankan Kurtilas dengan lapang dada.
Maka, mari kita sambut Kurtilas dengan ungkapan Marhaban Ya Kurtilas. Selanjutnya menjadi tanggung jawab kita, khususnya guru, untuk menjalankan Kurtilas ini dengan baik. Tapi, bagaimana mau menjalankan Kurtilas kalau guru sendiri tidak tahu apa dan bagaimana konsep kurtilas? Kalau harus menunggu pelatihan, kalau harus menunggu kiriman buku datang, duh, kasihan benar siswa. Bukankah di Internet banyak betebaran dokumen-dokumen tentang Kurtilas yang bisa kita sedot (download) untuk dibaca, dipahami dan dilaksanakan. Hem, mungkin hasilnya memang tidak akan maksimal. Tapi setidaknya itulah konsekuensi kita yang telah mengatakan Marhaban Ya Kurtilas.